METROTODAY, SIDOARJO – Fenomena cancel culture atau budaya pembatalan terus menjadi sorotan di dunia maya.
Istilah ini menggambarkan tindakan warganet yang secara kolektif menolak, mengkritik, atau memboikot figur publik karena dianggap melakukan kesalahan moral, ucapan yang menyinggung, atau tindakan yang tidak sesuai dengan norma sosial.
Fenomena ini muncul akibat meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap isu etika dan tanggung jawab sosial di dunia digital.
Namun, di sisi lain, budaya ini juga dipicu oleh rendahnya literasi digital dan kebiasaan warganet yang cepat bereaksi tanpa menelusuri kebenaran informasi. Akibatnya, seseorang bisa menjadi sasaran hujatan hanya karena potongan video atau unggahan yang disalahartikan.
Dikutip dari laman Kominfo.go.id, cancel culture merupakan bentuk sanksi sosial modern yang berkembang di ruang digital.
Masyarakat merasa memiliki kekuatan untuk menegakkan moral melalui tekanan sosial. Namun tanpa kendali, tindakan tersebut dapat berubah menjadi bentuk perundungan massal yang merusak reputasi seseorang.
Contoh perilaku yang sering memicu cancel culture antara lain pernyataan publik yang menyinggung isu sensitif seperti agama, ras, atau gender, serta perilaku tidak sopan di depan umum yang terekam dan menyebar luas.
Tidak jarang juga, selebritas atau influencer dibatalkan karena perilaku lama mereka kembali diungkit oleh pengguna media sosial.
Sanksi sosial yang muncul tidak hanya berupa kecaman, tetapi juga dapat berdampak pada kehidupan profesional. Beberapa figur publik kehilangan kontrak kerja sama, kehilangan dukungan penggemar, bahkan memilih menutup akun media sosial karena tekanan yang terlalu besar.
Dampak psikologis seperti stres dan kehilangan rasa percaya diri juga sering dialami oleh mereka yang menjadi korban.
Fenomena ini menunjukkan bahwa media sosial tidak lagi sekadar tempat berbagi informasi, melainkan ruang yang dapat menentukan citra seseorang di mata publik. Ketika arus opini tidak diimbangi dengan klarifikasi dan empati, warganet dapat dengan mudah berubah menjadi hakim digital yang menjatuhkan hukuman tanpa proses yang adil.
Cancel Culture mencerminkan kekuatan sekaligus ketegangan dunia maya. Budaya ini bisa menjadi alat kontrol sosial yang efektif, namun juga dapat melahirkan ketidakadilan jika dilakukan tanpa pertimbangan.
Masyarakat diharapkan lebih bijak dalam menanggapi isu di media sosial, serta mengedepankan verifikasi dan empati sebelum ikut memberikan sanksi sosial di ruang digital. (ana sofiana/red)

