22 September 2025, 23:54 PM WIB

Program MBG Jadi Sorotan: Ribuan Siswa Keracunan, Pemerintah Harus Bertindak

Oleh: Elfira, Mahasiswa Prodi Ilmu Komuniasi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida)

PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah bertujuan mulia untuk menyehatkan anak bangsa, mengurangi angka stunting, dan membangun generasi yang lebih kuat. Namun, niat baik tersebut kini tercoreng.

Berdasarkan catatan lembaga pemantau pendidikan sampai pada pertengahan September 2025, tercatat 5.360 siswa telah menjadi korban keracunan makanan akibat program MBG.

Salah satunya terjadi pada 28 Agustus 2025 yang menimpa ratusan siswa di Kabupaten Lebong, Bengkulu. Mereka mengalami pusing, muntah usai menyantap menu MBG.

Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan bukti lemahnya pengawasan terhadap kualitas gizi dan keamanan pangan anak-anak sekolah.

Di atas kertas, MBG menawarkan harapan besar. Jutaan siswa sekolah dasar dan menengah dijanjikan asupan gizi seimbang setiap hari. Namun kenyataannya berbeda. Ratusan kasus keracunan muncul di berbagai daerah, mulai dari Jawa Tengah, Jawa Barat, hingga Kalimantan.

Anak-anak dilarikan ke rumah sakit dengan gejala mual, pusing, dan muntah-muntah. Orang tua resah, tenaga kesehatan kewalahan, dan sekolah kewalahan menghadapi krisis yang sebenarnya bisa dicegah.

Pakar menilai akar masalah MBG bukan pada ide, melainkan pada pelaksanaan yang buruk. Rantai distribusi makanan menunjukkan banyak celah. Mulai dari bahan baku tidak terjamin, pengolahan tanpa standar higienis, distribusi tanpa rantai dingin yang memadai, hingga penyajian di sekolah yang terburu-buru.

Di daerah terpencil, dapur umum minim fasilitas. Di kota besar, vendor makanan sering dipilih karena kedekatan politik, bukan kompetensi. Akibatnya, kualitas makanan jatuh di bawah standar yang seharusnya dipatuhi.

Pertanyaan tentang Tanggung Jawab dan Perlindungan Anak

Setiap kasus keracunan menimbulkan pertanyaan besar, siapa yang bertanggung jawab? Apakah kementerian pendidikan, kementerian kesehatan, pemerintah daerah, atau vendor swasta? Jawaban yang muncul sering kali sama, saling lempar tanggung jawab.

Padahal, menurut hukum administrasi dan perlindungan konsumen, pemerintah wajib menjamin keselamatan penerima manfaat. Anak-anak sekolah bukan objek percobaan kebijakan, melainkan subjek yang haknya dilindungi konstitusi.

Keracunan massal ini tidak hanya mengganggu kesehatan fisik anak, tetapi juga menimbulkan trauma psikologis dan menurunkan kepercayaan orang tua terhadap sekolah dan negara.

Jika dibiarkan, legitimasi sosial program MBG bisa hilang. Evaluasi dan perbaikan bukan tanda kegagalan, melainkan keberanian untuk mengutamakan keselamatan publik.

Langkah Evaluasi dan Perbaikan yang Mendesak

Pakar dan pengamat menyarankan beberapa langkah untuk memperbaiki program MBG. Pertama, lakukan audit independen terhadap seluruh rantai pasok, mulai dari vendor hingga distribusi.

Kedua, terapkan standarisasi ketat berupa sertifikasi keamanan pangan (HACCP atau setara) bagi semua penyedia. Ketiga, aktifkan pengawasan lokal dengan melibatkan dinas kesehatan dan pendidikan di tingkat kabupaten/kota.

Keempat, transparansi publik harus dijamin dengan laporan terbuka terkait hasil uji laboratorium makanan dan penanganan kasus keracunan.

Kelima, penerapan program harus bertahap, dimulai dari daerah dengan infrastruktur memadai sebelum diperluas ke seluruh Indonesia.

Pemerintah perlu memastikan bahwa MBG benar-benar menghadirkan manfaat, bukan justru membahayakan anak-anak.

Program MBG memiliki niat baik, tetapi ribuan kasus keracunan menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh.

Dengan audit independen, standar keamanan pangan yang ketat, pengawasan lokal, transparansi, dan penerapan bertahap, MBG dapat kembali menjadi program yang membawa manfaat nyata bagi anak-anak Indonesia.

Menunda program demi keselamatan siswa bukanlah kegagalan, tetapi langkah bijak yang mengutamakan hak anak dan masa depan generasi bangsa. (elfira/red)

Oleh: Elfira, Mahasiswa Prodi Ilmu Komuniasi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida)

PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah bertujuan mulia untuk menyehatkan anak bangsa, mengurangi angka stunting, dan membangun generasi yang lebih kuat. Namun, niat baik tersebut kini tercoreng.

Berdasarkan catatan lembaga pemantau pendidikan sampai pada pertengahan September 2025, tercatat 5.360 siswa telah menjadi korban keracunan makanan akibat program MBG.

Salah satunya terjadi pada 28 Agustus 2025 yang menimpa ratusan siswa di Kabupaten Lebong, Bengkulu. Mereka mengalami pusing, muntah usai menyantap menu MBG.

Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan bukti lemahnya pengawasan terhadap kualitas gizi dan keamanan pangan anak-anak sekolah.

Di atas kertas, MBG menawarkan harapan besar. Jutaan siswa sekolah dasar dan menengah dijanjikan asupan gizi seimbang setiap hari. Namun kenyataannya berbeda. Ratusan kasus keracunan muncul di berbagai daerah, mulai dari Jawa Tengah, Jawa Barat, hingga Kalimantan.

Anak-anak dilarikan ke rumah sakit dengan gejala mual, pusing, dan muntah-muntah. Orang tua resah, tenaga kesehatan kewalahan, dan sekolah kewalahan menghadapi krisis yang sebenarnya bisa dicegah.

Pakar menilai akar masalah MBG bukan pada ide, melainkan pada pelaksanaan yang buruk. Rantai distribusi makanan menunjukkan banyak celah. Mulai dari bahan baku tidak terjamin, pengolahan tanpa standar higienis, distribusi tanpa rantai dingin yang memadai, hingga penyajian di sekolah yang terburu-buru.

Di daerah terpencil, dapur umum minim fasilitas. Di kota besar, vendor makanan sering dipilih karena kedekatan politik, bukan kompetensi. Akibatnya, kualitas makanan jatuh di bawah standar yang seharusnya dipatuhi.

Pertanyaan tentang Tanggung Jawab dan Perlindungan Anak

Setiap kasus keracunan menimbulkan pertanyaan besar, siapa yang bertanggung jawab? Apakah kementerian pendidikan, kementerian kesehatan, pemerintah daerah, atau vendor swasta? Jawaban yang muncul sering kali sama, saling lempar tanggung jawab.

Padahal, menurut hukum administrasi dan perlindungan konsumen, pemerintah wajib menjamin keselamatan penerima manfaat. Anak-anak sekolah bukan objek percobaan kebijakan, melainkan subjek yang haknya dilindungi konstitusi.

Keracunan massal ini tidak hanya mengganggu kesehatan fisik anak, tetapi juga menimbulkan trauma psikologis dan menurunkan kepercayaan orang tua terhadap sekolah dan negara.

Jika dibiarkan, legitimasi sosial program MBG bisa hilang. Evaluasi dan perbaikan bukan tanda kegagalan, melainkan keberanian untuk mengutamakan keselamatan publik.

Langkah Evaluasi dan Perbaikan yang Mendesak

Pakar dan pengamat menyarankan beberapa langkah untuk memperbaiki program MBG. Pertama, lakukan audit independen terhadap seluruh rantai pasok, mulai dari vendor hingga distribusi.

Kedua, terapkan standarisasi ketat berupa sertifikasi keamanan pangan (HACCP atau setara) bagi semua penyedia. Ketiga, aktifkan pengawasan lokal dengan melibatkan dinas kesehatan dan pendidikan di tingkat kabupaten/kota.

Keempat, transparansi publik harus dijamin dengan laporan terbuka terkait hasil uji laboratorium makanan dan penanganan kasus keracunan.

Kelima, penerapan program harus bertahap, dimulai dari daerah dengan infrastruktur memadai sebelum diperluas ke seluruh Indonesia.

Pemerintah perlu memastikan bahwa MBG benar-benar menghadirkan manfaat, bukan justru membahayakan anak-anak.

Program MBG memiliki niat baik, tetapi ribuan kasus keracunan menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh.

Dengan audit independen, standar keamanan pangan yang ketat, pengawasan lokal, transparansi, dan penerapan bertahap, MBG dapat kembali menjadi program yang membawa manfaat nyata bagi anak-anak Indonesia.

Menunda program demi keselamatan siswa bukanlah kegagalan, tetapi langkah bijak yang mengutamakan hak anak dan masa depan generasi bangsa. (elfira/red)

Artikel Terkait

Pilihan Editor

Pilihan Editor

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/