Oleh: Edhy Aruman, Kolumnis, Lecturer and Educator London School of Public Relations Jakarta

SUATU malam, agen khusus FBI William Cruise menjemput sosok tanpa nama yang dikenal sebagai The Mother, diperankan Jennifer Lopez.
Dua belas tahun lamanya mereka tidak berjumpa, namun pertemuan itu dimulai tanpa sapaan apa pun. Cruise menyindir, “Peradaban dimulai dari hal-hal kecil… seperti mengucapkan *halo*.”
Kalimat sederhana yang memaksa The Mother untuk kembali mengingat fondasi dasar interaksi manusia: bahwa peradaban dibangun dari gestur kecil yang sering kita anggap remeh.
Sapaan seperti “halo, selamat pagi,” atau “apa kabar” mungkin tampak sederhana, tetapi ia adalah jembatan yang membuka percakapan, membangun kepercayaan, dan menghadirkan rasa hormat.
Steven Pinker (1994) menulis bahwa bahasa, sekecil apa pun satuan kata yang diucapkan, adalah instrumen utama yang memungkinkan manusia membangun masyarakat, menyelesaikan konflik, dan mengembangkan budaya.
Dengan kata lain, peradaban bukan hanya dibangun oleh monumen megah atau keputusan politik besar, tetapi oleh kata-kata kecil yang diulang jutaan kali dalam keseharian.
Rilis film The Mother oleh Netflix pada Mei 2023, bertepatan dengan Hari Ibu Internasional, menguatkan makna ini. Dalam film tersebut, The Mother bukan hanya berjuang melawan penjahat yang hendak membalas dendam, tetapi juga melawan masa lalunya sendiri.
Ia bersembunyi di hutan bersalju, mengasah keterampilan bertahan hidup, dan akhirnya kembali demi melindungi putrinya. Dalam situasi ekstrem, tindakan-tindakan kecil seperti membalut luka Cruise, menyiapkan bom waktu, menyelamatkan satu nyawa, membangun momentum yang mengubah seluruh jalur cerita.
Film ini menggambarkan bahwa tindakan kecil dapat menjadi titik balik dalam menghindari kehancuran atau memulihkan harmoni.
Di dunia nyata, sejarah menunjukkan pola serupa. Peradaban runtuh atau bangkit bukan semata oleh tindakan besar, melainkan akumulasi hal-hal kecil: disiplin, komunikasi, keputusan moral, dan solidaritas.
John Rawls (1971) menegaskan bahwa aturan-aturan kecil dalam hukum dan keadilan adalah fondasi masyarakat yang stabil. Amartya Sen (1999) menambahkan bahwa fondasi kemajuan dibangun dari tindakan individual yang kecil dan berulang, seperti mengakses informasi, ikut serta dalam debat publik, atau memberi kesempatan kepada orang lain.
Namun, ada sisi lain yang perlu diakui: manusia sering salah menilai hal-hal kecil tersebut. Kita sering terjebak dalam narasi besar yang memukau dan mengabaikan detail-detail faktual.
Di sinilah kontribusi penting Phil Rosenzweig muncul melalui bukunya The Halo Effect. Rosenzweig mengungkap bahwa banyak cara berpikir bisnis dipenuhi “delusi”; kesalahan logika yang membuat kita meyakini bahwa kesuksesan atau kegagalan perusahaan didorong oleh satu faktor heroik seperti “visi kepemimpinan” atau “budaya kerja hebat”.
Padahal, itu hanyalah bias persepsi.
Halo Effect terjadi ketika kinerja sebuah perusahaan sedang baik, lalu orang menyimpulkan bahwa strateginya hebat, pemimpinnya brilian, dan budayanya luar biasa. Ketika perusahaan menurun, narasinya berubah total: strategi disalahkan, pemimpin disebut arogan, dan budaya dianggap stagnan.
Rosenzweig menunjukkan bahwa sering kali tidak ada perubahan berarti, persepsi kita yang berubah karena terpesona oleh hasil akhir.
Studi-studi bisnis yang mengklaim menemukan “formula sukses” sering kali tidak akurat karena memuja cerita, bukan data. Cisco, IBM, Nokia, hingga ABB menjadi contoh bagaimana persepsi publik dan akademik dipengaruhi oleh narasi, bukan fakta objektif.
Pembelajaran dari The Halo Effect memperkuat gagasan fundamental: peradaban juga kerap disalahpahami karena kita lebih mudah terpukau oleh narasi besar ketimbang memperhatikan faktor kecil yang sebenarnya menentukan.
Halo effect adalah bias kognitif ketika penilaian terhadap satu aspek membuat kita menilai aspek lain secara positif tanpa bukti yang cukup.
Ketika perusahaan sukses, orang otomatis menilai pemimpinnya visioner, strateginya hebat, dan budayanya kuat. Padahal belum tentu benar.
Kita percaya bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh pemimpin besar atau terobosan besar. Padahal kemajuan itu bertumpu pada jutaan keputusan kecil warganya seperti disiplin, etika, keteraturan, kejujuran, dan komunikasi sederhana.
Sejarah inovasi juga mendukung hal ini. Jared Diamond (1999) menulis bahwa penemuan sederhana seperti roda tampak kecil, tetapi dampaknya revolusioner: perdagangan meningkat, perjalanan menjadi efisien, dan jaringan sosial-ekonomi berkembang pesat.
Yuval Harari (2015) menambahkan bahwa perubahan besar seperti perlindungan lingkungan dimulai dari tindakan kecil seperti daur ulang atau pengurangan plastik. Bila dilakukan bersama, jumlahnya menjadi kekuatan transformasi.
Dari The Mother hingga The Halo Effect, dari antropologi hingga teori manajemen, satu kebenaran konsisten muncul: peradaban bukanlah hasil satu tindakan heroik, tetapi akumulasi tindakan kecil yang dilakukan secara konsisten.
Sapaan “halo” mungkin terlihat sederhana, tetapi ia adalah simbol bahwa hubungan manusia dan peradaban itu sendiri dimulai dari perhatian kecil, penghormatan kecil, dan kepedulian kecil.
Pada akhirnya, peradaban dibangun oleh mereka yang memahami bahwa perubahan besar selalu dimulai dari hal-hal kecil.
Dan karena itu, setiap sapaan, setiap keputusan kecil, dan setiap tindakan yang tampaknya sederhana memiliki kekuatan untuk mengubah arah peradaban. (Edhy Aruman/red)

