26.1 C
Surabaya
17 June 2025, 1:30 AM WIB

Jakarta dan Kota Pesisir Lain Menghadapi Krisis Penurunan Tanah dan Banjir

METROTODAY, JAKARTA – Sejak belasan tahun silam, pernyataan yang menyebutkan kota-kota besar di Indonesia akan tenggam sudah mencuat. Sepertinya, pernyataan itu akan menjadi kenyataan. Dan, itu bakal terjadi dalam waktu singkat.

Pasalnya, banyak kota di dunia, termasuk Jakarta, menghadapi fenomena penurunan permukaan tanah yang terjadi dengan cepat. Itu memicu ancaman banjir yang lebih sering dan lebih parah.

Salah satunya dialami Erna, salah satu penduduk di kawasan pesisir Jakarta.  Dua puluh dua tahun yang lalu, ketika Erna berdiri di luar rumahnya, jendelanya setinggi dada saya. “Sekarang, jendelanya setinggi lutut,” kata dia seperti dikutip BBC.

Seiring dengan penurunan rumahnya, perempuan 37 tahun itu dan keluarganya harus menghadapi banjir yang sering terjadi. Dalam kasus yang paling ekstrem, mereka menggunakan perahu kano karena air terus masuk dan membanjiri lantai bawah.

Dinding rumahnya, yang dibangun pada tahun 1970-an, retak, dan terlihat lapisan beton tebal yang telah ditambahkan di lantai untuk mencoba mengembalikannya ke level tanah – sekitar 10 kali sejak dibangun. Rumah ini masih terus tenggelam, dan Erna tidak mampu untuk pindah.

Penurunan itu disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah ekstraksi air tanah secara berlebihan yang telah mengompresi tanah dan membuat permukaannya tenggelam. Fenomena itu tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi menimpa sekitar 48 kota pesisir yang telah diteliti oleh Nanyang Technological University (NTU) di Singapura.

Berdasar penelitian NTU, seperti yang ditulis dalam laporan khusus BBC, lebih dari 76 juta orang terancam tinggal di area yang mengalami penurunan lebih dari 1 cm per tahun antara 2014 hingga 2020.

Di Jakarta, salah satu kota yang paling parah terpengaruh, permukaan tanah telah turun rata-rata 11,6 cm per tahun. Ini menjadikan Jakarta sangat rentan terhadap banjir parah dan intrusi air laut.

Pemerintah Indonesia telah melarang pemompaan air tanah di beberapa daerah dan membangun dinding laut untuk mencegah masuknya air laut. Namun, upaya ini belum cukup untuk mengatasi masalah penurunan tanah yang terus berlangsung.

Peneliti NTU, Cheryl Tay mengatakan banyak kota yang tenggelam berada di Asia atau Asia Tenggara. “Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingginya permintaan air di daerah tersebut, dengan populasi yang berkembang pesat dan banyaknya pembangunan,” kata dia.

“Hal ini dapat menyebabkan peningkatan tingkat ekstraksi air tanah, yang kemudian bisa memperburuk kondisi. Ini berarti banjir akan menjadi lebih sering, lebih intens, dan lebih lama di masa depan,” tambahnya.

Sebagai contoh, Jakarta, Bangkok, dan Ho Chi Minh City adalah beberapa kota yang menghadapi masalah ini. Pemompaan yang tidak terkendali mengurangi cadangan air tanah dan mengakibatkan penurunan permukaan tanah yang memperburuk kondisi banjir.

Beberapa kota telah mencoba berbagai solusi untuk mengatasi masalah ini. Tokyo, misalnya, mengatur pemompaan air tanah dengan ketat dan membangun sistem manajemen pasokan air yang efisien untuk mengurangi penurunan tanah.

Selain itu, kota-kota seperti Chongqing dan San Salvador mengadopsi konsep sponge city, yang menggunakan ruang terbuka hijau untuk menyerap air hujan dan mengurangi risiko banjir.

Para ahli memperingatkan bahwa tanpa perubahan besar dalam pengelolaan sumber daya air dan pembangunan yang lebih berkelanjutan, masalah penurunan tanah ini akan semakin parah.

Kota-kota yang terancam, seperti Jakarta, perlu menghadapi kenyataan bahwa tindakan jangka panjang dan kebijakan yang konsisten diperlukan untuk melindungi warga mereka. Jika tidak, semakin banyak orang seperti Erna yang harus berjuang menghadapi kenyataan rumah mereka semakin tenggelam.(*)

METROTODAY, JAKARTA – Sejak belasan tahun silam, pernyataan yang menyebutkan kota-kota besar di Indonesia akan tenggam sudah mencuat. Sepertinya, pernyataan itu akan menjadi kenyataan. Dan, itu bakal terjadi dalam waktu singkat.

Pasalnya, banyak kota di dunia, termasuk Jakarta, menghadapi fenomena penurunan permukaan tanah yang terjadi dengan cepat. Itu memicu ancaman banjir yang lebih sering dan lebih parah.

Salah satunya dialami Erna, salah satu penduduk di kawasan pesisir Jakarta.  Dua puluh dua tahun yang lalu, ketika Erna berdiri di luar rumahnya, jendelanya setinggi dada saya. “Sekarang, jendelanya setinggi lutut,” kata dia seperti dikutip BBC.

Seiring dengan penurunan rumahnya, perempuan 37 tahun itu dan keluarganya harus menghadapi banjir yang sering terjadi. Dalam kasus yang paling ekstrem, mereka menggunakan perahu kano karena air terus masuk dan membanjiri lantai bawah.

Dinding rumahnya, yang dibangun pada tahun 1970-an, retak, dan terlihat lapisan beton tebal yang telah ditambahkan di lantai untuk mencoba mengembalikannya ke level tanah – sekitar 10 kali sejak dibangun. Rumah ini masih terus tenggelam, dan Erna tidak mampu untuk pindah.

Penurunan itu disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah ekstraksi air tanah secara berlebihan yang telah mengompresi tanah dan membuat permukaannya tenggelam. Fenomena itu tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi menimpa sekitar 48 kota pesisir yang telah diteliti oleh Nanyang Technological University (NTU) di Singapura.

Berdasar penelitian NTU, seperti yang ditulis dalam laporan khusus BBC, lebih dari 76 juta orang terancam tinggal di area yang mengalami penurunan lebih dari 1 cm per tahun antara 2014 hingga 2020.

Di Jakarta, salah satu kota yang paling parah terpengaruh, permukaan tanah telah turun rata-rata 11,6 cm per tahun. Ini menjadikan Jakarta sangat rentan terhadap banjir parah dan intrusi air laut.

Pemerintah Indonesia telah melarang pemompaan air tanah di beberapa daerah dan membangun dinding laut untuk mencegah masuknya air laut. Namun, upaya ini belum cukup untuk mengatasi masalah penurunan tanah yang terus berlangsung.

Peneliti NTU, Cheryl Tay mengatakan banyak kota yang tenggelam berada di Asia atau Asia Tenggara. “Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingginya permintaan air di daerah tersebut, dengan populasi yang berkembang pesat dan banyaknya pembangunan,” kata dia.

“Hal ini dapat menyebabkan peningkatan tingkat ekstraksi air tanah, yang kemudian bisa memperburuk kondisi. Ini berarti banjir akan menjadi lebih sering, lebih intens, dan lebih lama di masa depan,” tambahnya.

Sebagai contoh, Jakarta, Bangkok, dan Ho Chi Minh City adalah beberapa kota yang menghadapi masalah ini. Pemompaan yang tidak terkendali mengurangi cadangan air tanah dan mengakibatkan penurunan permukaan tanah yang memperburuk kondisi banjir.

Beberapa kota telah mencoba berbagai solusi untuk mengatasi masalah ini. Tokyo, misalnya, mengatur pemompaan air tanah dengan ketat dan membangun sistem manajemen pasokan air yang efisien untuk mengurangi penurunan tanah.

Selain itu, kota-kota seperti Chongqing dan San Salvador mengadopsi konsep sponge city, yang menggunakan ruang terbuka hijau untuk menyerap air hujan dan mengurangi risiko banjir.

Para ahli memperingatkan bahwa tanpa perubahan besar dalam pengelolaan sumber daya air dan pembangunan yang lebih berkelanjutan, masalah penurunan tanah ini akan semakin parah.

Kota-kota yang terancam, seperti Jakarta, perlu menghadapi kenyataan bahwa tindakan jangka panjang dan kebijakan yang konsisten diperlukan untuk melindungi warga mereka. Jika tidak, semakin banyak orang seperti Erna yang harus berjuang menghadapi kenyataan rumah mereka semakin tenggelam.(*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/