Lansia Sensitif: Tantangan Keluarga dan Pentingnya Dukungan Psikologis

METROTODAY, SURABAYA – Perasaan sensitif pada orang lanjut usia (lansia) menjadi perhatian serius. Kemudahan lansia tersinggung atau sedih seringkali menyulitkan keluarga, terutama jika disertai indikasi menyakiti diri atau orang lain.

Hal ini diungkapkan oleh dr. Erikavitri Yulianti SpKJ Subsp Ger(K), dokter spesialis jiwa, penanganan perasaan sensitif pada lansia membutuhkan edukasi dan diagnosis profesional.

“Penting untuk membedakan apakah perasaan sensitif tersebut normal atau merupakan indikasi gangguan kejiwaan,” jelasnya, Rabu (30/7).

Beberapa faktor berkontribusi pada meningkatnya sensitivitas emosional pada lansia. Perubahan fisik dan kesehatan yang melemah membuat lansia merasa kehilangan otonomi dan mudah frustasi. Penurunan fungsi otak dan saraf juga memengaruhi kemampuan kognitif, termasuk kontrol emosi.

“Tahap-tahap baru dalam hidup, seperti pensiun, hilangnya rutinitas, kemunduran fisik, dan keterbatasan sosial, membuat lansia merasa tidak berdaya. Mereka merasa diabaikan jika tidak dibantu, tetapi juga merasa terbebani jika dibantu,” ungkap dr. Erikavitri.

Ia menambahkan bahwa perubahan pola tidur dan efek samping obat-obatan juga dapat mempengaruhi emosi lansia. Dampak dari sensitivitas emosional yang berlebihan dapat serius.

“Risiko cemas dan depresi meningkat, hubungan sosial menurun, dan lansia mungkin mengisolasi diri. Minat dalam aktivitas sehari-hari juga berkurang,” jelasnya.

Untuk diagnosis yang tepat, dr. Erikavitri menekankan pentingnya wawancara klinis dan observasi yang cermat.

“Komunikasi yang baik sangat penting agar lansia merasa nyaman. Psikiater perlu mengamati perubahan perilaku, seperti pola tidur, nafsu makan, dan aktivitas harian,” ujarnya.

Penilaian psikometri juga dapat membantu menentukan apakah kondisi tersebut masih normal atau mengindikasikan depresi dan gangguan kecemasan. Terapi, baik dengan atau tanpa obat, dapat diberikan sesuai kebutuhan.

Dr. Erikavitri juga menyoroti peran penting keluarga dalam memberikan dukungan emosional dan sosial.

“Keluarga perlu mendukung lansia untuk bersosialisasi, menjaga komunikasi, meningkatkan kemandirian, dan memantau kesehatan mental mereka,” pesannya.

Ia mengingatkan keluarga untuk jeli membedakan antara sensitivitas sesekali dengan sensitivitas yang terus-menerus dan tanpa sebab yang jelas.

“Jika ada perubahan sikap sosial, kesulitan bersosialisasi, insomnia, kehilangan minat, putus asa, atau bahkan halusinasi, segera konsultasikan ke psikiater,” pungkasnya. (ahm)

METROTODAY, SURABAYA – Perasaan sensitif pada orang lanjut usia (lansia) menjadi perhatian serius. Kemudahan lansia tersinggung atau sedih seringkali menyulitkan keluarga, terutama jika disertai indikasi menyakiti diri atau orang lain.

Hal ini diungkapkan oleh dr. Erikavitri Yulianti SpKJ Subsp Ger(K), dokter spesialis jiwa, penanganan perasaan sensitif pada lansia membutuhkan edukasi dan diagnosis profesional.

“Penting untuk membedakan apakah perasaan sensitif tersebut normal atau merupakan indikasi gangguan kejiwaan,” jelasnya, Rabu (30/7).

Beberapa faktor berkontribusi pada meningkatnya sensitivitas emosional pada lansia. Perubahan fisik dan kesehatan yang melemah membuat lansia merasa kehilangan otonomi dan mudah frustasi. Penurunan fungsi otak dan saraf juga memengaruhi kemampuan kognitif, termasuk kontrol emosi.

“Tahap-tahap baru dalam hidup, seperti pensiun, hilangnya rutinitas, kemunduran fisik, dan keterbatasan sosial, membuat lansia merasa tidak berdaya. Mereka merasa diabaikan jika tidak dibantu, tetapi juga merasa terbebani jika dibantu,” ungkap dr. Erikavitri.

Ia menambahkan bahwa perubahan pola tidur dan efek samping obat-obatan juga dapat mempengaruhi emosi lansia. Dampak dari sensitivitas emosional yang berlebihan dapat serius.

“Risiko cemas dan depresi meningkat, hubungan sosial menurun, dan lansia mungkin mengisolasi diri. Minat dalam aktivitas sehari-hari juga berkurang,” jelasnya.

Untuk diagnosis yang tepat, dr. Erikavitri menekankan pentingnya wawancara klinis dan observasi yang cermat.

“Komunikasi yang baik sangat penting agar lansia merasa nyaman. Psikiater perlu mengamati perubahan perilaku, seperti pola tidur, nafsu makan, dan aktivitas harian,” ujarnya.

Penilaian psikometri juga dapat membantu menentukan apakah kondisi tersebut masih normal atau mengindikasikan depresi dan gangguan kecemasan. Terapi, baik dengan atau tanpa obat, dapat diberikan sesuai kebutuhan.

Dr. Erikavitri juga menyoroti peran penting keluarga dalam memberikan dukungan emosional dan sosial.

“Keluarga perlu mendukung lansia untuk bersosialisasi, menjaga komunikasi, meningkatkan kemandirian, dan memantau kesehatan mental mereka,” pesannya.

Ia mengingatkan keluarga untuk jeli membedakan antara sensitivitas sesekali dengan sensitivitas yang terus-menerus dan tanpa sebab yang jelas.

“Jika ada perubahan sikap sosial, kesulitan bersosialisasi, insomnia, kehilangan minat, putus asa, atau bahkan halusinasi, segera konsultasikan ke psikiater,” pungkasnya. (ahm)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/