28.9 C
Surabaya
8 June 2025, 0:02 AM WIB

Ancaman Nyata Surabaya: Banjir Rob, Penurunan Tanah dan Bahaya Tenggelam, Ini Penyebabnya!

METROTODAY, SURABAYA – Selama empat hari terakhir, banjir rob parah melanda wilayah utara dan timur Surabaya. Menurut Pengurus Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Jawa Timur, Ali Yusa, penyebab utama fenomena ini adalah penurunan muka tanah (subsidensi) yang signifikan di kawasan tersebut.

“Hasil riset tahun 2023 menunjukkan laju penurunan tanah di wilayah pesisir utara dan timur Surabaya mencapai angka mengkhawatirkan, yaitu 0,2 hingga 83,3 milimeter per tahun,” katanya di Surabaya, Rabu (4/6).

Ali Yusa memperingatkan bahwa jika tren ini terus berlanjut, maka pada tahun 2033, penurunan tanah diperkirakan mencapai 0,2 hingga 8 meter dengan titik terparah di perbatasan Tandes dan Asemrowo.

“Penurunan tanah ini membuat permukaan tanah lebih rendah dari permukaan laut, meningkatkan kerentanan terhadap banjir rob,” katanya.

Ali Yusa menjelaskan bahwa akar masalah subsidensi adalah ekstraksi air tanah yang berlebihan dan beban pembangunan infrastruktur yang masif.

Di Surabaya Timur, penurunan tanah terparah bahkan mencapai 0,28 meter per tahun di kawasan Rungkut.

Kondisi ini secara drastis memperburuk sistem drainase kota, yang pada akhirnya meningkatkan frekuensi dan intensitas banjir rob, terutama saat pasang tinggi dan hujan lebat.

Selain subsidensi, faktor lain yang memperparah kondisi adalah sedimentasi di sepanjang pesisir. Material yang terbawa aliran sungai dan gelombang laut mengendap di muara dan saluran air, mengurangi kapasitas aliran dan menyebabkan air meluap.

“Kondisi ini diperparah oleh sistem drainase yang tidak optimal di beberapa daerah,” imbuhnya.

Untuk mengatasi krisis ini, Ali Yusa menekankan perlunya pendekatan terpadu. Pengendalian ekstraksi air tanah, perbaikan sistem drainase, dan pengelolaan sedimentasi menjadi kunci utama.

Pemantauan penurunan muka tanah secara real-time dengan teknologi seperti GPS dan InSAR juga sangat penting. Tak kalah vital, restorasi ekosistem pesisir, seperti penanaman mangrove, harus segera dilakukan.

Ali Yusa juga menyoroti masalah pelik terkait peran pengembang perumahan yang kerap mengabaikan sistem drainase, serta BUMN yang beroperasi di kawasan pesisir namun hanya fokus pada alur pelayaran tanpa memperhatikan lingkungan sekitar.

Pengalihan kewenangan pengelolaan kawasan pesisir ke provinsi berdasarkan UU No. 23 Tahun 2016 juga dinilai memperparah sedimentasi.

Harapan kini tertumpu pada Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang banjir yang sedang disusun oleh DPRD Surabaya. Ali Yusa berharap Raperda ini dapat menjadi solusi, memberikan dasar hukum yang kuat bagi pemerintah untuk menindak tegas pengembang dan usaha yang tidak memperhatikan kondisi ekologi dan morfologi kawasan.

Sebab tanpa langkah-langkah drastis, ancaman tenggelamnya sebagian wilayah Surabaya akibat banjir rob yang semakin sering bisa menjadi kenyataan. (ahm)

METROTODAY, SURABAYA – Selama empat hari terakhir, banjir rob parah melanda wilayah utara dan timur Surabaya. Menurut Pengurus Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Jawa Timur, Ali Yusa, penyebab utama fenomena ini adalah penurunan muka tanah (subsidensi) yang signifikan di kawasan tersebut.

“Hasil riset tahun 2023 menunjukkan laju penurunan tanah di wilayah pesisir utara dan timur Surabaya mencapai angka mengkhawatirkan, yaitu 0,2 hingga 83,3 milimeter per tahun,” katanya di Surabaya, Rabu (4/6).

Ali Yusa memperingatkan bahwa jika tren ini terus berlanjut, maka pada tahun 2033, penurunan tanah diperkirakan mencapai 0,2 hingga 8 meter dengan titik terparah di perbatasan Tandes dan Asemrowo.

“Penurunan tanah ini membuat permukaan tanah lebih rendah dari permukaan laut, meningkatkan kerentanan terhadap banjir rob,” katanya.

Ali Yusa menjelaskan bahwa akar masalah subsidensi adalah ekstraksi air tanah yang berlebihan dan beban pembangunan infrastruktur yang masif.

Di Surabaya Timur, penurunan tanah terparah bahkan mencapai 0,28 meter per tahun di kawasan Rungkut.

Kondisi ini secara drastis memperburuk sistem drainase kota, yang pada akhirnya meningkatkan frekuensi dan intensitas banjir rob, terutama saat pasang tinggi dan hujan lebat.

Selain subsidensi, faktor lain yang memperparah kondisi adalah sedimentasi di sepanjang pesisir. Material yang terbawa aliran sungai dan gelombang laut mengendap di muara dan saluran air, mengurangi kapasitas aliran dan menyebabkan air meluap.

“Kondisi ini diperparah oleh sistem drainase yang tidak optimal di beberapa daerah,” imbuhnya.

Untuk mengatasi krisis ini, Ali Yusa menekankan perlunya pendekatan terpadu. Pengendalian ekstraksi air tanah, perbaikan sistem drainase, dan pengelolaan sedimentasi menjadi kunci utama.

Pemantauan penurunan muka tanah secara real-time dengan teknologi seperti GPS dan InSAR juga sangat penting. Tak kalah vital, restorasi ekosistem pesisir, seperti penanaman mangrove, harus segera dilakukan.

Ali Yusa juga menyoroti masalah pelik terkait peran pengembang perumahan yang kerap mengabaikan sistem drainase, serta BUMN yang beroperasi di kawasan pesisir namun hanya fokus pada alur pelayaran tanpa memperhatikan lingkungan sekitar.

Pengalihan kewenangan pengelolaan kawasan pesisir ke provinsi berdasarkan UU No. 23 Tahun 2016 juga dinilai memperparah sedimentasi.

Harapan kini tertumpu pada Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang banjir yang sedang disusun oleh DPRD Surabaya. Ali Yusa berharap Raperda ini dapat menjadi solusi, memberikan dasar hukum yang kuat bagi pemerintah untuk menindak tegas pengembang dan usaha yang tidak memperhatikan kondisi ekologi dan morfologi kawasan.

Sebab tanpa langkah-langkah drastis, ancaman tenggelamnya sebagian wilayah Surabaya akibat banjir rob yang semakin sering bisa menjadi kenyataan. (ahm)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/