25 August 2025, 16:11 PM WIB

UU BUMN 2025: Direksi Bukan Penyelenggara Negara, Masih Bisa Dijerat Korupsi?

Oleh: M. Syaifullah Annur, Managing Partner MSA Law Office Surabaya, Berpengalaman sebagai Legal Manager di BUMN

KELAHIRAN Undang-undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) menegaskan hal baru.

Isu hukum yang penting adalah Direksi dan Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN tidak lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara.

Diskusi hukum yang hangat pun mengemuka. Lantas bagaimana implikasinya terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi (Tipikor) di tubuh BUMN?

Status Direksi dan Dekom/Dewas dalam Perspektif UU Tipikor

Salah satu perdebatan hukum yang muncul adalah apakah Direksi dan Dekom/Dewas BUMN dapat dipersamakan dengan penyelenggara negara. Hal ini mengingat mereka mengelola kekayaan negara yang dipisahkan.

Dengan UU BUMN yang baru maka secara normatif mereka tidak lagi melekat sebagai penyelenggara negara. Namun, hal ini tidak serta merta menghapus kemungkinan pertanggungjawaban pidana mereka dalam kasus korupsi.

UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) tidak hanya menyasar penyelenggara negara. Tetapi, juga menggunakan terminologi yang lebih luas, yakni “setiap orang”.

Dengan demikian, meskipun Direksi dan Dekom/Dewas bukan penyelenggara negara, mereka tetap dapat dijerat dengan pasal-pasal Tipikor sepanjang memenuhi unsur-unsur perbuatan yang dilarang dalam UU Tipikor.

Selain itu, UU Tipikor dan UU TPPU (UU No. 8/2010) telah membuka ruang bagi pertanggungjawaban pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi. Caranya dengan menempatkan korporasi sebagai salah satu subyek hukum yang dapat dijerat tindak pidana korupsi.

Pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana korupsi berdasar UU Tipikor bisa dijeratkan kepada pihak-pihak berikut, di antaranya pengurusnya, orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, maupun dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

Dengan rumusan tersebut jelas bahwa Direksi dan Dekom/Dewas merupakan organ perseroan dalam hal ini yakni pengurus korporasi. Siapa yang dimaksud pengurus korporasi?

UU menjelaskan bahwa “pengurus” adalah adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi, termasuk mereka yang bisa ikut memutuskan kebijakan korporasi. Jadi, intinya memang pengurusnyalah yang pada kenyataannya sebagai subyek hukum yang dapat dipanggil, dapat menghadap, dan dapat memberikan keterangan.

Keuangan BUMN Diakui sebagai Keuangan Negara

Salah satu aspek penting adalah keberadaan keuangan BUMN. Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan MK No. 48 dan 62/PUU-XI/2013 mengukuhkan status kekayaan negara yang bersumber dari keuangan negara dan dipisahkan dari APBN untuk disertakan menjadi penyertaan modal BUMN tetap menjadi bagian dari rezim keuangan negara atau bagian dari keuangan negara.

Di dalam Penjelasan UU Tipikor, keuangan negara diberikan ruang lingkup sebagai seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena beberapa hal. Di antaranya berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah.

Ruang lingkup lain adalah berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

Artinya, walaupun status kelembagaan Direksi dan Dekom/Dewas BUMN berubah sebagaimana yang dimaksud di UU BUMN yang baru, tetapi obyek yang dilindungi UU Tipikor adalah keuangan negara – tetap melekat dalam pengelolaan BUMN.

Ketentuan Tipikor pada KUHP Baru

Dalam KUHP baru, terdapat beberapa pasal yang secara khusus mengatur mengenai tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut  di antaranya Pasal 603, dimana setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI.

Lebih lanjut dalam pasal 604 diatur bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan,atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI.

Dengan demikian, meskipun secara formal tidak lagi disebut penyelenggara negara dalam UU BUMN, Direksi dan/atau Dekom/Dewas BUMN tetap bisa dijerat dengan Pasal 2 dan/atau Pasal 3  UU Tipikor maupun Pasal 603 dan/atau Pasal 604 KUHP sebagai “setiap orang”.

Tak Ada Imunitas bagi Pengelola BUMN

Revisi UU BUMN yang mengeluarkan Direksi dan Dekom/Dewas BUMN dari kategori penyelenggara negara memang memberi nuansa baru dalam tata kelola BUMN. Namun, dalam perspektif hukum pidana korupsi, perubahan ini tidak serta-merta memberikan “imunitas hukum” bagi pengelola BUMN. Selama BUMN masih mengelola kekayaan negara, maka prinsip akuntabilitas, transparansi, dan kewajiban hukum untuk menghindari praktik korupsi tetap berlaku.

Ke depan, diskursus ini akan semakin menarik, terutama dalam ranah penegakan hukum dan praktik peradilan Tipikor, yang akan menguji batas antara status hukum baru Direksi dan Dekom/Dewas BUMN dengan perlindungan terhadap keuangan negara. (*)

Oleh: M. Syaifullah Annur, Managing Partner MSA Law Office Surabaya, Berpengalaman sebagai Legal Manager di BUMN

KELAHIRAN Undang-undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) menegaskan hal baru.

Isu hukum yang penting adalah Direksi dan Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN tidak lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara.

Diskusi hukum yang hangat pun mengemuka. Lantas bagaimana implikasinya terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi (Tipikor) di tubuh BUMN?

Status Direksi dan Dekom/Dewas dalam Perspektif UU Tipikor

Salah satu perdebatan hukum yang muncul adalah apakah Direksi dan Dekom/Dewas BUMN dapat dipersamakan dengan penyelenggara negara. Hal ini mengingat mereka mengelola kekayaan negara yang dipisahkan.

Dengan UU BUMN yang baru maka secara normatif mereka tidak lagi melekat sebagai penyelenggara negara. Namun, hal ini tidak serta merta menghapus kemungkinan pertanggungjawaban pidana mereka dalam kasus korupsi.

UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) tidak hanya menyasar penyelenggara negara. Tetapi, juga menggunakan terminologi yang lebih luas, yakni “setiap orang”.

Dengan demikian, meskipun Direksi dan Dekom/Dewas bukan penyelenggara negara, mereka tetap dapat dijerat dengan pasal-pasal Tipikor sepanjang memenuhi unsur-unsur perbuatan yang dilarang dalam UU Tipikor.

Selain itu, UU Tipikor dan UU TPPU (UU No. 8/2010) telah membuka ruang bagi pertanggungjawaban pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi. Caranya dengan menempatkan korporasi sebagai salah satu subyek hukum yang dapat dijerat tindak pidana korupsi.

Pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana korupsi berdasar UU Tipikor bisa dijeratkan kepada pihak-pihak berikut, di antaranya pengurusnya, orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, maupun dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

Dengan rumusan tersebut jelas bahwa Direksi dan Dekom/Dewas merupakan organ perseroan dalam hal ini yakni pengurus korporasi. Siapa yang dimaksud pengurus korporasi?

UU menjelaskan bahwa “pengurus” adalah adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi, termasuk mereka yang bisa ikut memutuskan kebijakan korporasi. Jadi, intinya memang pengurusnyalah yang pada kenyataannya sebagai subyek hukum yang dapat dipanggil, dapat menghadap, dan dapat memberikan keterangan.

Keuangan BUMN Diakui sebagai Keuangan Negara

Salah satu aspek penting adalah keberadaan keuangan BUMN. Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan MK No. 48 dan 62/PUU-XI/2013 mengukuhkan status kekayaan negara yang bersumber dari keuangan negara dan dipisahkan dari APBN untuk disertakan menjadi penyertaan modal BUMN tetap menjadi bagian dari rezim keuangan negara atau bagian dari keuangan negara.

Di dalam Penjelasan UU Tipikor, keuangan negara diberikan ruang lingkup sebagai seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena beberapa hal. Di antaranya berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah.

Ruang lingkup lain adalah berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

Artinya, walaupun status kelembagaan Direksi dan Dekom/Dewas BUMN berubah sebagaimana yang dimaksud di UU BUMN yang baru, tetapi obyek yang dilindungi UU Tipikor adalah keuangan negara – tetap melekat dalam pengelolaan BUMN.

Ketentuan Tipikor pada KUHP Baru

Dalam KUHP baru, terdapat beberapa pasal yang secara khusus mengatur mengenai tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut  di antaranya Pasal 603, dimana setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI.

Lebih lanjut dalam pasal 604 diatur bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan,atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI.

Dengan demikian, meskipun secara formal tidak lagi disebut penyelenggara negara dalam UU BUMN, Direksi dan/atau Dekom/Dewas BUMN tetap bisa dijerat dengan Pasal 2 dan/atau Pasal 3  UU Tipikor maupun Pasal 603 dan/atau Pasal 604 KUHP sebagai “setiap orang”.

Tak Ada Imunitas bagi Pengelola BUMN

Revisi UU BUMN yang mengeluarkan Direksi dan Dekom/Dewas BUMN dari kategori penyelenggara negara memang memberi nuansa baru dalam tata kelola BUMN. Namun, dalam perspektif hukum pidana korupsi, perubahan ini tidak serta-merta memberikan “imunitas hukum” bagi pengelola BUMN. Selama BUMN masih mengelola kekayaan negara, maka prinsip akuntabilitas, transparansi, dan kewajiban hukum untuk menghindari praktik korupsi tetap berlaku.

Ke depan, diskursus ini akan semakin menarik, terutama dalam ranah penegakan hukum dan praktik peradilan Tipikor, yang akan menguji batas antara status hukum baru Direksi dan Dekom/Dewas BUMN dengan perlindungan terhadap keuangan negara. (*)

Artikel Terkait

Pilihan Editor

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/