Oleh: Edhy Aruman, Kolumnis, Lecturer and Educator LSPR Jakarta

SERING kali, undangan acara datang pada hari Rabu. Entah itu Raboan kantor, Diskusi Raboan, Majelis Raboan, arisan bulanan, atau forum diskusi tengah minggu. Pot luck di ruang dosen LSPR juga hari Rabu.
Seolah Rabu punya daya tarik tersendiri — hari yang tak terlalu awal untuk mulai sibuk, tapi belum cukup akhir untuk beristirahat.
Bahkan di dunia hiburan, Rabu juga punya pesonanya. Serial drama Korea First Lady, yang kini sedang tayang di Netflix, memperbarui episodenya setiap Rabu. Kisah tentang ambisi, kekuasaan, dan cinta segitiga itu terasa pas: hari Rabu adalah metafora sempurna untuk ketegangan di antara hasrat dan kenyataan.
Semasa saya menjadi koordinator liputan di Jawa Pos, Republika dan media-media lainnya, saya selalu punya perasaan yang sama setiap kali kalender menunjuk ke hari Rabu. Entah kenapa, ada semacam napas lega yang terasa.
Rabu adalah hari paling sibuk, tapi juga paling produktif. Para reporter berlomba mengirimkan naskah, redaksi riuh dengan telepon narasumber, dan ruang rapat penuh dengan jadwal wawancara.
Banyak acara konferensi pers, peluncuran produk, atau diskusi publik diadakan pada hari ini. Hari Rabu seolah disepakati diam-diam sebagai hari paling komunikatif dalam seminggu — hari ketika banyak hal terjadi, banyak berita lahir, dan banyak cerita menemukan jalannya ke halaman depan.
Fenomena ini bukan kebetulan. Dalam ritme kerja modern, Rabu berada di posisi strategis — cukup jauh dari Senin yang masih sibuk menyesuaikan diri, namun belum terlalu dekat dengan Jumat yang biasanya mulai santai.
Secara sosial, ini adalah hari paling “aman” untuk mengadakan pertemuan, rapat, atau wawancara. Secara psikologis, menurut Richard Gross (2024) dalam The Psychology of Time, manusia memiliki kecenderungan alami untuk menempatkan makna dan energi di “tengah” waktu — karena titik tengah memberi rasa stabilitas dan kendali.
Itu sebabnya banyak organisasi, dari kantor pemerintahan hingga media, menjadikan Rabu sebagai pusat aktivitas mingguan.
Namun, apa sebenarnya yang membuat Rabu terasa begitu khas dan kadang, begitu berat?
Bagi banyak orang, Rabu adalah titik tengah: bukan awal, bukan akhir, hanya di antara keduanya.
Di satu sisi, ada semangat yang mulai menipis setelah dua hari bekerja. Di sisi lain, akhir pekan masih terasa terlalu jauh. Tidak heran jika istilah midweek blues atau hump day populer di banyak budaya. Kita mendaki tanjakan minggu, berharap cepat sampai di puncak bernama Jumat.
Tapi jika mau jujur, Rabu sebenarnya adalah cermin paling jujur dari kehidupan kita sendiri—tempat di mana lelah dan harapan bertemu di garis tengah waktu.
Dalam The Psychology of Time, Gross menulis bahwa waktu bukan sekadar angka di jam tangan, tapi “arus kesadaran yang mengalir.” Kita hidup di dalamnya tanpa sadar, seperti ikan di air.
Rabu menjadi momen ketika arus itu terasa melambat, saat kita menengok ke belakang dan menyadari betapa cepat Senin berlalu. Lalu kita menatap ke depan dan bertanya: “Masih jauh kah menuju Jumat?”
Penelitian ilmiah mendukung perasaan itu. Sotak et al. (2020) menemukan bahwa produktivitas manusia cenderung menurun di pertengahan minggu —tepatnya pada Rabu— karena energi emosional dan kognitif yang mulai terkuras. Fenomena ini disebut midweek fatigue: kelelahan ritmis yang mengikuti pola minggu kerja modern.
Tidak hanya tubuh yang lelah, tetapi juga semangat. Rabu, dengan segala abu-abunya, adalah waktu di mana otak dan hati menuntut jeda.
Namun, seperti yang dijelaskan oleh Philip Zimbardo dan John Boyd (2008) dalam The Time Paradox, persepsi kita terhadap waktu bukan hanya persoalan jam, melainkan soal cara pandang terhadap hidup.
Ada orang yang terus terjebak pada masa lalu (past-oriented), ada yang selalu khawatir pada masa depan (future-oriented), dan ada pula yang hanya ingin menikmati saat ini (present-oriented).
Rabu menantang kita untuk menyeimbangkan ketiganya: mengingat apa yang sudah dilakukan sejak Senin, tetap menatap ke depan menuju akhir pekan, tapi tidak melupakan bahwa “sekarang” juga pantas dinikmati.
Di tengah keletihan, Rabu sebenarnya memberi ruang bagi refleksi. Gross (2024) menyebut momen seperti ini sebagai “kesadaran akan arus waktu”— saat seseorang berhenti sejenak untuk menyadari dirinya sedang hidup di antara dua kutub: masa lalu yang tak bisa diulang dan masa depan yang belum tiba.
Kesadaran ini, tulisnya, adalah inti dari pengalaman manusia. Mungkin karena itulah, banyak acara penting justru diadakan pada hari Rabu—bukan karena tanggalnya praktis, tapi karena secara simbolik, Rabu adalah waktu yang mengundang perenungan.
Lihat saja “Raboan” di banyak kantor: bukan sekadar rapat, tapi forum pertengahan minggu untuk menilai sejauh mana pekerjaan berjalan dan apa yang perlu diperbaiki. Ada kesadaran tersirat bahwa di tengah minggu, kita harus menata ulang ritme sebelum mencapai garis akhir. Rabu, dengan segala keheningannya, adalah checkpoint kehidupan.
Jika kita perhatikan, bahkan dunia hiburan pun memanfaatkan simbolisme itu. Drama First Lad yang tayang setiap Rabu bukan kebetulan belaka. Hari Rabu menjadi panggung bagi episode-episode penting — saat konflik memuncak tapi belum terselesaikan. Tepat seperti hidup di pertengahan minggu: belum bahagia, belum juga menyerah.
Rabu mengajarkan kita bahwa waktu tidak harus diisi dengan kecepatan. Ia mengajak kita untuk melambat sejenak, menengok ke dalam diri, dan bertanya: apakah arah kita masih benar?
Di sinilah letak keindahan tersembunyi Rabu. Ia tidak memamerkan euforia seperti Jumat, atau semangat seperti Senin, tetapi menghadirkan ketenangan yang bijak—ruang untuk bernapas di antara dua ekstrem kehidupan.
Zimbardo menulis, “Kebahagiaan sejati tidak datang dari berlari mengejar waktu, melainkan dari berdamai dengannya.”
Rabu memberi kesempatan itu — untuk berdamai. Untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk kerja, mengingat bahwa kita tidak sedang dikejar waktu, tetapi justru sedang meniti arusnya. Bahwa setiap tengah adalah awal baru yang tersamar.
Jadi, ketika hari Rabu datang lagi minggu depan, jangan buru-buru mengeluh. Nikmati kopi pagi dengan tenang, biarkan napasmu kembali teratur. Karena di balik rasa lelahnya, Rabu membawa pesan sederhana tapi dalam: bahwa hidup tidak hanya tentang memulai dan mengakhiri, tetapi tentang menemukan makna di tengah-tengahnya. (*)

