Kohati Cabang Jember Bergerak Lawan Kekerasan Seksual, Pernikahan Dini dan Stunting

METROTODAY, JEMBER – Korps HMI-Wati (Kohati) Cabang Jember menyoroti peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Jember. Ketua Kohati Cabang Jember, Hanny Hilmia Fairuza, menyebut data dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Jember menunjukkan tren mengkhawatirkan.

“Pada tahun 2023, tercatat 113 korban kekerasan terhadap anak dari total 220 kasus kekerasan, mayoritas korbannya anak di bawah umur,” ujarnya, Senin (28/7).

Hanny menambahkan angka tersebut hanyalah “gunung es,” karena banyak kasus yang tak dilaporkan akibat stigma, ketakutan, dan minimnya akses keadilan. Kekerasan seksual, lanjut Hanny, tak hanya terjadi di ruang publik, tetapi juga di tempat-tempat yang seharusnya aman, seperti pondok pesantren.

“Beberapa kasus pelecehan seksual oleh oknum pengasuh pesantren terhadap santriwatinya terjadi di Jember. Ini kenyataan pahit karena kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa kekerasan seksual bukan sekadar isu moral, melainkan krisis kemanusiaan yang membutuhkan penanganan serius.

Pelaku seringkali orang terdekat korban, menyebabkan trauma berkepanjangan, depresi, dan bahkan keinginan untuk mengakhiri hidup.

Selain kekerasan seksual, maraknya pernikahan usia anak juga menjadi perhatian serius. Data dari Pengadilan Agama Jember menunjukkan Kabupaten Jember menduduki peringkat pertama di Jawa Timur dalam jumlah permohonan dispensasi kawin untuk anak di bawah umur pada tahun 2023, dengan 627 permohonan, sekitar 580 di antaranya dikabulkan.

“Hanya dalam dua bulan pertama tahun 2024, sudah 96 permohonan diajukan,” ungkap Hanny.

Pernikahan dini, menurutnya, merampas hak-hak anak dan menjadi pintu masuk berbagai masalah seperti putus sekolah dan kekerasan dalam rumah tangga.

Kohati Cabang Jember juga menyoroti isu stunting. Meskipun Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan penurunan prevalensi stunting di Jember dari 34,9 persen menjadi 29,7 persen, data Bulan Timbang 2024 menunjukkan penurunan drastis menjadi 11,4 persen, melampaui target nasional 14 persen.

“Ini pencapaian luar biasa, namun kita harus tetap waspada,” imbuh Hanny.

Menjawab tantangan tersebut, Kohati Cabang Jember meluncurkan berbagai program, termasuk Gerakan Edukasi Awareness Perempuan (GEMA) riset pernikahan dini untuk advokasi kebijakan, dan kerja sama dengan Jalastoria, platform online yang peduli pada diskriminasi gender.

Pihaknya juga meluncurkan PENA KOHATI, ruang pengaduan dan advokasi untuk kasus kekerasan seksual, yang juga menjadi wadah bagi kader dan masyarakat umum untuk menyuarakan pendapat melalui tulisan.

“Kohati mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama memperjuangkan hak perempuan dan membangun Jember Baru, Jember Maju,” harapnya.

Ia menekankan pentingnya keterlibatan pemuda dan perempuan sebagai aktor utama perubahan, serta perlunya kolaborasi lintas elemen untuk mengatasi masalah struktural yang mendasari isu-isu tersebut. (ahm)

METROTODAY, JEMBER – Korps HMI-Wati (Kohati) Cabang Jember menyoroti peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Jember. Ketua Kohati Cabang Jember, Hanny Hilmia Fairuza, menyebut data dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Jember menunjukkan tren mengkhawatirkan.

“Pada tahun 2023, tercatat 113 korban kekerasan terhadap anak dari total 220 kasus kekerasan, mayoritas korbannya anak di bawah umur,” ujarnya, Senin (28/7).

Hanny menambahkan angka tersebut hanyalah “gunung es,” karena banyak kasus yang tak dilaporkan akibat stigma, ketakutan, dan minimnya akses keadilan. Kekerasan seksual, lanjut Hanny, tak hanya terjadi di ruang publik, tetapi juga di tempat-tempat yang seharusnya aman, seperti pondok pesantren.

“Beberapa kasus pelecehan seksual oleh oknum pengasuh pesantren terhadap santriwatinya terjadi di Jember. Ini kenyataan pahit karena kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa kekerasan seksual bukan sekadar isu moral, melainkan krisis kemanusiaan yang membutuhkan penanganan serius.

Pelaku seringkali orang terdekat korban, menyebabkan trauma berkepanjangan, depresi, dan bahkan keinginan untuk mengakhiri hidup.

Selain kekerasan seksual, maraknya pernikahan usia anak juga menjadi perhatian serius. Data dari Pengadilan Agama Jember menunjukkan Kabupaten Jember menduduki peringkat pertama di Jawa Timur dalam jumlah permohonan dispensasi kawin untuk anak di bawah umur pada tahun 2023, dengan 627 permohonan, sekitar 580 di antaranya dikabulkan.

“Hanya dalam dua bulan pertama tahun 2024, sudah 96 permohonan diajukan,” ungkap Hanny.

Pernikahan dini, menurutnya, merampas hak-hak anak dan menjadi pintu masuk berbagai masalah seperti putus sekolah dan kekerasan dalam rumah tangga.

Kohati Cabang Jember juga menyoroti isu stunting. Meskipun Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan penurunan prevalensi stunting di Jember dari 34,9 persen menjadi 29,7 persen, data Bulan Timbang 2024 menunjukkan penurunan drastis menjadi 11,4 persen, melampaui target nasional 14 persen.

“Ini pencapaian luar biasa, namun kita harus tetap waspada,” imbuh Hanny.

Menjawab tantangan tersebut, Kohati Cabang Jember meluncurkan berbagai program, termasuk Gerakan Edukasi Awareness Perempuan (GEMA) riset pernikahan dini untuk advokasi kebijakan, dan kerja sama dengan Jalastoria, platform online yang peduli pada diskriminasi gender.

Pihaknya juga meluncurkan PENA KOHATI, ruang pengaduan dan advokasi untuk kasus kekerasan seksual, yang juga menjadi wadah bagi kader dan masyarakat umum untuk menyuarakan pendapat melalui tulisan.

“Kohati mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama memperjuangkan hak perempuan dan membangun Jember Baru, Jember Maju,” harapnya.

Ia menekankan pentingnya keterlibatan pemuda dan perempuan sebagai aktor utama perubahan, serta perlunya kolaborasi lintas elemen untuk mengatasi masalah struktural yang mendasari isu-isu tersebut. (ahm)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/