Oleh: Dwi Nurgianto, SH, MH, Praktisi Hukum, Mendalami Hukum Keluarga
PERSETERUAN seorang pejabat berinisial RK dan LM naik ke babak baru, pasca pengumuman hasil tes DNA oleh Bareskrim Polri pada 7 Agustus 2025 lalu. LM bersama kuasa hukumnya mengajukan second opinion ke Bareskrim Polri pada Selasa, 9 September 2025.
Perseteruan keduanya berawal dari pengakuan ke ranah publik oleh LM yang mengaku telah melahirkan seorang anak perempuan berinisial CA, hasil dari hubungan biologis dengan RK.
Di sisi lain, RK yang seorang pejabat negara menolak tudingan LM tersebut dan kemudian melaporkan LM ke Bareskrim Polri atas dugaan pencemaran nama baik.
Dalam perseteruan tersebut, yang menarik perhatian adalah peristiwa kelahiran CA, anak biologis LM, yang dalam konteks hukum dapat dikategorikan sebagai peristiwa anak lahir di luar perkawinan atau pernikahan.
Data dari Dispendukcapil di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan, ada puluhan ribu permohonan penerbitan akta kelahiran dengan orang tua tunggal (tanpa dicatat nama ayah di dalam akta).
Kita ambil contoh data yang disampaikan oleh Pelayanan Catatan Sipil Dispendukcapil Kabupaten Ponorogo. Sepanjang tahun 2021 saja, permohonan akta kelahiran dengan orang tua tunggal sebanyak 2.120 permohonan. Data tersebut sebagaimana yang diunggah di laman beritajatim.com.
Hal ini menunjukkan peristiwa kelahiran CA merupakan bagian kecil dari gunung es yang tampak di permukaan. Peristiwa tersebut ramai diperbincangkan karena kebetulan dilakukan oleh pejabat pubik.
Padahal, masih banyak anak-anak seperti CA yang merupakan korban dari hubungan biologis antara ibunya dengan pria lain. Yang menjadi perhatian adalah bagaimana masa depan, perlindungan hukum dan hak-hak anak yang lahir di luar pernikahan?
Jika kita merujuk pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974 berbunyi, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan berbunyi, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Dan pada Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menegaskan bahwa, ”Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Dari Undang-Undang Perkawinan tersebut, anak yang lahir di luar perkawinan dapat dikategorikan menjadi 2 (dua). Antara lain anak lahir di luar perkawinan dari kawin siri dan anak lahir di luar perkawinan dari hubungan gelap atau zinah.
Titik terang bagi perlindungan hukum dan hak anak di luar perkawinan terutama anak hasil dari kawin siri dapat dirujuk ke belakang, yaitu pada tahun 2010. Dimana Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang diajukan oleh Aisyah Mochtar alias Machica Mochtar.
Pengajuan uji materi yang diajukan oleh Aisyah Mochtar alias Machica Mochtar, menurut pengakuanya, didasari karena adanya diskriminasi. Diskriminasi yang dimaksud adalah menghilangkan asal-usul status anaknya.
Akta kelahiran anaknya yang diterbitkan negara melarang pencatuman nama ayah kandung sebagai pasangan orangtua. Lebih jauh lagi, tidak ada pengakuan jelas dari ayah kandungnya.
Padahal, Aisyah Mochtar alias Machica Mochtar telah mengantongi putusan penetapan Pengadilan Agama Tangerang yang telah mengesahkan perkawinan sirinya dengan (Alm.) Moerdiono, seorang menteri di kabinet Orde Baru.
Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Hakim Konstitusi Mahfud MD pada akhirnya mengambil suatu kesimpulan atas Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU Perkawinan tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan.
Kesimpulan hukum pertama, pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan.
Kesimpulan kedua, pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana yang tercatat pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU/VIII/2010 dalam pertimbangan hukum pada point 3.12 halaman 33.
Dalam putusan ini, Mahkamah Konstitusi membuat pertimbangan hukum yang progresif soal ikatan anak, ibu, dan ayah. Pertimbangan hukum tersebut secara tegas menyebutkan tidak tepat dan tidak adil jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya.
Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu.
Mahkamah Konstitusi menafsirkan kelahiran karena kehamilan memiliki akibat adanya hubungan hukum. Hubungan hukum tersebut meliputi hak dan kewajiban secara bertimbal balik antara subjek hukum, yaitu anak, ibu, dan ayah.
Lebih tegas lagi, Mahkamah Konstitusi mengatakan hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.
Penalaran hukum demikian sampai pada pemaknaan baru Mahkamah Konstitusi atas Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan sebagaimana tercantum dalam amar putusannya.
Pada amar putusan nomor 46/PUU/VIII/2010 menyebutkan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, kini dibaca sebagai, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU/VIII/2010 dapat menjadi tonggak perlindungan hukum bagi anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan hasil nikah siri. Perlindungan hukum bagi anak-anak yang lahir di luar perkawinan dari nikah siri menurut UU Perkawinan berhak atas hubungan perdata beserta segala akibat hukumnya dengan ayah kandungnya.
Lalu bagaimana nasib perlindungan hukum anah yang lahir di luar perkawinan hasil hubungan gelap atau zinah seperti halnya kelahiran CA anak LM di atas?
Apakah anak di luar perkawinan dari hubungan gelap atau zinah hak-haknya dapat diabaikan begitu saja? Bukankah hal tersebut menjadi salah satu bentuk diskriminasi dan ketidakadilan? Bukankah hal ini seperti kutukan bagi anak tersebut dimana dia harus menanggung dosa-dosa kedua orang tua karena aktifitas biologisnya?
Dosa ini akan dipikulnya sebagai beban moral yang menemani sepanjang hidup. Dipandang sebagai anak haram yang berakibat dikucilkan oleh masyarakat atau lingkungan sosial.
Tidak berhenti di situ, dosa tersebut bahkan sampai merenggut hak-hak hukum yang dimilikinya. Bahkan untuk mencantumkan nama ayah biologisnya di dalam akta kelahiran pun tidak dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Sebagai seorang anak yang tidak bisa memilih dari rahim mana dia dilahirkan, apakah tidak sepantasnya anak lahir di luar perkawinan dari hubungan gelap atau zinah juga mendapatkan perlindungan hukum dan hak-hak yang dimiliki setara dengan anak yang lahir di luar perkawinan hasil nikah siri. Karena sejatinya anak lahir di luar perkawinan dari hubungan gelap atau zinah adalah korban.
Jika kita cermati pemaknaan kelahiran anak dalam putusan Mahkamah Agung nomor 46/PUU/VIII/2010 terdapat celah untuk perlindungan hukum bagi anak lahir dari hasil hubungan gelap atau zinah.
Putusan tersebut dapat mengakomodir hubungan perdata ayah biologis dan anaknya. Dengan catatan, adanya bukti berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum bahwa kedua ayah dan anak mempunyai hubungan darah. Meski tidak dilatarbelakangi adanya perkawinan secara agama sebelumnya antara ayah dan ibu (lali dan perempuan) yang menghasilkan anak tersebut.
Hal ini dikarenakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tidak menjelaskan ketentuan tersebut. Beredar klarifikasi Hakim Konstitusi Mahfud MD bahwa yang dimaksud Majelis dengan frasa “anak di luar perkawinan” bukan anak hasil zinah melainkan anak hasil perkawinan tidak dicatatkan.
Namun sebagaimana fakta hukum, klarifikasi itu tidak tercantum dalam uraian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Di sisi lain, hal tersebut menjadi angin segar dan peluang bagi anak hasil zinah (menurut undang-undang pidana), bisa jadi termasuk anak dari hubungan seks bebas untuk mendapatkan perlindungan hukum dan hak-hak hukumnya.
Namun dengan pemenuhan syarat, yaitu adanya bukti berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah. (*)