METROTODAY, SURABAYA – Belakangan ini, jagat media sosial diramaikan dengan unggahan yang menunjukkan perubahan menu Makanan Bergizi Gratis (MBG) menjadi snack kemasan.
Kebijakan ini segera mendapat sorotan tajam dari para ahli. Salah satunya dari Lailatul Muniroh, ahli gizi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Ia menilai bahwa langkah ini mengandung risiko kesehatan yang sangat tinggi bagi anak-anak.
Menurutnya, MBG yang ideal harus dapat memenuhi seluruh kebutuhan zat gizi makro dan mikro yang esensial. Sebaliknya, snack hanya berfungsi sebagai selingan di antara waktu makan utama, seperti di antara sarapan dan makan siang.
Ia menegaskan bahwa snack tidak dapat menggantikan peran makanan utama.
“Porsi snack idealnya hanya memenuhi 10 persen dari total kalori harian. Meskipun dalam kondisi tertentu, seperti pada lansia atau pasien pascaoperasi, snack padat gizi bisa menjadi pengganti sementara, ini tidak boleh menjadi praktik yang berkelanjutan,” jelasnya pada Jumat (27/6).
Ia mengatakan, penggantian MBG dengan snack secara terus-menerus, terutama jika snack tersebut rendah gizi, berpotensi memicu dampak kesehatan yang serius, baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Dalam jangka pendek, hal ini dapat menyebabkan penurunan energi dan asupan gizi, yang berujung pada menurunnya konsentrasi dan produktivitas anak.
Selain itu pemberian snack yang tinggi gula atau garam hanya memberikan rasa kenyang sesaat, tetapi tidak bertahan lama dan gagal memenuhi kebutuhan gizi harian.
Sementara dalam jangka panjang, risikonya jauh lebih mengkhawatirkan. Antara lain menyebabkan gizi kurang pada anak, risiko anemia dan “hidden hunger” (kekurangan zat gizi mikro) lainnya.
Selain itu juga menyebabkan peningkatan risiko penyakit tidak menular, seperti diabetes melitus tipe 2 dan hipertensi di kemudian hari.
Solusi dari Ahli Gizi: Ubah Snack Menjadi Padat Gizi
Meskipun menyadari kepraktisan snack, Lailatul Muniroh menawarkan solusi tanpa mengorbankan prinsip gizi. Ia menyarankan agar snack diubah menjadi “nutrient-dense snack” atau snack padat gizi.
“Snack tidak selalu identik dengan makanan ringan rendah kalori. Snack yang dirancang dengan prinsip gizi seimbang justru bisa menjadi solusi jika makanan utama tidak tersedia. Namun, kondisi ini tidak boleh menjadi kebiasaan karena tidak ada situasi darurat yang ‘memaksa’ snack menggantikan makanan utama,” tegasnya.
Untuk memastikan program MBG berjalan efektif, Lailatul merekomendasikan beberapa langkah kebijakan penting:
- Penetapan standar gizi nasional yang jelas.
- Integrasi data stunting untuk intervensi yang tepat sasaran.
- Alokasi dana khusus untuk program gizi.
- Pemanfaatan pangan lokal dengan kandungan gizi tinggi.
- Pelibatan ahli gizi di setiap tahap program.
- Monitoring input, proses, dan output secara berkelanjutan.
Ahli gizi dari Universitas Airlangga (Unair) ini juga memberikan peringatan keras. Jika praktik penggantian menu ini terus berlanjut, negara harus menanggung konsekuensi terburuk, mulai dari rendahnya potensi kognitif generasi penerus hingga beban kesehatan jangka panjang.
“Jika kita ingin generasi Indonesia tumbuh sehat, cerdas, dan berdaya saing global, maka akses terhadap makanan bergizi, aman, dan terjangkau adalah hak dasar yang harus dijamin negara. Ini bukan pilihan, apalagi kompromi,” pungkasnya. (ahm)