Oleh: Albard Khan, Pemerhati Sosial, Alumnus Flinders University, South Australia
KEPUTUSAN Presiden Prabowo Subianto menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No.79/2025 yang menetapkan Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai ibu kota politik mulai 2028 adalah langkah yang patut dikritisi keras.
Dari segi hukum, Perpres ini rapuh dan berpotensi bertentangan dengan hierarki norma perundang-undangan. Dari sisi kebijakan, gagasan memisahkan ibu kota politik dari Jakarta hanya menghadirkan beban ganda tanpa manfaat jelas.
Dari perspektif ekonomi, proyek ini kian terjerat dalam sunk cost fallacy yang membahayakan alokasi anggaran negara. Indonesia tidak membutuhkan, apalagi membenarkan Perpres semacam ini.
Landasan Hukum yang Goyah
Undang-Undang IKN (UU No.3/2022) sudah secara gamblang menetapkan bahwa IKN berfungsi sebagai ibu kota negara, pusat penyelenggaraan pemerintahan. UU ini tidak mengenal istilah “ibu kota politik.” Bahkan, Pasal 39 menegaskan bahwa pemindahan ibu kota negara hanya dapat dilakukan melalui Keputusan Presiden, bukan Perpres. Perbedaan ini bukan sekadar istilah teknis, tetapi menyangkut hierarki norma hukum.
Dalam tata urutan hukum, sebagaimana ditegaskan UU No.12/2011 jo. UU No.13/2022, Perpres berada di bawah UU. Itu berarti Perpres tidak boleh menambah substansi atau menciptakan kategori hukum baru yang tidak diatur dalam UU.
Dengan demikian, istilah “ibu kota politik” dalam Perpres 79/2025 adalah langkah melampaui kewenangan. Ia menimbulkan ambiguitas. Apakah ini bentuk pemindahan ibu kota? Jika iya, jelas bertentangan dengan amanat UU yang mensyaratkan Keputusan Presiden, bukan Perpres.
Risiko ini bukan hanya akademis. Perpres dapat digugat melalui Mahkamah Agung lewat uji materiil karena bertentangan dengan UU IKN. Bahkan bila DPR kelak membuat legislasi berbeda, Perpres bisa dibatalkan atau dicabut oleh presiden berikutnya. Artinya, sejak awal langkah ini sudah mengandung bom waktu berupa instabilitas hukum dan kebijakan.
Urgensi yang Tidak Ada
Pertanyaan mendasar: apakah Indonesia benar-benar membutuhkan “ibu kota politik”? Jawabannya: tidak. Jakarta sudah berfungsi jamak sebagai pusat politik, ekonomi, dan keuangan. Tidak ada alasan rasional untuk memisahkan peran tersebut.
Anggota Komisi II DPR Muhammad Khozin pun menegaskan hal ini. Istilah “ibu kota politik” tidak ada di dalam UU IKN, dan hanya menimbulkan kebingungan publik. Menurut saya, menambahkan label baru tanpa fungsi hukum jelas hanyalah upaya kosmetik untuk memberi legitimasi pada proyek yang sedang berjalan.
Lebih parah, pemisahan ini berpotensi menimbulkan fragmentasi pengambilan kebijakan. Bayangkan bila presiden, DPR, dan kementerian sebagian besar pindah ke IKN, sementara pusat ekonomi dan jaringan internasional tetap di Jakarta. Logistik pemerintahan akan lebih rumit, koordinasi antarkota memakan waktu dan biaya, dan risiko duplikasi birokrasi meningkat.
Alih-alih memperkuat pemerintahan, konsep ini justru mengancam efektivitasnya. Apa yang dijanjikan sebagai simbol desentralisasi malah bisa berubah menjadi simbol pemborosan.
Biaya Menggunung, Manfaat Minim
Tidak bisa dipungkiri, biaya pembangunan IKN luar biasa besar. Pada 2024 saja, serapan anggaran mencapai Rp24,2 triliun hanya untuk infrastruktur dasar. Dan itu baru sebagian kecil dari total ratusan triliun rupiah yang direncanakan sepanjang pembangunan.
Menetapkan IKN sebagai ibu kota politik berarti menyiapkan infrastruktur pemerintahan kedua berupa istana, gedung DPR, kantor kementerian, di samping infrastruktur yang tetap harus dipertahankan di Jakarta. Ini duplikasi murni.
Sementara itu, kebutuhan mendesak masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan, mitigasi iklim, justru terpinggirkan.
Apakah layak mengorbankan sekolah, rumah sakit, dan tanggul banjir demi memindahkan meja birokrat ke Kalimantan Timur? Jawaban yang jujur adalah: tidak.
Sunk Cost Fallacy: Tersandera oleh Investasi yang Sudah Keluar
Fenomena sunk cost fallacy kini tampak jelas dalam proyek IKN. Karena puluhan triliun sudah diinvestasikan, pemerintah merasa harus terus melanjutkan meski manfaat marginalnya makin dipertanyakan.
Logika ini berbahaya. Dalam ekonomi, biaya yang sudah dikeluarkan tidak boleh menjadi alasan untuk mengeluarkan biaya lebih lanjut bila manfaatnya tidak sebanding. Namun, justru inilah yang terjadi. IKN semakin dilanjutkan bukan karena analisis rasional, tetapi karena rasa enggan mengakui “kerugian” di masa lalu.
Padahal, ada banyak alternatif lebih bermanfaat untuk anggaran sebesar itu. Rp100 triliun, misalnya, bisa memperbaiki rasio guru-murid di sekolah, meningkatkan kualitas layanan kesehatan, atau membangun infrastruktur lokal yang lebih inklusif. Investasi pada SDM terbukti memberikan multiplier effect jauh lebih besar ketimbang beton dan baja di hutan Kalimantan.
Dengan terus menggelontorkan dana ke IKN, pemerintah sebenarnya sedang membajak masa depan demi menutup masa lalu.
Pilihan yang Lebih Masuk Akal
Daripada terus memaksakan kebijakan yang absurd ini, Indonesia seharusnya memilih jalan yang lebih masuk akal. Langkah pertama yang paling rasional adalah memperkuat Jakarta. Mengapa repot-repot memindahkan fungsi politik jika ibukota yang ada bisa diperbaiki?
Jakarta hanya butuh keseriusan: banjir bisa dikendalikan, infrastruktur bisa ditingkatkan, layanan publik bisa dibenahi. Yang diperlukan adalah political will, bukan mimpi megalomania di hutan Kalimantan.
Kalaupun proyek IKN di Kalimantan Timur sudah telanjur berjalan, jangan lalu dijadikan alasan untuk memutarbalikkan logika. Biarkan saja ia menjadi pusat administratif terbatas berupa kantor kementerian, residensi pejabat, atau fasilitas pendukung lain.
Status ibu kota negara tetap harus berada di Jakarta, sebagaimana jelas diatur dalam undang-undang. Memaksakan sebaliknya lewat Perpres hanyalah bentuk arogansi hukum.
Dan jika pemerintah benar-benar berhasrat memisahkan fungsi ibu kota, jalannya hanya satu: undang-undang. DPR harus dilibatkan, hukum harus ditegakkan. Tidak ada legitimasi politik tanpa dasar hukum yang kokoh.
Setiap langkah di luar itu hanyalah eksperimen liar yang menyeret bangsa ke jurang pemborosan dan krisis kepercayaan.
Dibandingkan Perpres yang baru diteken, pilihan-pilihan ini jelas lebih realistis, lebih masuk akal, dan –yang terpenting— lebih sah.
Mengapa Harus Menolak
Perpres No.79/2025 tentang IKN sebagai ibu kota politik bukan sekadar kebijakan teknis. Ia mencerminkan cara pandang berbahaya: bahwa presiden bisa seenaknya mengubah hal fundamental tanpa dukungan legislasi.
Ia juga mencerminkan bias pembangunan yang lebih mementingkan proyek mercusuar ketimbang kebutuhan rakyat sehari-hari.
Pengalaman negara lain mengajarkan bahwa relokasi ibu kota penuh risiko, mahal, dan jarang berhasil sepenuhnya. Indonesia seharusnya belajar dari situ, bukan mengulanginya dengan cara yang lebih ceroboh.
Menolak Perpres ini bukan berarti menolak pembangunan. Justru sebaliknya: ini adalah sikap untuk menjaga akal sehat pembangunan. Bahwa pembangunan harus sesuai hukum, rasional secara biaya-manfaat, dan berpihak pada rakyat banyak.
Indonesia tidak membutuhkan “ibu kota politik” versi Perpres. Indonesia membutuhkan hukum yang tegak, kebijakan yang efektif, dan anggaran yang dipakai untuk kepentingan nyata rakyat. (*)