BAHAYA! Brainrot Konten Animasi Absurd Ancam Perkembangan Otak dan Emosi Anak

METROTODAY, SURABAYA – Konten animasi absurd seperti Ballerina Cappucina dan Tralalero Tralala yang kini membanjiri gawai anak-anak menimbulkan kekhawatiran di kalangan pendidik dan orangtua.

Pasalnya, konten produk AI (artificial intelligence) yang menampilkan benda mati dan hewan bisa berperilaku layaknya manusia ini, meski tak logis, justru menarik perhatian anak-anak karena imajinasi mereka yang masih berkembang.

Lisa Narwastu Kristsuana, dosen Elementary Teacher Education atau PG-PAUD Petra Christian University (PCU) Surabaya, menjelaskan bahwa fenomena yang menyebar melalui platform TikTok, Youtube dan aplikasi game atau musik ini bukan hal baru.

Pasalnya, meski imajinasi penting bagi tumbuh kembang anak, namun seiring bertambahnya usia (sekitar enam tahun), anak perlu mulai mengenali realita dan berpikir logis.

“Dulu kita punya Barbie dan Harry Potter.  Tapi yang membedakan, sekarang imajinasinya makin absurd dan tak terkendali,” ungkap Lisa, Jumat (13/6).

Popularitas konten anomali ini didorong oleh daya tarik visual dan algoritma yang mendorong konsumsi berulang. Akibatnya, anak-anak menjadi “penikmat pasif” konten yang sejatinya justru tidak mendidik dan hanya memberi hiburan sesaat.

Contojh konten animasi absurd yang banyak bertebaran di media sosial mengganggu tumbuh kembang anak. (Foto: Istimewa)

“Ibarat tanaman yang disiram tak beraturan, otak anak-anak bisa rusak. Mereka jadi blank, sulit fokus, dan emosinya ikut kacau,” jelas dosen sekaligus Wakil Dekan Faculty of Teacher Education PCU Surabaya tersebut.

Hal ini, lanjut dia, disebabkan oleh produksi dopamin yang tidak teratur akibat rangsangan konten acak. Sehingga, otak kehilangan struktur dalam menyerap informasi dan memicu “brainrot” secara perlahan.

Dampak “brainrot” tidak hanya pada kemampuan belajar, tetapi juga emosi dan sosial anak. Anak bisa menjadi lebih kasar, mudah tersinggung, dan mengalami kecemasan berlebih.

“Banyak orang tua mengeluhkan anaknya bicara ketus dan lebih senang menyendiri dengan gadget,” terang Lisa.

Selain itu, empati anak juga berkurang karena terbiasa dengan konten palsu dan tak berperasaan.

Lisa mengakui, melarang total atau sepenuhnya anak tak menonton atau memegang gawai bukanlah solusi. Menurut pakar parenting dan psikologi kepribadian ini, kunci utamanya adalah relasi dan komunikasi yang kuat antara orang dewasa dan anak.

“Semakin dilarang, makin anak melawan. Kita harus jadi teman bicara yang bijak, bukan penghakim,” jelasnya.

Komunikasi yang hangat dan rasa percaya diri anak, lanjut dia, akan menjadi pelindung terbaik dari pengaruh buruk dunia digital. Edukasi bagi orang tua dan guru sangat penting, bukan hanya soal teknologi, tetapi juga nilai-nilai kehidupan.

Rasa aman dari rumah akan membuat anak lebih tahan terhadap tekanan luar. Kehadiran orang tua yang hangat dan penuh pengertian menjadi fondasi perlindungan terbaik bagi anak di era serba cepat dan penuh distraksi ini.

“”Anak harus merasa dirinya berharga. Bukan karena diterima teman, tapi karena tahu dirinya dikasihi,” pungkasnya. (ahm)

METROTODAY, SURABAYA – Konten animasi absurd seperti Ballerina Cappucina dan Tralalero Tralala yang kini membanjiri gawai anak-anak menimbulkan kekhawatiran di kalangan pendidik dan orangtua.

Pasalnya, konten produk AI (artificial intelligence) yang menampilkan benda mati dan hewan bisa berperilaku layaknya manusia ini, meski tak logis, justru menarik perhatian anak-anak karena imajinasi mereka yang masih berkembang.

Lisa Narwastu Kristsuana, dosen Elementary Teacher Education atau PG-PAUD Petra Christian University (PCU) Surabaya, menjelaskan bahwa fenomena yang menyebar melalui platform TikTok, Youtube dan aplikasi game atau musik ini bukan hal baru.

Pasalnya, meski imajinasi penting bagi tumbuh kembang anak, namun seiring bertambahnya usia (sekitar enam tahun), anak perlu mulai mengenali realita dan berpikir logis.

“Dulu kita punya Barbie dan Harry Potter.  Tapi yang membedakan, sekarang imajinasinya makin absurd dan tak terkendali,” ungkap Lisa, Jumat (13/6).

Popularitas konten anomali ini didorong oleh daya tarik visual dan algoritma yang mendorong konsumsi berulang. Akibatnya, anak-anak menjadi “penikmat pasif” konten yang sejatinya justru tidak mendidik dan hanya memberi hiburan sesaat.

Contojh konten animasi absurd yang banyak bertebaran di media sosial mengganggu tumbuh kembang anak. (Foto: Istimewa)

“Ibarat tanaman yang disiram tak beraturan, otak anak-anak bisa rusak. Mereka jadi blank, sulit fokus, dan emosinya ikut kacau,” jelas dosen sekaligus Wakil Dekan Faculty of Teacher Education PCU Surabaya tersebut.

Hal ini, lanjut dia, disebabkan oleh produksi dopamin yang tidak teratur akibat rangsangan konten acak. Sehingga, otak kehilangan struktur dalam menyerap informasi dan memicu “brainrot” secara perlahan.

Dampak “brainrot” tidak hanya pada kemampuan belajar, tetapi juga emosi dan sosial anak. Anak bisa menjadi lebih kasar, mudah tersinggung, dan mengalami kecemasan berlebih.

“Banyak orang tua mengeluhkan anaknya bicara ketus dan lebih senang menyendiri dengan gadget,” terang Lisa.

Selain itu, empati anak juga berkurang karena terbiasa dengan konten palsu dan tak berperasaan.

Lisa mengakui, melarang total atau sepenuhnya anak tak menonton atau memegang gawai bukanlah solusi. Menurut pakar parenting dan psikologi kepribadian ini, kunci utamanya adalah relasi dan komunikasi yang kuat antara orang dewasa dan anak.

“Semakin dilarang, makin anak melawan. Kita harus jadi teman bicara yang bijak, bukan penghakim,” jelasnya.

Komunikasi yang hangat dan rasa percaya diri anak, lanjut dia, akan menjadi pelindung terbaik dari pengaruh buruk dunia digital. Edukasi bagi orang tua dan guru sangat penting, bukan hanya soal teknologi, tetapi juga nilai-nilai kehidupan.

Rasa aman dari rumah akan membuat anak lebih tahan terhadap tekanan luar. Kehadiran orang tua yang hangat dan penuh pengertian menjadi fondasi perlindungan terbaik bagi anak di era serba cepat dan penuh distraksi ini.

“”Anak harus merasa dirinya berharga. Bukan karena diterima teman, tapi karena tahu dirinya dikasihi,” pungkasnya. (ahm)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/