Oleh Salimah, SS., M. Ed., Dosen FIB Unair dan Anggota ISNU Airlangga

KITA semua berduka. Musibah robohnya musala Pondok Pesantren Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, pada Senin 29 September 2025, telah merenggut nyawa 54 santri muda dan melukai puluhan lainnya (Metrotoday.id, 6 Oktober 2025, pukul 08.51 WIB).
Kejadian tragis ini berlangsung saat para santri tengah melaksanakan salat Ashar berjamaah, ketika struktur bangunan musala tiga lantai runtuh tiba-tiba ke dasar.
Basarnas mencatat, 104 orang berhasil dievakuasi dengan selamat dari reruntuhan, namun duka mendalam menyelimuti keluarga, para guru, dan masyarakat sekitar.
Kepada para keluarga korban, kita sampaikan belasungkawa sedalam-dalamnya. Semoga Allah menerima amal ibadah para santri yang wafat, memberikan kesembuhan kepada yang terluka, serta menguatkan hati semua yang ditinggalkan.
Tragedi ini bukan sekadar berita. Ia adalah ujian bagi kita semua sebagai komunitas beriman. Bagaimana kita membaca takdir Allah dengan mata batin yang jernih, sekaligus menunaikan amanah akal dan perencanaan yang telah dianugerahkan-Nya.
Iman dan Perencanaan: Dua Sayap yang Tak Terpisahkan
Dalam menghadapi musibah, umat Islam diajarkan untuk bersikap sabar dan menerima takdir Allah dengan hati lapang. KH Abdus Salam Mujib, pengasuh Ponpes Al Khoziny, menyatakan bahwa peristiwa ini adalah “takdir dari Allah” yang harus diterima dengan kesabaran.
Ketua PBNU, KH Yahya Cholil Staquf, juga mengajak keluarga korban untuk berdoa bersama dan melihat kejadian ini sebagai cobaan serta “pertanda perhatian Allah” bagi umat.
Pernyataan-pernyataan ini mencerminkan laku batin khas pesantren. Yakni ketundukan total kepada kehendak Ilahi dan semangat untuk menghadapinya dengan sabar, ridha, dan doa.
Namun dalam ajaran Islam, takdir dan ikhtiar bukanlah dua kutub yang saling meniadakan. QS Ar-Ra‘d:11 menegaskan, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” Ayat ini menegaskan bahwa takdir Allah berjalan berdampingan dengan sebab-akibat yang diciptakan-Nya.
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa berdoa dan berusaha tidak bertentangan dengan sikap ridha pada qadar Allah. Sebaliknya, keduanya merupakan bentuk ketaatan kepada perintah-Nya.
Nabi Muhammad SAW juga memberikan sebuah pelajaran yang sangat terkenal. “I‘qilha wa tawakkal” yang artinya “Ikatlah unta itu, lalu bertawakal”. Kalimat ini sederhana, namun sarat makna. Ia menegaskan bahwa tawakal sejati bukanlah menyerah tanpa usaha, melainkan mengerahkan segala daya upaya yang ada, baru kemudian berserah diri kepada kehendak Allah.
Dalam konteks pembangunan pesantren, prinsip ini mengajarkan bahwa perencanaan yang matang, pengawasan konstruksi yang ketat, dan penerapan standar keselamatan, bukanlah sikap kurang beriman, melainkan bagian dari keimanan itu sendiri.
Budaya Pesantren: Antara Barakah dan Ikhtiar
Pesantren, terutama yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), memiliki tradisi spiritual yang sangat kuat. Nilai-nilai seperti barakah (keberkahan), qana‘ah (kepuasan hati dengan karunia Allah), dan ketergantungan penuh pada intervensi Ilahi telah lama menjadi fondasi dalam kehidupan santri dan kiai. Tradisi ini melahirkan generasi yang tangguh secara spiritual dan siap menghadapi hidup dengan kesabaran dan keikhlasan.
Namun dalam beberapa kasus, penekanan yang sangat kuat pada aspek spiritual ini terkadang membuat dimensi ikhtiar teknis dan perencanaan menjadi kurang menonjol. Dalam narasi pasca tragedi Al Khoziny, misalnya, ungkapan “ini sudah takdir” muncul sebagai respons dominan.
Sementara dari sisi teknis, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa penyebab utama runtuhnya bangunan di Ponpes Al Khoziny adalah kegagalan struktur penopang yang tidak mampu menahan beban pengecoran di lantai atas. Dua narasi ini, narasi spiritual dan narasi teknis, sering kali berjalan sendiri-sendiri, padahal seharusnya saling melengkapi.
Imam Al-Ghazali menekankan bahwa menerima takdir bukan berarti membiarkan sebab-sebab duniawi terabaikan. Dalam pandangan beliau, kebencian terhadap sebab dosa dan kelalaian harus disertai dengan usaha memperbaikinya, bukan sekadar penerimaan pasif.
Dengan kata lain, barakah dan ikhtiar bukan dua jalan yang terpisah. Keduanya adalah satu jalan lurus menuju ridha Allah. Ketika pesantren membangun musala, asrama, atau gedung belajar, memastikan perencanaan matang, fondasi kokoh, dan penerapan prinsip Kesehatan, Keselamatan, dan Keamanan (K3) yang ketat bukan sekadar kewajiban teknis. Itu adalah bagian dari amanah spiritual.
Prinsip K3 sebagai Amanah Islam
Kesehatan, Keselamatan, dan Keamanan (K3) sering dianggap istilah teknis yang hanya relevan bagi perusahaan besar atau proyek infrastruktur negara. Padahal dalam konteks lembaga pendidikan Islam, prinsip ini sangat selaras dengan ajaran agama.
Rasulullah SAW bersabda, “Kalian semua adalah pemimpin, dan masing-masing akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Prinsip kepemimpinan ini mencakup juga tanggung jawab terhadap keselamatan fisik santri dan para pekerja yang terlibat dalam pembangunan fasilitas pesantren.
Firman Allah dalam QS Al-Baqarah:195 memperingatkan, “Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” Ayat ini mengandung pesan penting bahwa mengabaikan langkah-langkah keselamatan sama saja dengan menjerumuskan diri dan orang lain ke dalam bahaya.
Dalam konteks pembangunan musala Al Khoziny, penyebab teknis yang disampaikan BNPB menunjukkan adanya kelemahan perencanaan struktural. Ini menjadi pelajaran berharga bagi semua lembaga pendidikan Islam bahwa aspek keselamatan fisik tidak boleh dikesampingkan.
Beberapa pesantren besar di Indonesia sebenarnya telah mulai menerapkan prinsip K3 secara lebih sistematis. Dalam pembangunan gedung asrama baru, misalnya, proses perizinan melibatkan konsultan struktur profesional dan inspeksi berkala oleh pihak ketiga.
Ke depan, langkah seperti pelatihan dasar keselamatan bagi pekerja lokal sebelum pembangunan dimulai dapat menjadi bagian penting dalam budaya pembangunan pesantren. Dengan cara ini, pesantren dapat memastikan bahwa semangat gotong royong tetap berjalan seiring dengan penerapan prinsip keselamatan yang baik.
Langkah-langkah semacam ini tidak mengurangi nilai barakah sedikit pun. Sebaliknya, ia menunjukkan kesungguhan dalam menunaikan amanah Allah dengan sebaik-baiknya.
Belajar dari Sejarah Islam dan Tradisi Pesantren
Sejarah Islam sendiri memberikan banyak contoh tentang pentingnya perencanaan dan kesiapsiagaan. Nabi Muhammad SAW, ketika berhijrah dari Makkah ke Madinah, tidak hanya bertawakal kepada Allah, tetapi juga merencanakan jalur hijrah dengan cermat, memilih gua Tsur sebagai tempat persembunyian strategis, dan menunjuk pemandu jalan yang berpengalaman. Inilah contoh nyata i‘qilha wa tawakkal dalam sejarah.
Dalam sejarah pesantren Nusantara, para kiai pendiri juga menunjukkan kejelian perencanaan. KH Hasyim Asy‘ari, misalnya, mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng dengan memperhatikan tata letak bangunan, aliran air, dan akses ke sumber daya masyarakat sekitar.
Meski istilah K3 belum dikenal saat itu, pendekatan rasional dan kehati-hatian sudah menjadi bagian integral dari pembangunan pesantren.
Menariknya, diceritakan bahwa pada saat tentara Belanda hendak merebut kembali Indonesia dan telah menapakkan kaki di perbatasan Krian, KH Hasyim Asy‘ari tidak hanya menyerukan perlawanan dan memperbanyak doa ketika mendengar kabar potensi serangan Belanda.
Beliau juga berlatih menembak menggunakan pistol Vickers yang diberikan oleh putranya, Yusuf Hasyim. Latihan dilakukan di halaman belakang rumahnya di Tebuireng, dengan beberapa peluru sebagai bekal latihan dasar.
Kisah ini menunjukkan bahwa Mbah Hasyim memadukan spiritualitas dan kesiapsiagaan praktis: doa dan ikhtiar berjalan seiring.
Membangun Kesadaran Kolektif
Tragedi Al Khoziny menjadi momentum refleksi nasional. Bukan hanya bagi keluarga besar pesantren itu sendiri, tetapi juga bagi ratusan ribu pesantren di seluruh Indonesia.
Negara kita memiliki lebih dari 36.000 pesantren dengan jutaan santri. Sebagian besar bangunan pesantren didirikan secara swadaya, bertahap, dan sering kali tanpa keterlibatan konsultan profesional.
Kondisi ini menuntut kesadaran baru bahwa pembangunan pesantren bukan hanya urusan spiritual dan gotong royong, tetapi juga soal keamanan jiwa.
Kesadaran ini perlu dibangun dari dalam lingkungan pesantren sendiri, melalui sosialisasi prinsip K3 sebagai bagian dari ajaran agama. Organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, dan ormas Islam lainnya dapat berperan sebagai fasilitator pelatihan K3 bagi pesantren-pesantren.
Pemerintah, melalui Kementerian Agama dan lembaga teknis seperti BNPB atau PUPR, dapat menyediakan panduan standar pembangunan pesantren yang mudah dipahami dan diterapkan.
Namun yang paling penting, para pengasuh pesantren perlu menanamkan dalam diri mereka bahwa memastikan keamanan bangunan dan lingkungan santri adalah bagian dari tanggung jawab keagamaan mereka.
Menjaga Jiwa, Menjaga Amanah
Islam menempatkan penjagaan jiwa (hifzh al-nafs) sebagai salah satu dari lima tujuan utama syariat (maqashid al-syariah). Ini berarti, setiap langkah pembangunan fisik lembaga keagamaan harus berpijak pada prinsip melindungi kehidupan manusia. Dalam konteks ini, penerapan prinsip K3 bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan pengejawantahan dari nilai Islam itu sendiri.
Imam Syafi‘i pernah mengingatkan, bahkan burung pun keluar dari sarangnya untuk mencari makan, bukan menunggu rezeki turun begitu saja.
Pesan sederhana ini menyiratkan bahwa ikhtiar adalah kodrat manusia. Mengandalkan barakah tanpa perencanaan bukanlah tawakkal sejati, tetapi bentuk kealpaan terhadap amanah akal yang Allah berikan.
Duka, Doa, dan Harapan
Musibah Al Khoziny adalah duka kita semua. Kita berdoa semoga para santri yang wafat memperoleh kedudukan mulia di sisi Allah, keluarga mereka diberi ketabahan, dan semua korban yang terluka segera pulih.
Namun, duka ini tidak boleh berhenti pada air mata dan doa. Ia harus menjadi bahan muhasabah kolektif untuk membangun kesadaran baru tentang pentingnya perencanaan, pengawasan, dan keselamatan dalam pembangunan pesantren.
Dalam Islam, menerima takdir bukan berarti berhenti berikhtiar. Sebaliknya, takdir mengajarkan kita untuk membaca tanda-tanda Allah, memperbaiki sebab, dan merancang masa depan dengan sungguh-sungguh.
Semoga kejadian ini menjadi pelajaran yang membangkitkan semangat pesantren-pesantren di seluruh Nusantara untuk menegakkan prinsip K3 sebagai bagian tak terpisahkan dari iman dan tanggung jawab mereka.
Semoga Allah melindungi seluruh santri, para kiai, dan lembaga pendidikan Islam di tanah air. (*)

