Oleh: Musonif Afandi, Direktur Eksekutif Actual Research Survey

BENCANA besar yang meluluhlantakkan sejumlah daerah di wilayah Aceh dan Sumatera pada akhir November 2025 kembali menunjukkan betapa rapuhnya hubungan antara manusia dan ekosistem yang menopang kehidupan.
Hujan deras memang menjadi pemicu langsung banjir bandang, tetapi kerusakan lingkungan yang berlangsung lama dan sistematis telah memperbesar dampaknya menjadi tragedi kemanusiaan.
Ratusan warga meninggal, ratusan lain masih hilang, sementara ribuan rumah, lahan pertanian serta infrastruktur publik, hancur terseret arus air lumpur dan kayu-kayu gelondongan dari kawasan hulu.
Fenomena serupa bukan kali ini saja terjadi. Kejadian semacam ini merupakan rangkaian berulang dari pilihan pembangunan yang bertumpu pada eksploitasi ruang, perampasan hutan dan pembiaran atas kerusakan lingkungan.
Selama puluhan tahun, orientasi pembangunan nasional sering disandarkan pada pertumbuhan ekonomi dan investasi sebagai tolok ukur keberhasilan. Namun, keberhasilan yang hanya diukur dari peningkatan indikator ekonomi atau masuknya modal tidak mampu menjawab kebutuhan paling dasar masyarakat yakni keselamatan, kepastian ruang hidup dan keadilan ekologis.
Bencana di Aceh dan Sumatera memperlihatkan kontradiksi tersebut dengan gamblang. Di saat izin perkebunan, tambang dan proyek-proyek besar diberikan tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan, masyarakat dipaksa menanggung kerugian yang sebenarnya dapat dicegah.
Tragedi ini harus dibaca bukan sebagai takdir alam yang harus ditanggung masyarakat, tetapi konsekuensi sosial politik dari kebijakan yang mengabaikan batas ekologis dan mengorbankan kelompok paling rentan.
Jika negara tidak segera mengubah paradigma pembangunan, maka banjir bandang, longsor dan berbagai bentuk bencana ekologis lainnya akan terus menjadi konsekuensi dari keserakahan yang dilegalkan.
Pertumbuhan vs Keberlanjutan
Indonesia memiliki sejarah panjang bencana yang terkait langsung dengan eksploitasi alam. Banjir bandang Pacet di Mojokerto pada awal 2000-an, yang menewaskan sekitar dua puluh orang adalah contoh awal yang menegaskan kerusakan hulu, tata ruang dan eksploitasi hutan dapat berubah menjadi ancaman mematikan.
Begitu pula tragedi Lumpur Lapindo pada 2006 yang menenggelamkan belasan desa dan ribuan rumah di Sidoarjo. Meski pemicunya diperdebatkan, publik menyaksikan bagaimana izin eksploitasi gas di kawasan permukiman padat penduduk berubah menjadi tragedi sosial dan ekonomi berkepanjangan. Dua dekade berlalu, kasus itu tetap menjadi simbol kegagalan negara melindungi warganya dari risiko industri yang dikelola secara serampangan.
Rangkaian bencana tersebut bukan peristiwa terpisah, melainkan sudah membentuk pola. Pola ini dibangun dari cara pandang penguasa dalam melihat pembangunan yang menganggap hutan sebagai lahan kosong, sungai sebagai saluran air tak bertuan dan ekosistem sebagai hambatan investasi.
Dalam pandangan ini, keberhasilan selalu diukur melalui angka pertumbuhan ekonomi, bukan kualitas hidup masyarakat. Ketika kepentingan korporasi menguasai proses perizinan, ketika tata ruang dapat dinegosiasikan dan ketika pengawasan lingkungan lemah, maka bencana hanyalah menunggu waktu.
Banjir bandang yang menerjang Aceh dan Sumatera di November 2025 memperlihatkan dengan jelas bagaimana kerusakan lingkungan menjadi pemicu utama bencana. Temuan awal lembaga riset dan instansi pemerintah menunjukkan bahwa rusaknya kawasan hulu, maraknya ilegal logging, serta perluasan perkebunan di zona rawan mempercepat aliran air dan membawa gelondongan kayu dalam jumlah besar.
Material kayu yang menghantam permukiman menjadi bukti paling nyata bahwa degradasi ekologis telah dibiarkan berlangsung lama tanpa pengawasan. Peristiwa ini sekaligus menegaskan bahwa bencana bukan sekadar fenomena alam, melainkan akibat dari pilihan pembangunan yang salah arah.
Dalam perspektif ekonomi politik pembangunan, eksploitasi yang dianggap sebagai pencipta kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan daerah justru menimbulkan biaya sosial ekologis tersembunyi yang tidak pernah diperhitungkan dalam neraca penguasa dan pengusaha.
Biaya ini muncul dalam bentuk hilangnya permukiman penduduk, mata pencaharian masyarakat, rusaknya lahan produktif, lumpuhnya transportasi lokal dan beban negara untuk penanganan bencana. Bila dihitung secara jujur, kerugian akibat bencana jauh lebih besar dibanding manfaat ekonomi jangka pendek yang diperoleh dari eksploitasi yang tidak terkendali.
Karena itu, dilema antara pertumbuhan dan keberlanjutan sesungguhnya bukan dilema. Hal itu merupakan pilihan politik apakah negara lebih memilih laba jangka pendek atau keselamatan jangka panjang. Data empiris dalam dua dekade terakhir memperlihatkan bahwa setiap kali pilihan jatuh pada eksploitasi, masyarakatlah yang akan menanggung akibat terburuknya.
Kegagalan Negara dan Korporasi
Banjir bandang Aceh dan Sumatera tidak hanya menguji respons darurat, tetapi juga mengungkap kontradiksi mendalam antara mandat negara dan praktik di lapangan. Negara berkewajiban melindungi warganya, tetapi terlalu sering justru menjadi pemberi izin atas proyek-proyek yang mengancam ruang hidup masyarakat.
Ini yang disebut oleh banyak ahli sebagai kekerasan struktural, yakni kekerasan yang tidak terlihat, tetapi tercipta lewat aturan, kebijakan dan praktik perizinan yang membuka jalan bagi bencana.
Kasus Lapindo adalah contoh ekstrem bagaimana kegagalan korporasi dan kelonggaran negara menghasilkan penderitaan panjang. Penanganan yang lamban, perdebatan tanggung jawab yang tidak kunjung tuntas serta minimnya pemulihan jangka panjang memperlihatkan bahwa regulasi kita tidak memihak pada korban.
Pola serupa muncul dalam kasus-kasus perusakan hutan di Sumatera, Kalimantan dan Papua, di mana keuntungan segelintir pihak mengalahkan keselamatan banyak orang.
Banjir bandang Aceh dan Sumatera menguatkan kembali pelajaran itu. Ketika ribuan warga kehilangan tempat tinggal, akses air bersih terputus, sawah dan kebun tersapu air, negara seharusnya hadir tidak hanya pada tahap evakuasi, tetapi jauh sebelum bencana terjadi, melalui perlindungan terhadap hulu DAS, penegakan hukum atas pembalakan liar, taat pada tata ruang dan penolakan tegas terhadap proyek berisiko tinggi.
Dalam situasi demikian, tanggung jawab dan kesalahan tidak dapat dibebankan pada alam atau pada fenomena cuaca ekstrem. Penyebab utamanya terletak pada kebijakan atau keputusan manusia. Alam memang punya siklusnya, tetapi skala kehancuran adalah hasil dari keputusan politik.
Tantangan ke depan adalah memastikan pusat-pusat kekuasaan, pemerintah, korporasi dan aktor politik segera menghentikan praktik yang melegitimasi eksploitasi yang mengatasnamakan demi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Tanpa perubahan paradigma, bencana yang kita sebut hari ini sebagai kejadian yang luar biasa akan menjadi hal yang normal atau biasa-biasa saja di masa depan.
Mengubah Arah, Menegakkan Keadilan
Tragedi Aceh dan Sumatera adalah peringatan keras. Bencana bukan sekadar fenomena alam, melainkan hasil kolaborasi antara kondisi alam dan pilihan politik. Selama negara memandang pembangunan sebagai akumulasi modal semata, selama tata ruang tunduk pada kepentingan jangka pendek dan selama korporasi dapat beroperasi tanpa akuntabilitas, maka korban manusia dan kerusakan lingkungan akan terus bertambah.
Membiarkan pola pembangunan yang merusak lingkungan terus berlangsung berarti menyerahkan dan membiarkan arah masa depan kepada kepentingan yang serakah. Indonesia membutuhkan keberanian politik untuk menata ulang pendekatan pembangunan dengan mengganti eksploitasi dengan keberlanjutan, mengganti praktik perizinan yang permisif dengan pengawasan ketat serta mengalihkan fokus dari pertumbuhan ekonomi semata menuju keadilan sosial dan ekologis.
Tanpa perubahan ini, tragedi Aceh, Sumatera, Pacet dan Lapindo hanya akan menjadi daftar panjang bencana yang berulang. Dengan perubahan, deretan peristiwa tersebut dapat menjadi pelajaran penting untuk menapaki pembangunan yang menghargai kehidupan. (*)

