METROTODAY, SURABAYA – Serangan jantung menjadi ancaman kesehatan yang dapat merenggut nyawa dengan cepat. Namun, tidak semua serangan jantung berakibat fatal karena otot jantung memiliki suplai darah dari pembuluh darah koroner.
Ketidakmampuan pembuluh darah koroner menyuplai aliran darah ke otot jantung inilah yang dikenal sebagai penyakit jantung koroner. Sebuah kondisi yang kerap dikaitkan dengan kasus atlet meninggal dunia di lapangan.
Menurut spesialis jantung dan pembuluh darah, dr. Jordnan Bakhriansyah, SpJP, FIHA, penyakit jantung koroner seringkali ditandai dengan rasa nyeri di dada.
“Penyakit jantung koroner akibat ketidakmampuan pembuluh darah koroner menyuplai aliran darah ke otot jantung. Ini terjadi pada kejadian atlet meninggal dunia di atas lapangan yang terus berulang,” kata dr. Jordan, Rabu (24/9).
Ia menjelaskan bahwa gejala paling umum dari penyakit jantung adalah nyeri dada yang seringkali disalahartikan. “Saya berpendapat bahwa semua nyeri dada saya anggap penyakit jantung koroner, sampai saya buktikan bukan koroner,” tegas dr. Jordan.
Selain nyeri dada, sesak napas saat beraktivitas ringan atau jantung berdebar kencang juga bisa menjadi indikasi.
“Jantung kalau berdetak lebih cepat, pilihannya ada dua, yakni oksigen lebih banyak dibutuhkan oleh tubuh atau oksigen berkurang sehingga memacu untuk mendapatkan oksigen,” kata Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) Cabang Surabaya ini.
Mengacu pada kasus-kasus kematian mendadak saat berolahraga, dr. Jordan menekankan pentingnya suplai nutrisi yang cukup untuk jantung saat beraktivitas fisik. Olahraga meningkatkan adrenalin yang membuat jantung bekerja lebih cepat dan keras.
“Jantung atlet itu terlatih meskipun naik sampai 170 (detak per menit), beberapa atlet aman-aman saja. Tapi jika orang tidak terlatih, 140 sudah ngos-ngosan,” ujarnya.
Ia mengingatkan, saat berolahraga harus ingat bahwa jantung membutuhkan suplai oksigen lebih banyak dan juga nutrisi.
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi seperti usia dan jenis kelamin juga berperan. Dr. Jordan menyebutkan bahwa perempuan memiliki perlindungan alami dari hormon estrogen, sehingga lebih aman dari serangan jantung dibandingkan pria.
Namun demikian, ia menyebut ada paradoks yang menarik. “Laki-laki lebih mudah terkena jantung tapi lebih awet hidupnya. Sedangkan perempuan lebih jarang (terkena serangan jantung, Red) tapi begitu kena, angka kematiannya lebih tinggi daripada laki-laki,” ungkapnya.
Oleh karena itu, dr. Jordan mengimbau masyarakat untuk proaktif mengenali keluhan tubuh sebelum berolahraga. “Tolong dipastikan sebelum olahraga baik-baik saja, misalnya konsultasi ke dokter diarahkan pemeriksaan penunjang,” sarannya.
Skrining kesehatan sangat dianjurkan, terutama bagi laki-laki di atas 40 tahun dan wanita di atas 50 tahun atau yang sudah menopause, untuk mengecek faktor risikonya.
Skrining dapat meliputi rekam jantung, foto rontgen, USG jantung, hingga treadmill. “Prinsipnya kenali dulu faktor risikonya,” pungkasnya. (ahm)