METROTODAY, SURABAYA – Empat universitas dari Indonesia dan Inggris berkolaborasi dalam program Bamboo Nation 2025: Kinetic Bamboo Structure 2.0 untuk merancang dan merakit struktur bambu kinetik yang unik dan adaptif.
Yang lebih menarik, mereka mengintegrasikan teknologi Augmented Reality (AR) untuk mempermudah proses perakitan, menjembatani metode tradisional dengan inovasi modern.
Workshop yang berlangsung pada 4-10 Agustus 2025 ini menempatkan bambu sebagai bintang utama. Material berkelanjutan yang kian populer di dunia arsitektur ini diolah menjadi sebuah karya yang tidak hanya fungsional tetapi juga estetis.
Inisiatif tahunan yang digagas oleh Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) Bandung sejak 2014 ini, kali ini diselenggarakan oleh Petra Christian University (PCU) dan Universitas Ciputra, bekerja sama dengan UNPAR dan Xi’an Jiaotong-Liverpool University.

Setelah sukses menggelar workshop serupa di Bali pada 2024, kini giliran Surabaya menjadi tuan rumah.
Menurut Esti Asih Nurdiah, PIC acara sekaligus dosen Arsitektur PCU, ada 28 mahasiswa yang berpartisipasi dalam workshop.
“Di program ini, para peserta akan fokus belajar pada praktik dan eksplorasi dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip desain kinetik ke dalam konstruksi bambu,” jelasnya.
Salah satu puncaknya adalah perakitan Struktur Bambu Kinetik di Kampus PCU. Bangunan yang dirancang menggunakan mekanisme SLE (Scissor-Like Element) ini berbentuk cangkang silindrikal yang bisa dibuka dan ditutup.
Dengan bentang 4,3 meter dan panjang maksimal 10 meter, para mahasiswa membangun struktur ini secara kolaboratif, memadukan riset dosen dan mahasiswa dari keempat kampus penyelenggara.
Keunikan lain dari proyek ini adalah pemanfaatan teknologi AR. Esti, yang berfokus pada riset penggunaan bambu, menjelaskan bahwa AR berperan penting dalam tahap fabrikasi.
“Secara konvensional kita membutuhkan cetakan untuk bentuk-bentuk yang sulit. Dengan AR, model digital dipakai sebagai cetakan untuk pembangunan,” ujarnya.
Secara spesifik, teknologi AR digunakan pada tahap penandaan dan pengodean batang bambu sebelum dirakit menjadi struktur utuh.
Proses ini tidak hanya menyederhanakan konstruksi, tetapi juga menunjukkan bagaimana teknologi modern dapat menyempurnakan kerajinan tangan tradisional.
Melalui pendekatan eksperimental dan kolaboratif ini, para peserta mendapatkan pengalaman langsung dalam merancang struktur yang adaptif.
Mereka tidak hanya melihat unsur kinetis sebagai sistem mekanik, tetapi juga sebagai sebuah “bahasa arsitektur” yang mampu menciptakan bentuk-bentuk yang indah.
Proyek ini menjadi jembatan antara kerajinan tangan tradisional dan inovasi, menggabungkan material lokal dengan pendekatan desain modern yang visioner. (ahm)