25 September 2025, 13:33 PM WIB

Pagar Beton di Pesisir Cilincing Jakarta Utara Rugikan Nelayan, Ini Langkah Hukum yang Bisa Dilakukan

Oleh: Dwi Nurgianto, SH, MH, Praktisi dan Pemerhati Hukum

BELUM sirna dari ingatan tentang pagar laut di pesisir Tangerang pada awal tahun 2025 lalu. Pagar bambu yang membentang sepanjang 30 kilometer di laut Tangerang itu sempat menghebohkan Tanah Air. Kini, muncul kembali pagar serupa namun bukan dari bambu. Melainkan pagar beton sepanjang 2 sampai 3 kilometer yang dibentangkan di pesisir laut Cilincing, Jakarta Utara.

Usut punya usut, ternyata tanggung jawab berdirinya tanggul beton di laut pesisir Cilincing itu ada pada Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP). Pengelolaan di bawah naungan KKP ini didelegasikan kepada PT. Karya Citra Nusantara (KCN) untuk pembangunan dermaga.

Berdasarkan penjelasan KKP, tanggul beton tersebut telah memiliki izin resmi berupa persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL). Tujuan tanggul laut di pesisir Cilincing ini untuk memperkuat konektivitas dan pertumbuhan ekonomi maritim di Indonesia. Penjelasan KKP tersebut sebagaimana termuat dalam laman portal berita Tempo edisi 12 September 2025.

Pagar beton yang dibangun oleh KCN ini memang bertujuan untuk pengembangan ekonomi maritim. Namun di sisi lain, pembangunan tersebut juga menjadi penghambat berkembangnya ekonomi nelayan kecil di wilayah tersebut.

Nelayan mengaku pagar beton menghambat jalur melaut, sehingga berakibat nelayan harus mencari jalan memutar yang lebih jauh. Ongkos melaut menjadi bertambah mahal karena membutuhkan lebih banyak BBM untuk menuju ke tengah laut.

Tak berhenti di situ, keresahan para nelayan pun berlanjut karena turunnya hasil tangkapan ikan. Sebagaimana yang diungkap dalam laman berita nasional Kompas.com pada 17 September 2025.

Begitulah potret negeri impian. Seringkali mengatasnamakan demi kepentingan memajukan bangsa namun malah mematikan harapan rakyat. Lalu, apa yang bisa diperbuat para nelayan yang terdampak pagar beton tersebut selain membagi keluh kesahnya.

Negara Indonesia adalah negara hukum, begitulah yang termaktub di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Maka, perjuangan para nelayan di pesisir Cilincing seharusnya tidak berhenti pada protes. Tidak cukup dengan publikasi ke media semata.

Harus ada gerakan masif advokasi hukum yang mengikuti sehingga gerakannya terstruktur dan jelas dampak hukumnya. Diharapkan advokasi hukum ini akan memiliki dampak hukum, dan juga diharapkan berdampak pula pada segi perekonomian ke depan.

Negara sejatinya telah memberikan ruang untuk melakukan advokasi hukum. Dimana jika dicermati, pemberian izin atau PKKPRL merupakan produk hukum Tata Usaha Negara berupa Keputusan TUN. Keputusan TUN dari KKP kepada KCN tersebut sifatnya beschikking.

Dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan, ”Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Produk hukum yang bersifat beschikking dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara jika memang menimbulkan kerugian. Sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor  9 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

”Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan TUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai ganti rugi dan/atau direhabilitasi”.

Alasan yang dapat digunakan dalam pengajuan gugatan KTUN yaitu Keputusan TUN yang digugat bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b dalam Undang Undang yang sama.

Setidaknya ada 17 asas dalam AAUPB antara lain Asas Kepastian Hukum, Asas Kemanfaatan, Asas Ketidakberpihakan, Asas Kecermatan atau Asas Bertindak Cermat, Asas Kepentingan Umum dan lain sebagainya.

Pemberian izin atau PKKPRL yang diberikan oleh KKP kepada KCN, setidaknya KTUN tersebut telah melanggar Asas Kepentingan Umum dan Asas Kemanfaatan. Asas kepentingan umum mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, selektif dan tidak diskriminatif.

Asas kepentingan umum atau asas penyelenggaraan kepentingan umum pada dasarnya menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya mengutamakan kepentingan umum yaitu kepentingan yang mencakup semua aspek kehidupan orang banyak dalam hal ini adalah nelasan pesisir Cilincing Jakarta Timur.

Asas kemanfaatan memberikan prinsip dasar manfaat yang harus diperhatikan secara seimbang. Dalam hal ini manfaat dikeluarkannya PKKPRL musti dilihat dari 2 (dua) sisi, sehingga tidak hanya berbicara kemanfaatan yang mengatasnamakan kemajuan dan kepentingan bangsa saja. Namun juga musti mempertimbangkan kemanfaatan apa yang akan didapat bagi masyarakat sekitar pesisir laut Cilincing akibat dikeluarkanya PKKPRL tersebut.

Dengan melakukan pengujian KTUN di Pengadilan Tata Usaha Negara diharapkan dapat mendobrak dinding birokrasi di Indonesia. Dimana kebijakan dan keputusan lembaga- lembaga negara yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik karena dianggap semena-mena terhadap rakyatnya.

Dibutuhkan semangat kolektif para nelayan pesisir laut Cilincing untuk mewujudkan hal tersebut. setiap upaya hukum yang dilakukan melawan ketidak-adilan memang tidak menjamin adanya keberhasilan.

Namun demikian, dengan melakukan upaya hukum dapat menempatkan dimana kita berdiri, apakah sebagai rakyat yang apatis dan menerima semua kebijakan atau keputusan para birokrat ? atau memperjuangkan masa depan yang lebih baik dan melawan semua ketidakadilan. (*)

Oleh: Dwi Nurgianto, SH, MH, Praktisi dan Pemerhati Hukum

BELUM sirna dari ingatan tentang pagar laut di pesisir Tangerang pada awal tahun 2025 lalu. Pagar bambu yang membentang sepanjang 30 kilometer di laut Tangerang itu sempat menghebohkan Tanah Air. Kini, muncul kembali pagar serupa namun bukan dari bambu. Melainkan pagar beton sepanjang 2 sampai 3 kilometer yang dibentangkan di pesisir laut Cilincing, Jakarta Utara.

Usut punya usut, ternyata tanggung jawab berdirinya tanggul beton di laut pesisir Cilincing itu ada pada Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP). Pengelolaan di bawah naungan KKP ini didelegasikan kepada PT. Karya Citra Nusantara (KCN) untuk pembangunan dermaga.

Berdasarkan penjelasan KKP, tanggul beton tersebut telah memiliki izin resmi berupa persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL). Tujuan tanggul laut di pesisir Cilincing ini untuk memperkuat konektivitas dan pertumbuhan ekonomi maritim di Indonesia. Penjelasan KKP tersebut sebagaimana termuat dalam laman portal berita Tempo edisi 12 September 2025.

Pagar beton yang dibangun oleh KCN ini memang bertujuan untuk pengembangan ekonomi maritim. Namun di sisi lain, pembangunan tersebut juga menjadi penghambat berkembangnya ekonomi nelayan kecil di wilayah tersebut.

Nelayan mengaku pagar beton menghambat jalur melaut, sehingga berakibat nelayan harus mencari jalan memutar yang lebih jauh. Ongkos melaut menjadi bertambah mahal karena membutuhkan lebih banyak BBM untuk menuju ke tengah laut.

Tak berhenti di situ, keresahan para nelayan pun berlanjut karena turunnya hasil tangkapan ikan. Sebagaimana yang diungkap dalam laman berita nasional Kompas.com pada 17 September 2025.

Begitulah potret negeri impian. Seringkali mengatasnamakan demi kepentingan memajukan bangsa namun malah mematikan harapan rakyat. Lalu, apa yang bisa diperbuat para nelayan yang terdampak pagar beton tersebut selain membagi keluh kesahnya.

Negara Indonesia adalah negara hukum, begitulah yang termaktub di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Maka, perjuangan para nelayan di pesisir Cilincing seharusnya tidak berhenti pada protes. Tidak cukup dengan publikasi ke media semata.

Harus ada gerakan masif advokasi hukum yang mengikuti sehingga gerakannya terstruktur dan jelas dampak hukumnya. Diharapkan advokasi hukum ini akan memiliki dampak hukum, dan juga diharapkan berdampak pula pada segi perekonomian ke depan.

Negara sejatinya telah memberikan ruang untuk melakukan advokasi hukum. Dimana jika dicermati, pemberian izin atau PKKPRL merupakan produk hukum Tata Usaha Negara berupa Keputusan TUN. Keputusan TUN dari KKP kepada KCN tersebut sifatnya beschikking.

Dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan, ”Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Produk hukum yang bersifat beschikking dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara jika memang menimbulkan kerugian. Sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor  9 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

”Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan TUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai ganti rugi dan/atau direhabilitasi”.

Alasan yang dapat digunakan dalam pengajuan gugatan KTUN yaitu Keputusan TUN yang digugat bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b dalam Undang Undang yang sama.

Setidaknya ada 17 asas dalam AAUPB antara lain Asas Kepastian Hukum, Asas Kemanfaatan, Asas Ketidakberpihakan, Asas Kecermatan atau Asas Bertindak Cermat, Asas Kepentingan Umum dan lain sebagainya.

Pemberian izin atau PKKPRL yang diberikan oleh KKP kepada KCN, setidaknya KTUN tersebut telah melanggar Asas Kepentingan Umum dan Asas Kemanfaatan. Asas kepentingan umum mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, selektif dan tidak diskriminatif.

Asas kepentingan umum atau asas penyelenggaraan kepentingan umum pada dasarnya menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya mengutamakan kepentingan umum yaitu kepentingan yang mencakup semua aspek kehidupan orang banyak dalam hal ini adalah nelasan pesisir Cilincing Jakarta Timur.

Asas kemanfaatan memberikan prinsip dasar manfaat yang harus diperhatikan secara seimbang. Dalam hal ini manfaat dikeluarkannya PKKPRL musti dilihat dari 2 (dua) sisi, sehingga tidak hanya berbicara kemanfaatan yang mengatasnamakan kemajuan dan kepentingan bangsa saja. Namun juga musti mempertimbangkan kemanfaatan apa yang akan didapat bagi masyarakat sekitar pesisir laut Cilincing akibat dikeluarkanya PKKPRL tersebut.

Dengan melakukan pengujian KTUN di Pengadilan Tata Usaha Negara diharapkan dapat mendobrak dinding birokrasi di Indonesia. Dimana kebijakan dan keputusan lembaga- lembaga negara yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik karena dianggap semena-mena terhadap rakyatnya.

Dibutuhkan semangat kolektif para nelayan pesisir laut Cilincing untuk mewujudkan hal tersebut. setiap upaya hukum yang dilakukan melawan ketidak-adilan memang tidak menjamin adanya keberhasilan.

Namun demikian, dengan melakukan upaya hukum dapat menempatkan dimana kita berdiri, apakah sebagai rakyat yang apatis dan menerima semua kebijakan atau keputusan para birokrat ? atau memperjuangkan masa depan yang lebih baik dan melawan semua ketidakadilan. (*)

Artikel Terkait

Pilihan Editor

Pilihan Editor

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/