OLEH: Dr. Ir. Machsus, ST., MT., Wakil Rektor II Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya

DALAM sebuah momen yang berlangsung sederhana namun sarat makna, di ruang yang hangat dan penuh kekeluargaan, kami menyerahkan tali asih kepada para dosen dan tenaga kependidikan yang memasuki masa purna tugas.
Tidak ada toga. Tidak ada pidato akademik panjang. Tidak pula terpampang indeks sitasi, h-index Scopus, atau peringkat Sinta (Science and Technology Index).
Yang hadir justru wajah-wajah tenang, sebagian tersenyum, sebagian menunduk haru, menutup satu episode kehidupan, sembari bersiap membuka episode berikutnya.
Pada momen itulah saya kembali diingatkan pada sebuah kebenaran sederhana yang kerap luput dari perhatian, yakni bahwa tidak semua profesor lahir dari gelar, tetapi banyak yang tumbuh dari pengabdian.
Di antara para purna tugas yang kami hormati hari itu, dua sahabat dosen dari Departemen Teknik Infrastruktur Sipil, Fakultas Vokasi ITS, hadir dengan ketenangan khas orang-orang yang telah menuntaskan laku hidupnya, yakni Ir. Ismail Saud, M.MT. dan Ir. Ibnu Pudji Raharjo, MS.
Secara formal, keduanya memang tak menyandang gelar profesor atau guru besar. Namun secara substansial, rekam jejak keilmuan dan pengabdian beliau berdua justru membuat kita pantas bertanya, apakah gelar selalu menjadi ukuran kemuliaan akademik?
Dalam dunia akademik modern, kontribusi kerap direduksi menjadi angka, seperti jumlah publikasi, sitasi, h-indeks, impact factor. Namun bagi Ir. Ismail Saud dan Ir. Ibnu Pudji Raharjo, karya intelektual tidak berhenti di jurnal, tetapi menjelma nyata di bumi nusantara.
Karya intelektual mengalir dalam desain saluran air yang bekerja senyap, dalam struktur bangunan yang kokoh menopang kehidupan, dalam desain infrastruktur transportasi yang menjaga irama rekayasa lalu lintas dan keselamatan jalan, serta infrastruktur yang keberlanjutan.
Ir. Ismail Saud, dengan keahlian pada bidang teknologi rekayasa konstruksi bangunan air, telah banyak berkontribusi pada berbagai perencanaan sistem irigasi, sistem drainase, dan pengendalian banjir yang menjadi urat nadi kehidupan yang sering tak terlihat, tetapi menentukan segalanya. Air memang sering luput dari pandangan, tetapi tanpanya kehidupan lumpuh.
Demikian pula peran beliau, yang memilih lebih banyak bekerja di balik layar, dengan memastikan aliran berjalan benar, banjir terkendali, dan fungsi teknis terpenuhi. Beliau meninggalkan legacy yang dikenang para mahasiswa bahwa rekayasa bukan sekadar hitungan, melainkan amanah sosial.
Sementara itu, Ir. Ibnu Pudji Raharjo menapaki dunia rekayasa struktur bangunan gedung dengan ketelitian dan tanggung jawab jangka panjang.
Dalam struktur, kesalahan kecil bisa berakibat besar. Dalam setiap desain, beliau menanamkan etika profesional bahwa bangunan bukan hanya harus berdiri, tetapi harus melindungi kehidupan.
Nilai inilah yang diwariskan kepada mahasiswa vokasi, khususnya Teknik Infrastruktur Sipil, Fakultas Vokasi ITS, yakni ilmu yang membumi, presisi, dan penuh tanggung jawab.
Keduanya mungkin tak dikenal oleh algoritma pengindeks jurnal internasional. Namun bumi nusantara mengenal jejak spirit profesional, karya nyata, dan juara yang ditorehkan mahasiswanya ketika mengikuti kompetisi.
Jembatan yang dilalui, bangunan gedung yang digunakan, serta sistem keairan yang mengalir. Itulah paper hidup yang tidak memerlukan DOI (Digital Object Identifier), tetapi terus disitasi oleh kehidupan sehari-hari.
Sebagai dosen vokasi, beliau memahami bahwa pendidikan tidak selalu tentang menjadi yang paling teoritis, melainkan tentang menjadi yang paling relevan.
Lantaran itu, mahasiswa yang dibimbing bukan untuk sekadar lulus, tetapi untuk siap bekerja, siap bertanggung jawab, dan siap menjaga keselamatan publik. Inilah profesor dalam makna sejati yang ilmunya bermanfaat untuk kemaslahatan umat dan bangsa.
Profesor Kertas
Di titik inilah, refleksi kita perlu diperluas. Kini, kita menyaksikan lahirnya apa yang kerap disebut dengan sedikit ironi sebagai “profesor kertas”. Profesor yang hidup di antara tumpukan jurnal, proposal, dan dokumen administratif.
Ilmunya rapi, formatnya sempurna, tetapi jarang bergaung di ruang publik. Mereka menulis, lalu diam. Mengajar, lalu menghilang. Ilmunya terkunci di jurnal, sering didanai negara, tetapi sulit disentuh masyarakat.
Ada profesor yang bekerja dengan super disiplin, setia pada tata kelola, dan menjalankan kewajiban dengan tertib, hingga kesehariannya nyaris tak pernah keluar dari rutinitas, bekerja layaknya mesin. Namun, ketika keberanian berpikir berhenti, rutinitas pun menjelma penjara yang tak terasa.
Kenaikan jenjang diraih karena waktu yang berjalan rapi, bukan karena gagasan yang menggerakkan perubahan. Ini bukan soal kurangnya kecerdasan, melainkan tentang keberanian keluar dari zona nyaman.
Padahal, ilmu pengetahuan justru tumbuh dari kegelisahan yang dipikirkan, dari keberanian mempertanyakan yang mapan, dan dari ikhtiar menghadirkan jawaban baru bagi tantangan zaman. Tanpa itu semua, kepakaran akan rapi secara administratif, tetapi kehilangan daya ubah dan daya ungkitnya bagi masyarakat.
Tulisan ilmiah memang penting. Gelar akademik tentu bermakna. Namun ketika ilmu berhenti menjadi cahaya dan hanya berubah menjadi tumpukan arsip, di situlah dunia akademik perlu bercermin.
Sebaliknya, di ruang purna tugas itu, saya justru bertemu banyak profesor tanpa gelar. Dosen yang tak pernah menulis jurnal bereputasi, tetapi berhasil membentuk karakter mahasiswa.
Tendik yang tak pernah tampil di seminar, tetapi memastikan sistem kampus berjalan jujur dan tertib. Pengajar yang tak dikenal publik, tetapi kehadirannya selalu ditunggu mahasiswa.
Mereka tidak berisik. Tidak sibuk membangun citra. Tidak mengejar pangkat demi pangkat. Mereka bekerja karena merasa bertanggung jawab. Mereka mendidik karena merasa dipanggil. Mereka melayani karena percaya bahwa pekerjaan ini adalah ibadah.
Masa purna tugas sering disalahpahami sebagai akhir. Padahal ia hanyalah peralihan episode kehidupan. Dari sibuk ke lapang. Dari dikejar target ke memberi makna. Yang menentukan bukan peristiwanya, melainkan cara kita menyikapinya.
Di masa inilah, warisan mereka justru semakin nyata, bahwa ilmu yang ditanam telah tumbuh, nilai yang diajarkan telah hidup, dan keteladanan berjalan sendiri melalui para alumni.
Di masa ini pula, beliau menjalani hari-harinya dengan lebih khusyuk dan qana’ah, dengan memperbanyak ibadah, menekuni pengajian Al-Hikam dan khazanah kitab-kitab klasik Islam lainnya, sekaligus tetap membuka diri melayani undangan sebagai narasumber dari berbagai instansi.
Bukan demi panggung, melainkan sebagai wujud tanggung jawab keilmuan yang tidak berhenti oleh batas usia atau jabatan.
Hari itu, saya tidak melihat dosen yang tidak menjadi profesor. Saya justru melihat setidaknya dua profesor tanpa gelar, profesor yang tidak berisik, profesor yang tidak mengejar pengakuan, dan profesor yang membiarkan karyanya berbicara sendiri.
Singkatnya, profesor yang selesai dengan dirinya sendiri. Ilmunya tetap mengalir dalam pengabdian, lisannya tetap terjaga dalam nasihat dan waktunya dipersembahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah serta berbagi hikmah kepada sesama.
Dalam Islam, kemuliaan tak ditentukan oleh titel, melainkan oleh takwa. Dalam dunia pendidikan, keagungan tak ditentukan oleh jabatan akademik, melainkan oleh dampak kehadiran. Universitas besar tak dibangun oleh profesor bergelar, tetapi oleh manusia-manusia yang setia menjaga makna.
Akhirnya, kepada sahabat dan sekaligus mentor saya, yakni Ir. Ismail Saud, M.MT. dan Ir. Ibnu Pudji Raharjo, MS., kami bangga, bukan karena titel yang disandang, tetapi karena makna yang ditinggalkan. Barangkali, di situlah esensi tertinggi dunia akademik bahwa ilmu bukan untuk dipamerkan, melainkan untuk dihidupkan dan dihadiahkan kepada sesama.
Selamat Menikmati Masa Purna Tugas, Sahabat!

