22 December 2025, 1:36 AM WIB

Kemdiktisaintek Wajibkan Kampus Inklusif 2026 se-Indonesia, Dorong Penggunaan Metrik Inklusi Disabilitas

METROTODAY, SURABAYA – Kampus inklusif dan ramah bagi penyandang disabilitas menjadi keharusan, dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) menegaskan bahwa mulai tahun 2026 seluruh perguruan tinggi di Indonesia diwajibkan menghadirkan lingkungan belajar yang sesuai.

Pernyataan ini disampaikan dalam acara diseminasi metrik inklusi disabilitas yang mengedepankan data dan hasil pengukuran terkait partisipasi penyandang disabilitas dalam berbagai aspek aktivitas kampus. Kegiatan ini bertujuan mengomunikasikan temuan metrik kepada pemangku kepentingan untuk meningkatkan kesadaran, mendorong akuntabilitas, dan memperbaiki praktik inklusi.

Direktur Belmawa Beny Bandanadjaja menjelaskan, Dikti memiliki moto untuk meningkatkan akses, mutu, relevansi, dan berdampak, dimana akses berarti memberikan kesempatan bagi semua pihak termasuk penyandang disabilitas.

“Jadi kegiatan ini menjadi upaya untuk meningkatkan akses bagi mahasiswa penyandang disabilitas untuk meningkatkan pelayanan mahasiswa,” ujarnya, Minggu (21/12).

Salah satu mahasiswa yang merupakan penyandang disabilitas di Unesa saat lulus wisuda. (Foto: Ahmad/METROTODAY)

Data Susenas tahun 2018 menunjukkan hanya 2,8 persen penyandang disabilitas yang menyelesaikan pendidikan tinggi. Tantangan di lapangan meliputi keterbatasan akses fisik, layanan akademik yang belum adaptif, hingga kebijakan kelembagaan yang belum optimal.

Untuk itu diperlukan pendekatan sistematis dan terukur, salah satunya adalah pengembangan metrik inklusi disabilitas oleh Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yang disebut Unesa Dimetric (UDIM).

“Unesa Dimetric dikembangkan atas kesadaran akan pentingnya aksesibilitas terhadap lingkungan fisik, sosial, ekonomi, dan budaya, serta akses terhadap kesehatan, pendidikan, informasi, dan komunikasi, sebagai prasyarat utama bagi penyandang disabilitas untuk dapat menikmati secara penuh seluruh hak asasi manusia dan kebebasan fundamental. Oleh karena itu, diperlukan sebuah instrumen pengukuran yang bersifat universal dan objektif,” jelasnya.

Metrik ini mencakup berbagai aspek strategis, mulai dari kebijakan dan tata kelola, sarana dan prasarana, layanan akademik dan non-akademik, kapasitas sumber daya manusia, hingga pelaksanaan tridarma perguruan tinggi dengan perspektif inklusi. Inisiatif ini sejalan dengan UN-CRPD dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdiktisaintek, Khairul Munadi, menegaskan bahwa inklusivitas bukan lagi pilihan melainkan keharusan. “Kampus adalah rumah bersama yang menjunjung prinsip kesetaraan. Untuk memastikan hal tersebut, mulai tahun 2026 seluruh perguruan tinggi di Indonesia diwajibkan menghadirkan lingkungan belajar yang ramah dan inklusif bagi penyandang disabilitas,” tegasnya.

Menurutnya, metrik inklusi disabilitas menjadi instrumen penting untuk memastikan komitmen tersebut dijalankan secara nyata dan terukur, sehingga perguruan tinggi dapat memetakan kondisi eksisting, mengenali celah layanan, dan menyusun langkah strategis yang relevan.

Acara juga menyajikan pemaparan dari Komisi Nasional Disabilitas (KND) dan tim pengembang metrik dari Unesa, yang menggaris-bawahi pentingnya cetak biru pemenuhan hak penyandang disabilitas berdasarkan regulasi seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2023, dan Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024.

Dante Rigmalia, Ketua Komisi Nasional Disabilitas, memberikan apresiasi kepada Kemdiktisaintek karena saat ini pemerintah mulai meningkatkan perhatian dengan membuat peraturan.

“Kami sangat senang karena saat ini pemerintah, melalui Kemdiktisaintek, mulai meningkatkan perhatian di dalam peraturannya untuk meningkatkan pelayanan bagi penyandang disabilitas di perguruan tinggi,” pungkasnya. (ahm)

METROTODAY, SURABAYA – Kampus inklusif dan ramah bagi penyandang disabilitas menjadi keharusan, dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) menegaskan bahwa mulai tahun 2026 seluruh perguruan tinggi di Indonesia diwajibkan menghadirkan lingkungan belajar yang sesuai.

Pernyataan ini disampaikan dalam acara diseminasi metrik inklusi disabilitas yang mengedepankan data dan hasil pengukuran terkait partisipasi penyandang disabilitas dalam berbagai aspek aktivitas kampus. Kegiatan ini bertujuan mengomunikasikan temuan metrik kepada pemangku kepentingan untuk meningkatkan kesadaran, mendorong akuntabilitas, dan memperbaiki praktik inklusi.

Direktur Belmawa Beny Bandanadjaja menjelaskan, Dikti memiliki moto untuk meningkatkan akses, mutu, relevansi, dan berdampak, dimana akses berarti memberikan kesempatan bagi semua pihak termasuk penyandang disabilitas.

“Jadi kegiatan ini menjadi upaya untuk meningkatkan akses bagi mahasiswa penyandang disabilitas untuk meningkatkan pelayanan mahasiswa,” ujarnya, Minggu (21/12).

Salah satu mahasiswa yang merupakan penyandang disabilitas di Unesa saat lulus wisuda. (Foto: Ahmad/METROTODAY)

Data Susenas tahun 2018 menunjukkan hanya 2,8 persen penyandang disabilitas yang menyelesaikan pendidikan tinggi. Tantangan di lapangan meliputi keterbatasan akses fisik, layanan akademik yang belum adaptif, hingga kebijakan kelembagaan yang belum optimal.

Untuk itu diperlukan pendekatan sistematis dan terukur, salah satunya adalah pengembangan metrik inklusi disabilitas oleh Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yang disebut Unesa Dimetric (UDIM).

“Unesa Dimetric dikembangkan atas kesadaran akan pentingnya aksesibilitas terhadap lingkungan fisik, sosial, ekonomi, dan budaya, serta akses terhadap kesehatan, pendidikan, informasi, dan komunikasi, sebagai prasyarat utama bagi penyandang disabilitas untuk dapat menikmati secara penuh seluruh hak asasi manusia dan kebebasan fundamental. Oleh karena itu, diperlukan sebuah instrumen pengukuran yang bersifat universal dan objektif,” jelasnya.

Metrik ini mencakup berbagai aspek strategis, mulai dari kebijakan dan tata kelola, sarana dan prasarana, layanan akademik dan non-akademik, kapasitas sumber daya manusia, hingga pelaksanaan tridarma perguruan tinggi dengan perspektif inklusi. Inisiatif ini sejalan dengan UN-CRPD dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdiktisaintek, Khairul Munadi, menegaskan bahwa inklusivitas bukan lagi pilihan melainkan keharusan. “Kampus adalah rumah bersama yang menjunjung prinsip kesetaraan. Untuk memastikan hal tersebut, mulai tahun 2026 seluruh perguruan tinggi di Indonesia diwajibkan menghadirkan lingkungan belajar yang ramah dan inklusif bagi penyandang disabilitas,” tegasnya.

Menurutnya, metrik inklusi disabilitas menjadi instrumen penting untuk memastikan komitmen tersebut dijalankan secara nyata dan terukur, sehingga perguruan tinggi dapat memetakan kondisi eksisting, mengenali celah layanan, dan menyusun langkah strategis yang relevan.

Acara juga menyajikan pemaparan dari Komisi Nasional Disabilitas (KND) dan tim pengembang metrik dari Unesa, yang menggaris-bawahi pentingnya cetak biru pemenuhan hak penyandang disabilitas berdasarkan regulasi seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2023, dan Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024.

Dante Rigmalia, Ketua Komisi Nasional Disabilitas, memberikan apresiasi kepada Kemdiktisaintek karena saat ini pemerintah mulai meningkatkan perhatian dengan membuat peraturan.

“Kami sangat senang karena saat ini pemerintah, melalui Kemdiktisaintek, mulai meningkatkan perhatian di dalam peraturannya untuk meningkatkan pelayanan bagi penyandang disabilitas di perguruan tinggi,” pungkasnya. (ahm)

Artikel Terkait

Pilihan Editor

Pilihan Editor

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait