15 September 2025, 13:40 PM WIB

Ketika Warna Jadi Bahasa Aspirasi dan Solidaritas di Indonesia

Oleh: Prof. Diah Ariani Arimbi, Pakar Kajian Budaya dan Gender Universitas Airlangga (Unair)

AKHIR-akhir ini penggunaan warna dalam menyampaikan aspirasi di Indonesia menghadirkan dinamika baru. Dua warna yang menjadi simbol, brave pink dan hero green, tidak sekadar menjadi penanda visual tetapi juga sarat dengan makna kultural, gender, hingga politis.

Pakar Kajian Budaya dan Gender Universitas Airlangga (Unair), Prof. Diah Ariani Arimbi menegaskan bahwa warna adalah teks yang selalu berbicara dalam konteks.

Prof. Diah menjelaskan bahwa pada awalnya, warna pink dilekatkan pada konsep pink job, yaitu pekerjaan yang tradisionalnya dianggap feminin, seperti guru, perawat, sekretaris, atau pekerja sosial.

“Pekerjaan ini kerap mendapatkan pandangan kurang strategis daripada posisi pengambil keputusan yang didominasi laki-laki,” tuturnya, Minggu (14/9).

Namun, dalam perkembangan aksi sosial terkini, makna pink bergeser. Brave pink lahir dari apropriasi, sebuah warna yang dulu dikonstruksi sebagai kekuatan yang lemah kini tampil sebagai simbol keberanian, terutama lewat kehadiran ibu-ibu dalam demonstrasi. Pink tidak lagi sekadar feminim, tetapi resisten dan politis.

Berbeda dengan pink yang banyak diasosiasikan berasal dari Barat, warna hijau memiliki akar lokal.

“Dalam folklor Jawa, hijau erat dengan kesuburan, kekuatan, bahkan khazanah guides of the south sea menyebutkan warna hijau menandakan kekuasaan spiritual seperti figur Nyi Roro Kidul. Kemudian dalam perkembangan di Indonesia belakangan ini, warna hijau diasosiasikan menjadi hero green,” terangnya.

Kehadiran para driver ojek online berseragam hijau dalam demonstrasi, serta tragedi salah seorang pengemudi yang terlindas kendaraan taktis, memperkuat hijau sebagai simbol solidaritas rakyat kecil dan keberanian kolektif.

“Hijau kini bukan hanya alam, tetapi heroisme dan penyelamatan,” imbuh Prof. Diah.

Menurut Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) ini masyarakat kini hidup dalam era visual.

Warna bekerja lebih cepat dan universal daripada simbol lain. Fenomena Add Yours Instagram bernuansa brave pink dan hero green dengan 17+8 tuntutan memperlihatkan bagaimana generasi digital native memanfaatkan ruang daring sebagai arena politik alternatif. Hal ini merefleksikan lahirnya praktik baru demokrasi digital.

Dalam sejarah penyampaian aspirasi, warna bukan hal baru. Gerakan #IndonesiaGelap pernah memakai resistance blue, bahkan bendera One Piece dipakai sebagai simbol populer.

“Pola ini menegaskan bahwa setiap movement membutuhkan representasi visual yang mudah dikenali dan menggerakkan massa,” kata Prof. Diah.

Namun, efektivitas simbol, utamanya warna, dalam memengaruhi opini publik dan legitimasi pemerintah sangat bergantung pada daya tahannya. “Jika publik terus merawat makna ini, ia bisa menjadi simbol abadi. Jika tidak, ia cepat tergantikan,” ucapnya.

Dari perspektif sosial-humaniora, brave pink dan hero green menunjukkan bahwa makna budaya selalu dinamis. Warna yang dulu melekat pada kelemahan, kini menjadi bahasa politik resistensi.

“Apropriasi ini mengingatkan kita bahwa arti simbol-simbol visual tidak pernah statis. Mereka lahir, berubah, dan berfungsi sesuai konteks yang melingkupinya. Secara semiotik warna tidak hanya sekedar warna, tetapi mengkomunikasikan sesuatu,” pungkasnya. (ahm)

Oleh: Prof. Diah Ariani Arimbi, Pakar Kajian Budaya dan Gender Universitas Airlangga (Unair)

AKHIR-akhir ini penggunaan warna dalam menyampaikan aspirasi di Indonesia menghadirkan dinamika baru. Dua warna yang menjadi simbol, brave pink dan hero green, tidak sekadar menjadi penanda visual tetapi juga sarat dengan makna kultural, gender, hingga politis.

Pakar Kajian Budaya dan Gender Universitas Airlangga (Unair), Prof. Diah Ariani Arimbi menegaskan bahwa warna adalah teks yang selalu berbicara dalam konteks.

Prof. Diah menjelaskan bahwa pada awalnya, warna pink dilekatkan pada konsep pink job, yaitu pekerjaan yang tradisionalnya dianggap feminin, seperti guru, perawat, sekretaris, atau pekerja sosial.

“Pekerjaan ini kerap mendapatkan pandangan kurang strategis daripada posisi pengambil keputusan yang didominasi laki-laki,” tuturnya, Minggu (14/9).

Namun, dalam perkembangan aksi sosial terkini, makna pink bergeser. Brave pink lahir dari apropriasi, sebuah warna yang dulu dikonstruksi sebagai kekuatan yang lemah kini tampil sebagai simbol keberanian, terutama lewat kehadiran ibu-ibu dalam demonstrasi. Pink tidak lagi sekadar feminim, tetapi resisten dan politis.

Berbeda dengan pink yang banyak diasosiasikan berasal dari Barat, warna hijau memiliki akar lokal.

“Dalam folklor Jawa, hijau erat dengan kesuburan, kekuatan, bahkan khazanah guides of the south sea menyebutkan warna hijau menandakan kekuasaan spiritual seperti figur Nyi Roro Kidul. Kemudian dalam perkembangan di Indonesia belakangan ini, warna hijau diasosiasikan menjadi hero green,” terangnya.

Kehadiran para driver ojek online berseragam hijau dalam demonstrasi, serta tragedi salah seorang pengemudi yang terlindas kendaraan taktis, memperkuat hijau sebagai simbol solidaritas rakyat kecil dan keberanian kolektif.

“Hijau kini bukan hanya alam, tetapi heroisme dan penyelamatan,” imbuh Prof. Diah.

Menurut Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) ini masyarakat kini hidup dalam era visual.

Warna bekerja lebih cepat dan universal daripada simbol lain. Fenomena Add Yours Instagram bernuansa brave pink dan hero green dengan 17+8 tuntutan memperlihatkan bagaimana generasi digital native memanfaatkan ruang daring sebagai arena politik alternatif. Hal ini merefleksikan lahirnya praktik baru demokrasi digital.

Dalam sejarah penyampaian aspirasi, warna bukan hal baru. Gerakan #IndonesiaGelap pernah memakai resistance blue, bahkan bendera One Piece dipakai sebagai simbol populer.

“Pola ini menegaskan bahwa setiap movement membutuhkan representasi visual yang mudah dikenali dan menggerakkan massa,” kata Prof. Diah.

Namun, efektivitas simbol, utamanya warna, dalam memengaruhi opini publik dan legitimasi pemerintah sangat bergantung pada daya tahannya. “Jika publik terus merawat makna ini, ia bisa menjadi simbol abadi. Jika tidak, ia cepat tergantikan,” ucapnya.

Dari perspektif sosial-humaniora, brave pink dan hero green menunjukkan bahwa makna budaya selalu dinamis. Warna yang dulu melekat pada kelemahan, kini menjadi bahasa politik resistensi.

“Apropriasi ini mengingatkan kita bahwa arti simbol-simbol visual tidak pernah statis. Mereka lahir, berubah, dan berfungsi sesuai konteks yang melingkupinya. Secara semiotik warna tidak hanya sekedar warna, tetapi mengkomunikasikan sesuatu,” pungkasnya. (ahm)

Artikel Terkait

Pilihan Editor

Pilihan Editor

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/