29.3 C
Surabaya
25 June 2025, 21:13 PM WIB

Peran ‘Ayah’ Kosong: Fenomena Fatherless di Indonesia

METROTODAY, SURABAYA – Di sosial media banyak bertebaran bahwa persepsi wanita yang menyukai pria yang lebih tua disebut sebagai daddy issue. Banyak orang menganggap bahwa kecenderungan wanita untuk menjalin hubungan romansa dengan yang lebih tua karena kurangnya kasih sayang dari peran ayah di keluarga.

Tak hanya itu, anak yang tumbuh kurang kuat atau percaya diri juga dianggap sebagai hasil dari fatherless. Namun, apa maksud dari fatherless ini?

Fenomena dimana anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran atau keterlibatan aktif seorang ayah sedang marak terjadi di Indonesia. Fenomena ini dikenal dengan istilah fatherless, yakni kondisi di mana anak kehilangan figur ayah baik secara fisik, psikologis, maupun emosional dalam kesehariannya.

Meski peran ibu sering kali mendominasi dalam pengasuhan, studi menunjukkan bahwa kehadiran ayah sama pentingnya dalam pembentukan karakter, stabilitas emosional, hingga masa depan anak.

Menurut data dari The National Center for Fathering yang dikutip dalam laporan Populix, Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara dengan tingkat fatherless tertinggi di dunia, setelah Amerika Serikat dan Jepang.

Angka ini menggambarkan bahwa fenomena ini bukan sekadar kasus perorangan, tetapi sudah menjadi persoalan sosial berskala besar yang perlu mendapat perhatian serius dari masyarakat dan pemerintah.

Fenomena fatherless di Indonesia tidak selalu berarti ketiadaan ayah secara fisik, tetapi lebih pada absennya keterlibatan emosional dan psikologis ayah dalam tumbuh kembang anak. Banyak ayah yang hadir secara fisik di rumah, namun tidak terlibat dalam proses pengasuhan anak karena alasan pekerjaan, budaya patriarki, atau pola pikir lama yang menganggap pengasuhan adalah tanggung jawab ibu semata.

Narasi menjelaskan bahwa faktor ekonomi, perceraian, dan gaya hidup perkotaan juga berkontribusi besar. Banyak pria yang harus bekerja jauh dari rumah, atau terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga tidak memiliki waktu berkualitas bersama anak. Dalam beberapa kasus, ayah justru menyerahkan seluruh tanggung jawab pengasuhan kepada ibu atau pihak lain seperti nenek, kakek, atau bahkan pengasuh.

Meski terlihat seperti hal yag sepele dan biasa di Indonesia, ketiadaan figur ayah dapat berdampak jangka panjang terhadap kondisi psikologis dan perkembangan sosial anak. CNN Indonesia menyebutkan bahwa anak-anak yang tidak memiliki hubungan yang hangat dengan ayah lebih rentan mengalami gangguan perilaku, kesulitan dalam bergaul, rendah diri, dan rentan terhadap tekanan sosial.

Lebih lanjut, mereka juga berisiko lebih tinggi untuk mengalami depresi, terlibat dalam kenakalan remaja, hingga mengalami kesulitan dalam membangun relasi yang sehat di masa depan. Sebuah studi dalam jurnal internasional yang dikutip oleh RRI menunjukkan bahwa peran ayah sangat krusial dalam membentuk kepercayaan diri, kemampuan mengambil keputusan, hingga pola pikir logis anak.

Isu fatherless banyak dipengaruhi oleh budaya patriarki yang mengakar di Indonesia. Banyak ayah di Indonesia yang merasa “tidak perlu” terlibat secara langsung dalam pengasuhan karena terjebak dalam konstruksi budaya patriarki.

Dalam budaya ini, laki-laki diposisikan sebagai pencari nafkah utama, sementara perempuan adalah pengasuh rumah tangga. Pemahaman inilah yang sering kali menjauhkan ayah dari aktivitas harian anak, seperti membantu mengerjakan PR, menghadiri rapat sekolah, atau sekadar mendengarkan cerita anak di malam hari.

Budaya di Indonesia adalah bahwa tugas laki-laki hanya wajib mencari nafkah dan perempuan merawat anak sejak dari kandungan hingga dewasa. Pola pikir ini juga diperkuat oleh konsep toxic masculinity, di mana seorang laki-laki dianggap lemah jika terlalu dekat atau terlalu lembut terhadap anaknya. Padahal, kedekatan emosional antara ayah dan anak bukan hanya mempererat ikatan keluarga, tetapi juga menjadi fondasi penting bagi kesehatan mental anak.

Masalah fatherless bukan hanya tugas keluarga untuk menyelesaikannya, melainkan tanggung jawab bersama antara individu, masyarakat, dan bahkan negara. Ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mengatasi krisis ini:

1. Pendidikan Ayah Sejak Dini
Perlu adanya edukasi dan kampanye masif yang mendorong calon ayah untuk memahami pentingnya keterlibatan mereka dalam pengasuhan. Seminar, kelas parenting, hingga program pemerintah perlu diarahkan untuk menjangkau para pria, bukan hanya ibu.

2. Reformasi Kebijakan Kerja
Pemerintah dan perusahaan dapat mendorong penerapan cuti ayah (paternity leave) yang layak. Ini penting agar ayah memiliki waktu dan ruang untuk terlibat sejak awal dalam kehidupan anak. Negara-negara seperti Swedia dan Norwegia telah menunjukkan bahwa kebijakan ini efektif membangun relasi emosional jangka panjang antara ayah dan anak.

3. Membongkar Narasi Patriarki
Media, pendidikan, dan institusi keagamaan memiliki peran besar dalam mengubah narasi lama tentang peran ayah. Pria perlu didorong untuk melihat bahwa menjadi ayah yang pengasih dan terlibat bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk tanggung jawab dan kekuatan.

4. Ruang Diskusi dan Komunitas Ayah
Mendorong terbentuknya komunitas ayah muda yang bisa saling berbagi pengalaman dan tantangan dalam pengasuhan juga bisa menjadi solusi jangka panjang. Semakin banyak ayah yang bicara dan aktif dalam isu parenting, maka semakin cepat pula budaya pengasuhan kolaboratif terbentuk.

Di Sidoarjo sendiri, melalui launching program Sidelta (Sidoarjo Ayah Teladan) yang diresmikan pada Hari Keluarga Nasional ke-32 sudah memasukkan peran ayah dalam keluarga ke dalam program strategis pemerintah kabupaten.

Hal ini menunjukkan bahwa isu fatherless ini tidak hanya bermula dari masing-masing inividu saja namun juga perlu ada dorongan dan kampanye dari pemerintah. Dengan hadirnya peran ayah di dalam keluarga, anak bisa memiliki ikatan psikologis dan mental yang baik sehingga akan menciptakan pribadi yang lebih berkarakter. (alk)

METROTODAY, SURABAYA – Di sosial media banyak bertebaran bahwa persepsi wanita yang menyukai pria yang lebih tua disebut sebagai daddy issue. Banyak orang menganggap bahwa kecenderungan wanita untuk menjalin hubungan romansa dengan yang lebih tua karena kurangnya kasih sayang dari peran ayah di keluarga.

Tak hanya itu, anak yang tumbuh kurang kuat atau percaya diri juga dianggap sebagai hasil dari fatherless. Namun, apa maksud dari fatherless ini?

Fenomena dimana anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran atau keterlibatan aktif seorang ayah sedang marak terjadi di Indonesia. Fenomena ini dikenal dengan istilah fatherless, yakni kondisi di mana anak kehilangan figur ayah baik secara fisik, psikologis, maupun emosional dalam kesehariannya.

Meski peran ibu sering kali mendominasi dalam pengasuhan, studi menunjukkan bahwa kehadiran ayah sama pentingnya dalam pembentukan karakter, stabilitas emosional, hingga masa depan anak.

Menurut data dari The National Center for Fathering yang dikutip dalam laporan Populix, Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara dengan tingkat fatherless tertinggi di dunia, setelah Amerika Serikat dan Jepang.

Angka ini menggambarkan bahwa fenomena ini bukan sekadar kasus perorangan, tetapi sudah menjadi persoalan sosial berskala besar yang perlu mendapat perhatian serius dari masyarakat dan pemerintah.

Fenomena fatherless di Indonesia tidak selalu berarti ketiadaan ayah secara fisik, tetapi lebih pada absennya keterlibatan emosional dan psikologis ayah dalam tumbuh kembang anak. Banyak ayah yang hadir secara fisik di rumah, namun tidak terlibat dalam proses pengasuhan anak karena alasan pekerjaan, budaya patriarki, atau pola pikir lama yang menganggap pengasuhan adalah tanggung jawab ibu semata.

Narasi menjelaskan bahwa faktor ekonomi, perceraian, dan gaya hidup perkotaan juga berkontribusi besar. Banyak pria yang harus bekerja jauh dari rumah, atau terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga tidak memiliki waktu berkualitas bersama anak. Dalam beberapa kasus, ayah justru menyerahkan seluruh tanggung jawab pengasuhan kepada ibu atau pihak lain seperti nenek, kakek, atau bahkan pengasuh.

Meski terlihat seperti hal yag sepele dan biasa di Indonesia, ketiadaan figur ayah dapat berdampak jangka panjang terhadap kondisi psikologis dan perkembangan sosial anak. CNN Indonesia menyebutkan bahwa anak-anak yang tidak memiliki hubungan yang hangat dengan ayah lebih rentan mengalami gangguan perilaku, kesulitan dalam bergaul, rendah diri, dan rentan terhadap tekanan sosial.

Lebih lanjut, mereka juga berisiko lebih tinggi untuk mengalami depresi, terlibat dalam kenakalan remaja, hingga mengalami kesulitan dalam membangun relasi yang sehat di masa depan. Sebuah studi dalam jurnal internasional yang dikutip oleh RRI menunjukkan bahwa peran ayah sangat krusial dalam membentuk kepercayaan diri, kemampuan mengambil keputusan, hingga pola pikir logis anak.

Isu fatherless banyak dipengaruhi oleh budaya patriarki yang mengakar di Indonesia. Banyak ayah di Indonesia yang merasa “tidak perlu” terlibat secara langsung dalam pengasuhan karena terjebak dalam konstruksi budaya patriarki.

Dalam budaya ini, laki-laki diposisikan sebagai pencari nafkah utama, sementara perempuan adalah pengasuh rumah tangga. Pemahaman inilah yang sering kali menjauhkan ayah dari aktivitas harian anak, seperti membantu mengerjakan PR, menghadiri rapat sekolah, atau sekadar mendengarkan cerita anak di malam hari.

Budaya di Indonesia adalah bahwa tugas laki-laki hanya wajib mencari nafkah dan perempuan merawat anak sejak dari kandungan hingga dewasa. Pola pikir ini juga diperkuat oleh konsep toxic masculinity, di mana seorang laki-laki dianggap lemah jika terlalu dekat atau terlalu lembut terhadap anaknya. Padahal, kedekatan emosional antara ayah dan anak bukan hanya mempererat ikatan keluarga, tetapi juga menjadi fondasi penting bagi kesehatan mental anak.

Masalah fatherless bukan hanya tugas keluarga untuk menyelesaikannya, melainkan tanggung jawab bersama antara individu, masyarakat, dan bahkan negara. Ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mengatasi krisis ini:

1. Pendidikan Ayah Sejak Dini
Perlu adanya edukasi dan kampanye masif yang mendorong calon ayah untuk memahami pentingnya keterlibatan mereka dalam pengasuhan. Seminar, kelas parenting, hingga program pemerintah perlu diarahkan untuk menjangkau para pria, bukan hanya ibu.

2. Reformasi Kebijakan Kerja
Pemerintah dan perusahaan dapat mendorong penerapan cuti ayah (paternity leave) yang layak. Ini penting agar ayah memiliki waktu dan ruang untuk terlibat sejak awal dalam kehidupan anak. Negara-negara seperti Swedia dan Norwegia telah menunjukkan bahwa kebijakan ini efektif membangun relasi emosional jangka panjang antara ayah dan anak.

3. Membongkar Narasi Patriarki
Media, pendidikan, dan institusi keagamaan memiliki peran besar dalam mengubah narasi lama tentang peran ayah. Pria perlu didorong untuk melihat bahwa menjadi ayah yang pengasih dan terlibat bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk tanggung jawab dan kekuatan.

4. Ruang Diskusi dan Komunitas Ayah
Mendorong terbentuknya komunitas ayah muda yang bisa saling berbagi pengalaman dan tantangan dalam pengasuhan juga bisa menjadi solusi jangka panjang. Semakin banyak ayah yang bicara dan aktif dalam isu parenting, maka semakin cepat pula budaya pengasuhan kolaboratif terbentuk.

Di Sidoarjo sendiri, melalui launching program Sidelta (Sidoarjo Ayah Teladan) yang diresmikan pada Hari Keluarga Nasional ke-32 sudah memasukkan peran ayah dalam keluarga ke dalam program strategis pemerintah kabupaten.

Hal ini menunjukkan bahwa isu fatherless ini tidak hanya bermula dari masing-masing inividu saja namun juga perlu ada dorongan dan kampanye dari pemerintah. Dengan hadirnya peran ayah di dalam keluarga, anak bisa memiliki ikatan psikologis dan mental yang baik sehingga akan menciptakan pribadi yang lebih berkarakter. (alk)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/