25 C
Surabaya
24 May 2025, 1:28 AM WIB

Brain Rot: Candu Digital yang Merusak Kesehatan Fisik dan Mental

METROTODAY, SURABAYA – Belakangan, dunia internet dan sosial media kerap menggaungkan istilah “brain rot’. Di 2024 lalu, brain rot menjadi Word of The Year 2024 menurut Oxford.

Istilah ini juga merujuk ke arah paparan konten berkualitas rendah seperti meme ‘Skibidi Toilet’, ‘Only in Ohio’, hingga ‘Tung Tung Tung Sahur’ yang banyak digemari oleh Gen Alpha.

Brain rot sendiri kini dianggap sebagai salah satu fenomena yang mengancam kemampuan otak dan berbahaya.

Apa itu Brain Rot?

Istilah brain rot secara harfiah berarti “pembusukan otak”. Dalam konteks dunia internet dan budaya digital, istilah ini merujuk pada kondisi di mana seseorang merasa otaknya seperti “tumpul” atau kehilangan kemampuan untuk fokus.

Hal ini terjadi karena terlalu banyak mengonsumsi hiburan ringan dan cepat, seperti misal konten di TikTok, meme internet, video pendek lucu, dan drama selebriti internet.

Fenomena brain rot  kerap dianggap sebagai candaan oleh warga internet. Namun, sebetulnya fenomena ini merupakan gejala kelelahan kognitif (cognitive fatigue) akibat paparan konten instan dan stimulasi digital yang berlebihan.

Gejala Brain Rot yang Perlu Diwaspadai

Berikut beberapa tanda kamu mungkin mengalami brain rot:

  • Menurunnya daya ingat otak terhadap informasi.
  • Sulit fokus saat melakukan kegiatan yang memerlukan fokus tinggi seperti membaca, belajar, atau bekerja.
  • Merasa kosong atau gelisah setelah scrolling media sosial.
  • Mudah merasa stress karena paparan informasi sosial media yang berlebihan
  • Enggan atau menjadi malas untuk melakukan aktivitas produktif seperti menulis, berolahraga, atau berdiskusi.
  • Selalu ingin mencari hiburan baru secara cepat (content craving).
  • Terus menunda tidur karena asyik dengan konten (doomscrolling).
  • Fenomena ini sejalan dengan apa yang disebut sebagai digital fatigue, yaitu kelelahan akibat konsumsi digital berlebihan.

Kenapa Kita Rentan Terkena Brain Rot?

Brain rot memang menjadi salah satu konsekuensi yang muncul karena adanya teknologi yang hadir di hidup kita. Namun, perusahaan media dan teknologi turut berperan dalam merancang sistem agar pengguna bisa bertahan lama menggunakan aplikasi mereka.

Misalnya, algoritma media sosial yang memang dirancang dan dipersonalisasikan untuk membuat kita betah.

Semakin lama kita menonton konten yang kita sukai, semakin banyak dopamin yang dilepaskan, kemudian semakin besar keinginan kita untuk mengulanginya. Hal ini akhirnya menciptakan siklus candu digital yang berputar seperti lingkaran setan.

Konten berdurasi cepat dan menyenangkan membuat otak terbiasa dengan instant gratification , sehingga aktivitas yang lebih lambat dan reflektif terasa “membosankan”, padahal justru di sanalah perkembangan otak dan kreativitas terjadi.

Dampak Jangka Panjang Brain Rot

Jika tidak dikendalikan, konsumsi hiburan media sosial berkualitas rendah dan instan yang berlebihan bisa menyebabkan:

  • Menurunnya konsentrasi dan daya pikir mendalam.
  • Terhambatnya perkembangan kemampuan berpikir kritis dan reflektif.
  • Meningkatnya rasa bosan dan anxiety.
  • Potensi menurunnya kualitas hubungan sosial karena interaksi dangkal.

Cara Mengatasi Brain Rot

Di zaman yang semuanya serba sosial media dan aplikasi, menghindari media sosial sepenuhnya mungkin sulit dan bahkan mustahil. Maka dari itu, kita bisa mulai dengan dari hal kecil seperti:

  • Membatasi screen time secara sadar. Coba cek berapa screentime yang ada di gadget kita. Jika sudah melebihi batas atau berlebihan coba atur jadwal kapan menggunakan gadget dan kapan berhenti.
  • Membuat rutinitas harian tanpa gadget . Ubah keinginan untuk mendapat hiburan instan dari konten sosial media menjadi hiburan lain seperti membaca buku atau menulis jurnal.
  • Mengatur konsumsi konten. Coba untuk lebih bijak dalam memilah dan mengkonsumsi media sosial, misalnya hanya mengikuti akun yang memberi nilai tambah atau bersifat edukasi.
  • Mencoba berlatih fokus. Misalnya dengan menggunakan teknik Pomodoro.
  • Digital detox mingguan: Coba untuk puasa gadget, misalnya seperti sehari penuh tanpa konsumsi media sosial.

Brain rot bukan sekadar istilah viral yang sedang ramai di internet, tapi fenomena nyata yang menunjukkan bagaimana otak kita bisa kewalahan di era digital.

Maka dari itu, untuk menghindari pembusukan otak akibat paparan konten sosial media, coba untuk berlatih fokus dan mindful saat menggunakan gadget atau aplikasi sosial media.

Lebih bijak dalam mengkonsumsi konten tidak hanya menyelamatkan kita dari brain rot tapi juga membuat kita lebih sehat dalam menjalani hidup. (*)

METROTODAY, SURABAYA – Belakangan, dunia internet dan sosial media kerap menggaungkan istilah “brain rot’. Di 2024 lalu, brain rot menjadi Word of The Year 2024 menurut Oxford.

Istilah ini juga merujuk ke arah paparan konten berkualitas rendah seperti meme ‘Skibidi Toilet’, ‘Only in Ohio’, hingga ‘Tung Tung Tung Sahur’ yang banyak digemari oleh Gen Alpha.

Brain rot sendiri kini dianggap sebagai salah satu fenomena yang mengancam kemampuan otak dan berbahaya.

Apa itu Brain Rot?

Istilah brain rot secara harfiah berarti “pembusukan otak”. Dalam konteks dunia internet dan budaya digital, istilah ini merujuk pada kondisi di mana seseorang merasa otaknya seperti “tumpul” atau kehilangan kemampuan untuk fokus.

Hal ini terjadi karena terlalu banyak mengonsumsi hiburan ringan dan cepat, seperti misal konten di TikTok, meme internet, video pendek lucu, dan drama selebriti internet.

Fenomena brain rot  kerap dianggap sebagai candaan oleh warga internet. Namun, sebetulnya fenomena ini merupakan gejala kelelahan kognitif (cognitive fatigue) akibat paparan konten instan dan stimulasi digital yang berlebihan.

Gejala Brain Rot yang Perlu Diwaspadai

Berikut beberapa tanda kamu mungkin mengalami brain rot:

  • Menurunnya daya ingat otak terhadap informasi.
  • Sulit fokus saat melakukan kegiatan yang memerlukan fokus tinggi seperti membaca, belajar, atau bekerja.
  • Merasa kosong atau gelisah setelah scrolling media sosial.
  • Mudah merasa stress karena paparan informasi sosial media yang berlebihan
  • Enggan atau menjadi malas untuk melakukan aktivitas produktif seperti menulis, berolahraga, atau berdiskusi.
  • Selalu ingin mencari hiburan baru secara cepat (content craving).
  • Terus menunda tidur karena asyik dengan konten (doomscrolling).
  • Fenomena ini sejalan dengan apa yang disebut sebagai digital fatigue, yaitu kelelahan akibat konsumsi digital berlebihan.

Kenapa Kita Rentan Terkena Brain Rot?

Brain rot memang menjadi salah satu konsekuensi yang muncul karena adanya teknologi yang hadir di hidup kita. Namun, perusahaan media dan teknologi turut berperan dalam merancang sistem agar pengguna bisa bertahan lama menggunakan aplikasi mereka.

Misalnya, algoritma media sosial yang memang dirancang dan dipersonalisasikan untuk membuat kita betah.

Semakin lama kita menonton konten yang kita sukai, semakin banyak dopamin yang dilepaskan, kemudian semakin besar keinginan kita untuk mengulanginya. Hal ini akhirnya menciptakan siklus candu digital yang berputar seperti lingkaran setan.

Konten berdurasi cepat dan menyenangkan membuat otak terbiasa dengan instant gratification , sehingga aktivitas yang lebih lambat dan reflektif terasa “membosankan”, padahal justru di sanalah perkembangan otak dan kreativitas terjadi.

Dampak Jangka Panjang Brain Rot

Jika tidak dikendalikan, konsumsi hiburan media sosial berkualitas rendah dan instan yang berlebihan bisa menyebabkan:

  • Menurunnya konsentrasi dan daya pikir mendalam.
  • Terhambatnya perkembangan kemampuan berpikir kritis dan reflektif.
  • Meningkatnya rasa bosan dan anxiety.
  • Potensi menurunnya kualitas hubungan sosial karena interaksi dangkal.

Cara Mengatasi Brain Rot

Di zaman yang semuanya serba sosial media dan aplikasi, menghindari media sosial sepenuhnya mungkin sulit dan bahkan mustahil. Maka dari itu, kita bisa mulai dengan dari hal kecil seperti:

  • Membatasi screen time secara sadar. Coba cek berapa screentime yang ada di gadget kita. Jika sudah melebihi batas atau berlebihan coba atur jadwal kapan menggunakan gadget dan kapan berhenti.
  • Membuat rutinitas harian tanpa gadget . Ubah keinginan untuk mendapat hiburan instan dari konten sosial media menjadi hiburan lain seperti membaca buku atau menulis jurnal.
  • Mengatur konsumsi konten. Coba untuk lebih bijak dalam memilah dan mengkonsumsi media sosial, misalnya hanya mengikuti akun yang memberi nilai tambah atau bersifat edukasi.
  • Mencoba berlatih fokus. Misalnya dengan menggunakan teknik Pomodoro.
  • Digital detox mingguan: Coba untuk puasa gadget, misalnya seperti sehari penuh tanpa konsumsi media sosial.

Brain rot bukan sekadar istilah viral yang sedang ramai di internet, tapi fenomena nyata yang menunjukkan bagaimana otak kita bisa kewalahan di era digital.

Maka dari itu, untuk menghindari pembusukan otak akibat paparan konten sosial media, coba untuk berlatih fokus dan mindful saat menggunakan gadget atau aplikasi sosial media.

Lebih bijak dalam mengkonsumsi konten tidak hanya menyelamatkan kita dari brain rot tapi juga membuat kita lebih sehat dalam menjalani hidup. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/