METROTODAY, SURABAYA – Video yang memperlihatkan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengikuti kesenian Sandur Madura menjadi viral di media sosial. Dalam video tersebut, Wali Kota tampak menari mengikuti irama musik tradisional asal Madura.
Selain itu, dalam keterangan pada video viral tersebut diterangkan bahwa Eri Cahyadi siap maju menjadi Gubernur Jawa Timur dalam pemilihan yang akan datang.
Sosiolog Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA), Andri Arianto, menyatakan bahwa video viral tersebut menjadi simbol komitmen Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dalam menjaga denyut nadi kebudayaan di tengah dinamika kota multikultural.
Menurutnya, kesenian dan kebudayaan di Surabaya bukan sekadar romantisme masa lalu, melainkan investasi sosial dan budaya untuk masa depan.
“Surabaya yang dikenal sebagai kota multikultural, tumbuh dari perjumpaan dan interaksi berbagai etnis, agama, bahasa, hingga tradisi budaya yang hidup berdampingan dan saling mempengaruhi. Dalam hal ini, Wali Kota dan jajarannya memiliki peran vital sebagai penjaga nilai, fasilitator kreativitas, dan penjamin keadilan budaya,” ujar Andri, Jumat (19/12)
Andri menjelaskan, multikultural masyarakat Surabaya telah tumbuh sejak zaman dahulu karena kota ini menjadi pusat perekonomian dan jalur perdagangan nasional hingga internasional. Hal itu membuka ruang bagi berbagai komunitas etnis seperti Tionghoa, Arab, Bugis, Banjar, Bali, dan Madura.
“Hal itu menjadikannya ruang bagi beragam komunitas, mulai etnis Tionghoa, Arab, Bugis, Banjar, Bali, Madura dan sebagainya. Adanya itu semua, multikultural melalui migrasi dan relasi ekonomi di pelabuhan terus bergulir hingga saat ini,” jelas Andri.
Menurutnya, kesenian Sandur Madura merupakan contoh nyata tradisi yang terus hidup dan beradaptasi di ruang urban Surabaya. Seni pertunjukan rakyat yang memadukan tari, musik, dialog, humor, dan kritik sosial ini dibawa oleh migrasi masyarakat Madura dan kini menjadi bukti kontribusi etnis tersebut bagi kesenian kota.
Di lingkungan kampung-kampung urban, Sandur bukan sekadar hiburan melainkan juga sarana mempererat solidaritas komunitas. Pentas Sandur di Surabaya juga mengalami adaptasi, seperti durasi yang dipersingkat, tema yang menyesuaikan realitas perkotaan, dan pergeseran ruang pentas ke balai warga atau panggung festival.
“Migrasi masyarakat Madura ke Surabaya membawa serta tradisi Sandur ke ruang kota seperti di lingkungan kampung-kampung urban dan sebagainya. Sandur bukan hanya dipentaskan sebagai hiburan, akan tetapi juga sebagai sarana mempererat solidaritas komunitas masyarakat Madura,” paparnya.
Namun, Andri mengungkapkan bahwa kesenian Sandur kini jarang dipentaskan di ruang publik. Hal ini disebabkan kurangnya generasi penerus atau minimnya regenerasi seniman, serta stereotip terhadap etnis tertentu yang membuat kesenian ini kurang mendapat ruang yang setara dalam agenda budaya kota.
“Bukan hanya itu, stereotip terhadap etnis tertentu juga mempengaruhi kurangnya mendapat ruang yang setara dalam agenda budaya kota,” sebutnya.
Andri menambahkan, kesenian Sandur saat ini telah menjadi bagian dari mozaik kebudayaan Surabaya yang multikultural. Dengan demikian, Surabaya tidak hanya melestarikan kesenian lokal tetapi juga menghargai akar budaya masyarakat urban.
“Kota Surabaya adalah ruang hidup dari perjumpaan desa dan kota, tradisi dan modernitas. Dengan memberi ruang bagi Sandur untuk terus tumbuh dan tampil, Surabaya tidak hanya melestarikan satu kesenian daerah, akan tetapi juga meneguhkan dirinya sebagai kota yang menghargai akar budaya warganya,” pungkasnya. (ahm)

