26.1 C
Surabaya
17 June 2025, 2:17 AM WIB

Kisah Jeff Bezos Membeli Koran The Washington Post: Gifts vs Choices

METROTODAY, SURABAYA – Tahun 2013, Jeff Bezos – pendiri Amazon – melakukan langkah yang mengejutkan dunia: membeli The Washington Post, salah satu institusi jurnalistik paling berpengaruh di Amerika Serikat.

Banyak yang mempertanyakan: mengapa seorang pebisnis teknologi membeli surat kabar yang sedang meredup?

Bezos sendiri mengaku awalnya tidak pernah tertarik pada bisnis media. Tapi ia melihat sesuatu yang lebih dalam. Dalam pandangannya The Washington Post bukan sekadar koran, melainkan pilar demokrasi.

Dan dengan visi jangka panjang serta kepercayaan pada kekuatan distribusi digital global, ia percaya bahwa institusi ini bisa dihidupkan kembali.

“Internet memberi peluang distribusi global secara gratis. Saya optimis kita bisa membangun model keberlanjutan yang mendukung jurnalisme berkualitas,” ungkapnya.

Keberanian ini tak datang tiba-tiba. Ia lahir dari nilai hidup yang tertanam sejak kecil.

Setelah diakuisi surat kabar ini mengalami transformasi besar menuju digitalisasi. Di bawah kepemimpinannya, fokus pada teknologi, strategi mobile-first, dan pendekatan berbasis data mendorong lonjakan pembaca daring dan akhirnya profitabilitas.

Awalnya Bezos bersikap pasif terhadap konten redaksi, namun sejak 2024 ia mulai aktif mengarahkan kolom opini. Ia menghentikan dukungan politik editorial dan menekankan nilai-nilai libertarian. Perubahan ini memicu pengunduran diri tim opini dan hilangnya ratusan ribu pelanggan.

Langkah tersebut mengundang kritik tajam. Banyak yang menilai The Washington Post kehilangan independensinya, berubah menjadi media dengan agenda ideologis pemiliknya.

Meski berhasil dalam transformasi digital, keterlibatan editorial Bezos menimbulkan pertanyaan serius tentang masa depan jurnalisme bebas.

Jeff Bezos dibesarkan oleh Jackie, seorang ibu muda yang penuh tekad, dan Lawrence Gise, kakek dari pihak ibu yang adalah mantan insinyur nuklir dan sosok penuh akal.

Masa kecilnya di peternakan di Texas bukanlah tentang mainan mahal, tapi tentang belajar memperbaiki mesin, mengobati ternak, dan membangun solusi dari barang seadanya.

Di sinilah Jeff kecil belajar dua hal penting: berpikir mandiri dan tidak takut kotor. Ia menyaksikan kakeknya membuat jarum jahit sendiri dari kawat dan obeng bekas untuk menjahit luka sapi.

Ibunya juga adalah sumber kekuatan. Jackie hamil di usia 17 tahun dan nyaris dikeluarkan dari sekolah. Tapi ia melawan sistem demi haknya sebagai pelajar dan sebagai ibu. Ia bukan hanya bertahan, tapi menciptakan ruang bagi anaknya tumbuh dengan grit—ketangguhan tanpa kompromi.

“Anda tumbuh bersama ibu seperti itu, dan Anda akan memiliki tekad yang luar biasa,” kata Bezos.

Saat kuliah di Princeton, Bezos awalnya ingin menjadi fisikawan teoretis. Namun suatu hari, ia menemui momen reflektif. Ketika ia dan temannya kesulitan menyelesaikan soal diferensial parsial, mereka meminta bantuan seorang mahasiswa lain.

Mahasiswa itu melihat soalnya, berpikir sejenak, lalu langsung memberikan jawabannya. Bezos tertegun—ia sadar bahwa dirinya tidak akan pernah menjadi yang terbaik di bidang itu.

“Di sanalah saya menyadari bahwa saya bisa cerdas, tapi bukan jenius dalam fisika. Maka saya memilih jalur lain—teknik elektro dan ilmu komputer.”

Momen itu menjadi dasar pandangannya tentang “gifts vs. choices” —bakat bisa didapat secara alami, tapi pilihan adalah milik kita sepenuhnya.

“Kecerdasan adalah anugerah; kebaikan adalah pilihan.”

“Pada akhirnya, kita adalah pilihan kita. Bangunlah cerita hebat untuk diri Anda sendiri.”

Setelah bekerja di industri keuangan, Bezos melihat internet tumbuh 2.300% per tahun. Ia merasakan getaran sejarah dan tahu bahwa ia harus ikut. Maka ia mundur dari pekerjaannya, membuat rencana bisnis dalam mobil, dan mendirikan Amazon dari garasi rumah sewa. Amazon dimulai dari buku, lalu tumbuh menjadi kekuatan ritel global.

Tapi Bezos tak berhenti di Amazon. Ia terus menjelajah: meluncurkan Amazon Web Services, membuat Echo dan Alexa, mendirikan perusahaan luar angkasa Blue Origin, dan… membeli The Washington Post.

Semua bukan karena ambisi kosong, tapi karena misi panjang: membangun masa depan yang lebih baik.

Perjalanan Jeff Bezos bersama The Washington Post menjadi gambaran nyata tentang bagaimana visi, keberanian, dan kegigihan mampu mengubah sesuatu yang nyaris tenggelam menjadi simbol pembaruan.

Tumbuh dari latar belakang keluarga sederhana dan penuh rintangan, Bezos membuktikan bahwa masa depan tidak hanya ditentukan oleh bakat, tetapi oleh keputusan yang kita ambil setiap hari.

Saat mengakuisisi The Washington Post, banyak pihak meragukan langkahnya, namun ia menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap nilai jurnalisme dan dedikasi pada demokrasi dapat menghidupkan kembali warisan penting.

Meski demikian, campur tangannya dalam arah editorial menjadi pengingat bahwa kekuasaan besar memerlukan tanggung jawab dan kepekaan.

Kisahnya menegaskan bahwa pemimpin sejati bukan hanya pencipta kesuksesan finansial, melainkan juga sosok yang mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat.

Intinya, beranilah mengambil jalan berbeda, dan gunakan kekuatanmu untuk menciptakan makna serta perubahan yang membangun. Cerita Bezos bukan sekadar tentang kekayaan, melainkan tentang keberanian untuk memilih arah hidup sendiri. (Edhy Aruman)

METROTODAY, SURABAYA – Tahun 2013, Jeff Bezos – pendiri Amazon – melakukan langkah yang mengejutkan dunia: membeli The Washington Post, salah satu institusi jurnalistik paling berpengaruh di Amerika Serikat.

Banyak yang mempertanyakan: mengapa seorang pebisnis teknologi membeli surat kabar yang sedang meredup?

Bezos sendiri mengaku awalnya tidak pernah tertarik pada bisnis media. Tapi ia melihat sesuatu yang lebih dalam. Dalam pandangannya The Washington Post bukan sekadar koran, melainkan pilar demokrasi.

Dan dengan visi jangka panjang serta kepercayaan pada kekuatan distribusi digital global, ia percaya bahwa institusi ini bisa dihidupkan kembali.

“Internet memberi peluang distribusi global secara gratis. Saya optimis kita bisa membangun model keberlanjutan yang mendukung jurnalisme berkualitas,” ungkapnya.

Keberanian ini tak datang tiba-tiba. Ia lahir dari nilai hidup yang tertanam sejak kecil.

Setelah diakuisi surat kabar ini mengalami transformasi besar menuju digitalisasi. Di bawah kepemimpinannya, fokus pada teknologi, strategi mobile-first, dan pendekatan berbasis data mendorong lonjakan pembaca daring dan akhirnya profitabilitas.

Awalnya Bezos bersikap pasif terhadap konten redaksi, namun sejak 2024 ia mulai aktif mengarahkan kolom opini. Ia menghentikan dukungan politik editorial dan menekankan nilai-nilai libertarian. Perubahan ini memicu pengunduran diri tim opini dan hilangnya ratusan ribu pelanggan.

Langkah tersebut mengundang kritik tajam. Banyak yang menilai The Washington Post kehilangan independensinya, berubah menjadi media dengan agenda ideologis pemiliknya.

Meski berhasil dalam transformasi digital, keterlibatan editorial Bezos menimbulkan pertanyaan serius tentang masa depan jurnalisme bebas.

Jeff Bezos dibesarkan oleh Jackie, seorang ibu muda yang penuh tekad, dan Lawrence Gise, kakek dari pihak ibu yang adalah mantan insinyur nuklir dan sosok penuh akal.

Masa kecilnya di peternakan di Texas bukanlah tentang mainan mahal, tapi tentang belajar memperbaiki mesin, mengobati ternak, dan membangun solusi dari barang seadanya.

Di sinilah Jeff kecil belajar dua hal penting: berpikir mandiri dan tidak takut kotor. Ia menyaksikan kakeknya membuat jarum jahit sendiri dari kawat dan obeng bekas untuk menjahit luka sapi.

Ibunya juga adalah sumber kekuatan. Jackie hamil di usia 17 tahun dan nyaris dikeluarkan dari sekolah. Tapi ia melawan sistem demi haknya sebagai pelajar dan sebagai ibu. Ia bukan hanya bertahan, tapi menciptakan ruang bagi anaknya tumbuh dengan grit—ketangguhan tanpa kompromi.

“Anda tumbuh bersama ibu seperti itu, dan Anda akan memiliki tekad yang luar biasa,” kata Bezos.

Saat kuliah di Princeton, Bezos awalnya ingin menjadi fisikawan teoretis. Namun suatu hari, ia menemui momen reflektif. Ketika ia dan temannya kesulitan menyelesaikan soal diferensial parsial, mereka meminta bantuan seorang mahasiswa lain.

Mahasiswa itu melihat soalnya, berpikir sejenak, lalu langsung memberikan jawabannya. Bezos tertegun—ia sadar bahwa dirinya tidak akan pernah menjadi yang terbaik di bidang itu.

“Di sanalah saya menyadari bahwa saya bisa cerdas, tapi bukan jenius dalam fisika. Maka saya memilih jalur lain—teknik elektro dan ilmu komputer.”

Momen itu menjadi dasar pandangannya tentang “gifts vs. choices” —bakat bisa didapat secara alami, tapi pilihan adalah milik kita sepenuhnya.

“Kecerdasan adalah anugerah; kebaikan adalah pilihan.”

“Pada akhirnya, kita adalah pilihan kita. Bangunlah cerita hebat untuk diri Anda sendiri.”

Setelah bekerja di industri keuangan, Bezos melihat internet tumbuh 2.300% per tahun. Ia merasakan getaran sejarah dan tahu bahwa ia harus ikut. Maka ia mundur dari pekerjaannya, membuat rencana bisnis dalam mobil, dan mendirikan Amazon dari garasi rumah sewa. Amazon dimulai dari buku, lalu tumbuh menjadi kekuatan ritel global.

Tapi Bezos tak berhenti di Amazon. Ia terus menjelajah: meluncurkan Amazon Web Services, membuat Echo dan Alexa, mendirikan perusahaan luar angkasa Blue Origin, dan… membeli The Washington Post.

Semua bukan karena ambisi kosong, tapi karena misi panjang: membangun masa depan yang lebih baik.

Perjalanan Jeff Bezos bersama The Washington Post menjadi gambaran nyata tentang bagaimana visi, keberanian, dan kegigihan mampu mengubah sesuatu yang nyaris tenggelam menjadi simbol pembaruan.

Tumbuh dari latar belakang keluarga sederhana dan penuh rintangan, Bezos membuktikan bahwa masa depan tidak hanya ditentukan oleh bakat, tetapi oleh keputusan yang kita ambil setiap hari.

Saat mengakuisisi The Washington Post, banyak pihak meragukan langkahnya, namun ia menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap nilai jurnalisme dan dedikasi pada demokrasi dapat menghidupkan kembali warisan penting.

Meski demikian, campur tangannya dalam arah editorial menjadi pengingat bahwa kekuasaan besar memerlukan tanggung jawab dan kepekaan.

Kisahnya menegaskan bahwa pemimpin sejati bukan hanya pencipta kesuksesan finansial, melainkan juga sosok yang mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat.

Intinya, beranilah mengambil jalan berbeda, dan gunakan kekuatanmu untuk menciptakan makna serta perubahan yang membangun. Cerita Bezos bukan sekadar tentang kekayaan, melainkan tentang keberanian untuk memilih arah hidup sendiri. (Edhy Aruman)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/