24 August 2025, 16:18 PM WIB

Gagasan Perlindungan Hak Cipta di Era Digital

Oleh: Moh. Faizin, S.H., M.H., Sekretaris LBH-AP PDM Sidoarjo dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang

ISU royalti hak cipta ramai diperbincangkan di media sosial belakangan ini. Penyebabnya adalah dua perkara uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), yakni perkara No. 28/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh vokalis band Gigi, Tubagus Armand Maulana, dan vokalis Noah, Nazril Irham alias Ariel.

Selain itu, ada juga perkara No. 37/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Agusta Dwi Santoso dkk. Materinya sama. Menggugat beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta agar diuji kesesuaiannya dengan UUD 1945.

Hak Cipta dan Hak Royalti

Bagi sebagian orang, istilah hak cipta mungkin terdengar asing. Padahal, secara sederhana, hak cipta adalah bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

Ada dua jenis perlindungan yang diberikan kepada pencipta atas karyanya itu. Yakni, hak ekonomi yaitu hak untuk mendapatkan keuntungan atau royalti dari karya yang diciptakan.

Selanjutnya ada juga hak moral yaitu hak untuk tetap diakui sebagai pencipta. Salah satu bentuknya adalah dengan mencantumkan nama pembuat karya dalam karya ciptanya.

Hak Cipta bisa dibilang spesial. Berbeda dengan HKI lain (Hak Paten, Merek, dll). Hak Cipta otomatis melekat pada pencipta begitu karya itu lahir. Tidak perlu didaftarkan. Kalaupun ada pendaftaran, sifatnya lebih karena ingin memberi kepastian hukum.

Era Digital Butuh Aturan Baru

Bila dibandingkan dengan HKI yang lain, Hak Cipta boleh dibilang paling lama dilakukan pembaharuan. Di sisi lain, era digital terus mengalami perkembangan. Setidaknya era digital menjadi sarana paling efektif untuk memamerkan karya cipta.

Indonesia meratifikasi Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) melalui UU No. 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Indonesia baru memperbarui pada 2014. Itu ditandai dengan lahirnya UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Setelah itu, belum lagi terdengar perubahan.

Kondisi tersebut berbeda dengan Hak Paten. Hak tersebut dilakukan perubahan pada 2024. Sedangkan merek dan indikasi geografis sudah berubah sejak 2023 lalu.

Semua orang tentu berharap bahwa uji materi UU Hak Cipta yang sedang berproses di MK membuka jalan bagi penyempurnaan regulasi agar lebih sesuai dengan perkembangan era digital 5.0.

Mengapa Ramai Dipersoalkan?

Aspek royalti adalah hal dari Hak Cipta tentu tak mudah ditepikan di era digital. Pertanyaannya bagaimana pemanfaatannya jika dikaitkan dengan media sosial ? Kita semua tahu, media sosial adalah media dimana setiap orang dapat dapat berinteraksi satu sama lain melalui beragam platform dan aplikasi, dengan internet sebagai perantara.

Dengan kata lain media sosial merupakan media komunikasi publik. Siapapun bisa membagikan karya cipta. Baik yang berbentuk lagu, gambar, tulisan, atau apapun. Di sisi lain, siapapun juga bisa mengakses dan menikmatinya.

Karenanya, berdasar prinsip hukum informasi dan transaksi elektronik dan hukum data pribadi, maka siapapun orang yang mengakses media sosial telah memberikan izin kepada pengakses untuk menikmati karyanya. Namun, hal tersebut bisa dilakukan jika tidak bertentangan dengan pengaturan terkait Hak Cipta. Hal ini bisa dimaknai bahwa publik di media sosial/digital hanya memperoleh izin untuk penggunaan secara pribadi.

Sebagai gambaran, pemutaran lagu di tempat usaha semacam rumah makan, hotel ataupun tempat-tempat lain yang memiliki nilai ekonomis. Sebenarnya hal tersebut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Di peraturan pemerintah tersebut, dijelaskan tentang hak komersil (public performing rights/hak pertunjukan publik). Dimana hak tersebut berlaku apabila lagu diputar untuk kepentingan komersial/publik baik melalui media elektronik maupun digital.

Namun demikian, kewajiban royalti tidak dapat dipandang sederhana semata dari norma undang-undang. Tapi, perlu juga melihat praktik di lapangan. Utamanya setelah digitalisasi merebak seperti saat ini.

Dalam praktik di lapangan, pemutaran lagu bisa dilakukan secara langsung menggunakan aplikasi digital seperti youtube, spotify dll. Untuk bisa menikmati lagu-lagu tersebut, pengguna lebih dulu membayar untuk menjadi anggota (member premium) ataupun gratis.

Dengan kata lain, penegakan hukum terkait Hak Cipta akan menjadi sangat sulit ditegakkan karena kesulitan mengidentifikasi siapa saja yang telah menggunakan Hak Cipta untuk kepentingan publik.

Harapan ke Depan

Merujuk pada praktik yang terjadi di lapangan, perlu dibuat kebijakan untuk memberikan perlindungan hak yang lebih baik bagi pencipta. Salah satunya dengan membuat regulasi terkait pengaturan royalti public performing terhadap media sosial/ digital.

Salah satu gagasan yang bisa dibuat adalah bila seseorang berlangganan platform tertentu, maka otomatis dia sudah membayar royalti public performing. Sehingga pengguna dalam hal ini pengelola kafe atau hotel tidak perlu ketakutan lagi terhadap gugatan hukum para pencipta. Mereka tidak perlu khawatir apakah perlu membayar royalti atau tidak. Sebab, sejak awal royalti sudah dibayarkan.

Untuk mendapatkan royalti, para pencipta tinggal menagih kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Lalu, LMKN menagihkan kepada pengelola platform.

Berdasarkan hal tersebut, perubahan UU Hak Cipta mendesak dilakukan. Utamanya untuk mengakomodir perkembangan hukum di era digital dan memberikan pengaturan yang lebih gamblang.

Putusan MK nantinya juga diharapkan tidak hanya memberikan kepastian hukum. Tapi, juga menghadirkan keadilan dan kemanfaatan baik bagi pencipta, pemegang Hak Cipta, pelaku usaha, dan masyarakat luas di era digital. Bukankah hukum yang baik adalah hukum yang menciptakan kebermanfaatan bagi khalayak umum. (*)

 

 

Oleh: Moh. Faizin, S.H., M.H., Sekretaris LBH-AP PDM Sidoarjo dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang

ISU royalti hak cipta ramai diperbincangkan di media sosial belakangan ini. Penyebabnya adalah dua perkara uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), yakni perkara No. 28/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh vokalis band Gigi, Tubagus Armand Maulana, dan vokalis Noah, Nazril Irham alias Ariel.

Selain itu, ada juga perkara No. 37/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Agusta Dwi Santoso dkk. Materinya sama. Menggugat beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta agar diuji kesesuaiannya dengan UUD 1945.

Hak Cipta dan Hak Royalti

Bagi sebagian orang, istilah hak cipta mungkin terdengar asing. Padahal, secara sederhana, hak cipta adalah bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

Ada dua jenis perlindungan yang diberikan kepada pencipta atas karyanya itu. Yakni, hak ekonomi yaitu hak untuk mendapatkan keuntungan atau royalti dari karya yang diciptakan.

Selanjutnya ada juga hak moral yaitu hak untuk tetap diakui sebagai pencipta. Salah satu bentuknya adalah dengan mencantumkan nama pembuat karya dalam karya ciptanya.

Hak Cipta bisa dibilang spesial. Berbeda dengan HKI lain (Hak Paten, Merek, dll). Hak Cipta otomatis melekat pada pencipta begitu karya itu lahir. Tidak perlu didaftarkan. Kalaupun ada pendaftaran, sifatnya lebih karena ingin memberi kepastian hukum.

Era Digital Butuh Aturan Baru

Bila dibandingkan dengan HKI yang lain, Hak Cipta boleh dibilang paling lama dilakukan pembaharuan. Di sisi lain, era digital terus mengalami perkembangan. Setidaknya era digital menjadi sarana paling efektif untuk memamerkan karya cipta.

Indonesia meratifikasi Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) melalui UU No. 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Indonesia baru memperbarui pada 2014. Itu ditandai dengan lahirnya UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Setelah itu, belum lagi terdengar perubahan.

Kondisi tersebut berbeda dengan Hak Paten. Hak tersebut dilakukan perubahan pada 2024. Sedangkan merek dan indikasi geografis sudah berubah sejak 2023 lalu.

Semua orang tentu berharap bahwa uji materi UU Hak Cipta yang sedang berproses di MK membuka jalan bagi penyempurnaan regulasi agar lebih sesuai dengan perkembangan era digital 5.0.

Mengapa Ramai Dipersoalkan?

Aspek royalti adalah hal dari Hak Cipta tentu tak mudah ditepikan di era digital. Pertanyaannya bagaimana pemanfaatannya jika dikaitkan dengan media sosial ? Kita semua tahu, media sosial adalah media dimana setiap orang dapat dapat berinteraksi satu sama lain melalui beragam platform dan aplikasi, dengan internet sebagai perantara.

Dengan kata lain media sosial merupakan media komunikasi publik. Siapapun bisa membagikan karya cipta. Baik yang berbentuk lagu, gambar, tulisan, atau apapun. Di sisi lain, siapapun juga bisa mengakses dan menikmatinya.

Karenanya, berdasar prinsip hukum informasi dan transaksi elektronik dan hukum data pribadi, maka siapapun orang yang mengakses media sosial telah memberikan izin kepada pengakses untuk menikmati karyanya. Namun, hal tersebut bisa dilakukan jika tidak bertentangan dengan pengaturan terkait Hak Cipta. Hal ini bisa dimaknai bahwa publik di media sosial/digital hanya memperoleh izin untuk penggunaan secara pribadi.

Sebagai gambaran, pemutaran lagu di tempat usaha semacam rumah makan, hotel ataupun tempat-tempat lain yang memiliki nilai ekonomis. Sebenarnya hal tersebut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Di peraturan pemerintah tersebut, dijelaskan tentang hak komersil (public performing rights/hak pertunjukan publik). Dimana hak tersebut berlaku apabila lagu diputar untuk kepentingan komersial/publik baik melalui media elektronik maupun digital.

Namun demikian, kewajiban royalti tidak dapat dipandang sederhana semata dari norma undang-undang. Tapi, perlu juga melihat praktik di lapangan. Utamanya setelah digitalisasi merebak seperti saat ini.

Dalam praktik di lapangan, pemutaran lagu bisa dilakukan secara langsung menggunakan aplikasi digital seperti youtube, spotify dll. Untuk bisa menikmati lagu-lagu tersebut, pengguna lebih dulu membayar untuk menjadi anggota (member premium) ataupun gratis.

Dengan kata lain, penegakan hukum terkait Hak Cipta akan menjadi sangat sulit ditegakkan karena kesulitan mengidentifikasi siapa saja yang telah menggunakan Hak Cipta untuk kepentingan publik.

Harapan ke Depan

Merujuk pada praktik yang terjadi di lapangan, perlu dibuat kebijakan untuk memberikan perlindungan hak yang lebih baik bagi pencipta. Salah satunya dengan membuat regulasi terkait pengaturan royalti public performing terhadap media sosial/ digital.

Salah satu gagasan yang bisa dibuat adalah bila seseorang berlangganan platform tertentu, maka otomatis dia sudah membayar royalti public performing. Sehingga pengguna dalam hal ini pengelola kafe atau hotel tidak perlu ketakutan lagi terhadap gugatan hukum para pencipta. Mereka tidak perlu khawatir apakah perlu membayar royalti atau tidak. Sebab, sejak awal royalti sudah dibayarkan.

Untuk mendapatkan royalti, para pencipta tinggal menagih kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Lalu, LMKN menagihkan kepada pengelola platform.

Berdasarkan hal tersebut, perubahan UU Hak Cipta mendesak dilakukan. Utamanya untuk mengakomodir perkembangan hukum di era digital dan memberikan pengaturan yang lebih gamblang.

Putusan MK nantinya juga diharapkan tidak hanya memberikan kepastian hukum. Tapi, juga menghadirkan keadilan dan kemanfaatan baik bagi pencipta, pemegang Hak Cipta, pelaku usaha, dan masyarakat luas di era digital. Bukankah hukum yang baik adalah hukum yang menciptakan kebermanfaatan bagi khalayak umum. (*)

 

 

Artikel Terkait

Pilihan Editor

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/