METROTODAY, SIDOARJO – Pernikahan dini telah menjadi perhatian banyak pihak, terutama terkait dengan dampaknya terhadap pasangan yang menikah di usia muda.
Psikolog Zaki Nur Fahmawati, M.Psi, menjelaskan alasan di balik tingginya angka perceraian di kalangan pasangan yang menikah muda dan bagaimana faktor psikologis memengaruhi kelangsungan rumah tangga tersebut.
Mengapa Pasangan Muda Cenderung Rentan Menghadapi Perceraian?
Menurut Zaki, salah satu faktor utama mengapa pasangan yang menikah di usia muda lebih rentan mengalami perceraian adalah ketidakmatangan emosional.
“Pada usia muda, individu masih dalam tahap pencarian identitas diri dan seringkali belum sepenuhnya memahami bagaimana cara menghadapi masalah dalam hubungan yang kompleks,” jelas dosen psikologi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) ini.

Kedewasaan emosional sangat penting dalam pernikahan karena pasangan harus bisa mengelola emosi, berkomunikasi dengan baik, dan menyelesaikan konflik secara sehat.
“Jika kedewasaan emosional ini belum tercapai, pasangan muda lebih rentan terhadap ketegangan, perbedaan nilai, dan ketidakmampuan untuk mengatasi konflik yang datang,” tambahnya.
Selain itu, faktor kurangnya pengalaman hidup juga berperan besar. Pasangan muda biasanya belum memiliki banyak pengalaman dalam menangani tantangan hidup, baik itu masalah finansial, pekerjaan, atau bahkan mengasuh anak.
“Karena belum memiliki banyak pengalaman hidup, mereka tidak tahu bagaimana seharusnya mengelola masalah besar dalam pernikahan,” kata Zaki.
Dampak Psikologis Perceraian pada Pasangan, Keluarga, dan Anak
Zaki mengungkapkan bahwa perceraian pada usia muda dapat memiliki dampak psikologis yang sangat besar. Tidak hanya pada pasangan tersebut, tetapi juga pada keluarga dan anak-anak.
Dampak pada pasangan muda biasanya melibatkan perasaan gagal, cemas, dan kehilangan identitas.
“Pasangan muda yang bercerai mungkin akan merasa kehilangan arah hidup dan kerap kali berjuang untuk menerima kenyataan bahwa pernikahan mereka berakhir. Rasa kecewa dan rasa bersalah bisa memengaruhi harga diri mereka dalam jangka panjang,” jelas Zaki.
Sementara itu, bagi keluarga besar, perceraian pasangan muda dapat mempengaruhi hubungan mereka dengan orang tua atau saudara.
“Orang tua sering merasa kecewa dan tertekan, sementara saudara-saudara lainnya bisa merasakan kecemasan atau kebingungan karena perpisahan yang terjadi dalam keluarga,” jelasnya.
Sementara dampak pada anak-anak yang terlahir dari pernikahan muda yang berakhir perceraian juga sangat signifikan.
Anak-anak bisa mengalami kecemasan, kebingungan, atau bahkan masalah dalam berinteraksi dengan teman-temannya.
“Anak-anak yang menyaksikan perpisahan orang tua seringkali merasa kehilangan stabilitas emosional dan bisa memiliki kesulitan dalam hubungan mereka di masa depan,” tambah Zaki.
Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Kestabilan Rumah Tangga Usia Muda
Menurut Zaki, ada beberapa faktor psikologis yang sangat berpengaruh terhadap kestabilan rumah tangga pasangan muda. Salah satunya adalah kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik.
“Komunikasi yang sehat dan terbuka antara pasangan adalah kunci utama untuk menjaga hubungan tetap kuat. Pasangan muda yang terbiasa berkomunikasi dengan cara yang konstruktif lebih mampu mengatasi masalah bersama,” kata Zaki.
Selain itu, kemampuan untuk mengelola stres dan ketahanan mental juga sangat penting. “Setiap pernikahan menghadapi tantangan, namun pasangan muda yang memiliki ketahanan mental yang kuat dapat lebih mudah mengatasi stres dan ketegangan yang muncul,” jelas Zaki.
Ketahanan mental ini melibatkan kemampuan untuk tetap tenang dan rasional saat menghadapi konflik, serta keinginan untuk terus belajar dan berkembang bersama dalam pernikahan.
Selain itu, Zaki juga menekankan bahwa kesadaran finansial sangat berperan dalam stabilitas pernikahan.
“Masalah finansial sering menjadi sumber ketegangan dalam pernikahan, terutama bagi pasangan muda yang belum memiliki sumber pendapatan yang cukup atau belum memiliki pemahaman yang baik tentang pengelolaan keuangan. Kesadaran finansial yang baik sangat membantu pasangan untuk menghindari masalah ini,” katanya.
Yang tak kalah penting, menurut Zaki, adalah dukungan sosial. “Dukungan dari keluarga, teman, dan masyarakat sekitar sangat memengaruhi kualitas hubungan pasangan muda. Pasangan yang merasa terisolasi cenderung lebih rentan terhadap perceraian,” tambahnya.
Oleh karena itu, memiliki lingkungan yang mendukung dan memperkuat hubungan pernikahan sangat penting bagi kestabilan rumah tangga.
Pernikahan usia muda memerlukan kesiapan emosional dan mental yang matang untuk bisa bertahan.
Tanpa kedewasaan emosional, pengalaman hidup yang cukup, dan kemampuan untuk mengelola stres, pasangan muda cenderung lebih rentan terhadap perceraian.
Dampak psikologis dari perceraian pada usia muda tidak hanya dirasakan oleh pasangan, tetapi juga keluarga dan anak-anak yang terlibat.
Untuk itu, pasangan muda perlu memiliki bekal yang cukup dalam bentuk komunikasi yang sehat, pengelolaan stres, kesadaran finansial, serta dukungan sosial yang kuat.
Dengan demikian, pernikahan usia muda bisa bertahan lama dan sehat jika didukung oleh pemahaman dan persiapan yang matang. (elfira/red)