Oleh: Albard Khan, Pemerhati Masalah Sosial, Alumni Flinders University South Australia

SELAMA bertahun-tahun, alokasi Dana Desa didominasi oleh pembangunan fisik seperti jalan, jembatan, dan balai desa. Berdasarkan data Kementerian Desa PDTT, sekitar 36% Dana Desa rata-rata digunakan untuk infrastruktur, sementara hanya sekitar 6% untuk pendidikan, 8% untuk kesehatan, dan 2% untuk kegiatan kebudayaan dan ruang publik (KLC Kemenkeu, 3 Maret 2025).
Padahal, regulasi seperti Permendesa No. 8 Tahun 2022 memungkinkan penggunaan Dana Desa untuk mendanai pembangunan sosial termasuk taman desa. Masalahnya bukan pada tidak adanya kebijakan, melainkan pada kebiasaan dan persepsi pembangunan yang sempit.
Pembangunan yang terfokus pada infrastruktur keras sering kali mengabaikan dimensi sosial dan psikologis masyarakat desa. Minimnya ruang terbuka hijau yang ramah dan inklusif di desa-desa Indonesia menciptakan kekosongan fungsi sosial yang krusial.
Padahal, ruang publik tidak hanya berfungsi sebagai tempat berkumpul tetapi juga sebagai medium tumbuhnya interaksi, identitas kolektif, dan kesehatan mental masyarakat.
Ketiadaan taman desa adalah bentuk ketimpangan hak atas ruang hidup yang layak. Sudah saatnya Dana Desa digunakan untuk menjawab kekosongan ini.
Taman Desa sebagai Investasi Rendah dengan Dampak Luas
Taman desa atau alun-alun kecil terbukti membawa manfaat luas bagi kesehatan fisik, mental, dan kohesi sosial masyarakat. Berbagai penelitian dalam jurnal kesehatan masyarakat dan psikologi lingkungan menunjukkan bahwa akses terhadap ruang terbuka hijau menurunkan tingkat stres, kecemasan, dan depresi.
Paparan elemen alam seperti pohon, bunga, dan udara segar terbukti memicu respon relaksasi dalam sistem saraf. Taman juga mendorong aktivitas fisik seperti berjalan kaki dan berolahraga ringan yang menurunkan risiko penyakit jantung dan diabetes.
Lebih dari itu, taman memberikan tempat aman dan terstruktur bagi anak-anak untuk bermain sehingga mendukung perkembangan motorik, kognitif, dan sosial. Lansia pun mendapat tempat untuk tetap aktif dan bersosialisasi yang penting untuk mencegah demensia dan isolasi.
Dalam konteks ekonomi, taman desa dapat menjadi pusat kegiatan lokal dari bazar UMKM, pentas budaya, hingga wisata lokal. Sebuah taman yang dikelola baik bahkan bisa menjadi sumber PAD (Pendapatan Asli Desa).
Biaya pembangunannya pun relatif rendah dengan dana Rp50 sampai Rp100 juta sebuah taman dengan fasilitas dasar seperti jalur pejalan kaki, tempat duduk, tanaman pelindung, dan area bermain bisa direalisasikan. Apalagi jika digabungkan dengan skema Padat Karya Tunai Desa.
Inspirasi dari Dalam dan Luar Negeri
Beberapa desa di Jawa Tengah sudah membuktikan bahwa pembangunan taman desa adalah pilihan strategis. Di Desa Kedunggading Kabupaten Pemalang, taman desa dibangun dari Dana Desa tahun 2018 dan kini dilengkapi dengan fasilitas olahraga, taman bermain, dan jaringan Wi-Fi gratis.
Di Desa Sumbergayam Rembang, alun-alun yang dulu kosong kini menjadi pusat aktivitas warga dan tempat bagi UMKM lokal menggelar lapak pada akhir pekan.
Sementara itu, praktik internasional di negara-negara Skandinavia dan Australia bisa menjadi rujukan. Di Norwegia, taman desa dirancang melalui pendekatan partisipatif warga dari semua usia dilibatkan dalam merancang ruang yang inklusif.
Mereka mengutamakan keberlanjutan, penggunaan material lokal, dan koneksi dengan lanskap alam sekitar. Di Australia, taman komunitas dilengkapi dengan jalur akses difabel, taman sensorik untuk anak berkebutuhan khusus, serta ruang serbaguna untuk kegiatan kolektif. Meski dengan konteks sosial dan anggaran berbeda, prinsip inklusif, adaptif, dan berorientasi manusia dapat diadopsi di desa-desa Indonesia.
Dari Kebutuhan Dasar Menuju Pemenuhan Kebutuhan Psikososial
Pembangunan desa yang baik adalah pembangunan yang memahami manusia secara utuh. Teori Hierarki Kebutuhan Maslow mengajarkan bahwa setelah kebutuhan dasar seperti makan, tempat tinggal, dan keamanan terpenuhi, manusia akan mencari pemenuhan kebutuhan akan cinta, penghargaan, dan aktualisasi diri.
Sayangnya, pembangunan desa sering terjebak di dua lapis bawah infrastruktur dan layanan dasar tanpa naik ke lapisan sosial dan psikologis.
Taman desa memberi ruang bagi warga untuk merasa dihargai, menjadi bagian dari komunitas, dan mengekspresikan diri. Ia bisa menjadi tempat pelatihan, pameran hasil tani, pertunjukan kesenian, bahkan forum musyawarah warga. Dengan taman, desa menjadi ruang hidup yang utuh bukan hanya sekumpulan bangunan.
Secara kebijakan, penggunaan Dana Desa untuk taman sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) terutama poin 3 tentang Kesehatan dan Kesejahteraan, poin 11 tentang Pemukiman yang Aman dan Inklusif, dan poin 13 tentang Penanganan Perubahan Iklim.
Ini membuktikan bahwa investasi pada taman bukan sekadar proyek estetika melainkan strategi jangka panjang untuk membangun masyarakat desa yang sehat, inklusif, dan berdaya.
Sudah saatnya kita keluar dari kerangkeng pembangunan berbasis beton. Jika kota punya taman kota sebagai simbol kemajuan, desa juga berhak punya taman desa sebagai simbol kehidupan. Dana Desa harus menjadi alat untuk menghidupkan kembali ruang sosial desa bukan hanya membangunnya secara fisik tetapi juga memanusiakannya. (*)

