Bertemu Meneer dan Noni Belanda Berpesta Tengah Malam Hingga Makhluk Tinggi Besar Bermata Merah di Lodji Undaan Surabaya

METROTODAY, SURABAYA – Namanya Fuad, sudah lebih dari dua puluh tahun ia menjadi penjaga rumah tua Lodji Undaan di sudut Jalan Undaan Surabaya.

Rumah besar bergaya kolonial Belanda itu, kini telah berganti pemilik beberapa kali. Dulunya milik orang Belanda, kemudian jatuh ke tangan saudagar Tionghoa.

Sehari-hari, Fuad meneruskan tugas sebagai penjaga malam, warisan turun-temurun dari ayahnya. Bukan pekerjaan mudah, menjaga rumah besar yang kosong dan sunyi ini.

Fuad tak sendiri. Ia bersama dengan Mak Darsem, wanita tua renta dari Kediri yang membantunya membersihkan rumah. Usianya hampir tujuh puluh tahun, namun tenaganya masih kuat.

Tugas utamanya membersihkan rumah, tapi fuad juga sering meminta bantuannya memperbaiki kerusakan kecil di rumah tua ini.

Rumah ini besar dan luas, seringkali ia menemukan kerusakan kecil yang harus segera diperbaiki. Tetangga sering melihatnya berlalu lalang memperbaiki sesuatu, karena rumah ini memang tak berpenghuni sejak pemiliknya meninggal sudah lama.

Anak-anaknya yang tinggal di luar Surabaya, bahkan ada yang di luar negeri, hanya mengirimkan uang untuk perawatan rumah.

Malam itu, gerimis mengguyur Surabaya. Fuad tiba di Lodji Undaan lebih lambat dari biasanya karena ada urusan di kampung. Udara dingin menusuk tulang, suara jangkrik dan katak bersahutan, diselingi kilatan petir yang menyambar langit.

“Saya duduk di teras, menyesap kopi hangat buatan Mak Darsem ditemani sebatang rokok kretek. Suasana mencekam mulai terasa,” ujarnya.

Sekitar tengah malam, kantuk tiba-tiba menyerang. Kelopak mata Fuad terasa berat, seakan ada yang menekan. Namun, ia masih bisa merasakan situasi sekitar.

Tak lama kemudian, suara riuh rendah mengagetkannya. Dari balik jendela, Fuad melihat banyak orang berkumpul di ruang tamu, ternyata ada pesta yang meriah.

Mereka berdansa, bernyanyi, tertawa. Semua orang Belanda. Mereka tampak nyata, berlalu lalang di hadapannya. Namun, ia tak bisa bergerak karena tubuhnya terasa kaku.

“Ya Allah,” bisikku, sambil berdoa dalam hati. Aroma wangi bunga melati tiba-tiba menyeruak di udara. Bulu kudukku merinding. Gerimis semakin deras, menambah suasana mencekam. Aku yakin, ini bukan mimpi biasa. Semua terasa begitu nyata.

Keesokan harinya, Fuad menceritakan hal aneh yang kualami pada Mak Darsem. Ia hanya tersenyum, lalu berkata, “Ooh, itu Meneer Hoff. Jangan lupa berdoa kalau berjaga malam.” Kata-katanya membuat semakin merinding.

Mak Darsem, dengan pengalamannya yang panjang menjaga rumah ini, tahu banyak hal yang terjadi di Lodji Undaan. Mak Darsem pernah bercerita tentang kejadian aneh di masa lalu, saat rumah ini masih dihuni oleh pengusaha Tionghoa.

Seorang penjual kacang hijau mengaku pernah didatangi makhluk tinggi besar, bermata merah, yang memesan kacang hijau. Penjual itu lari ketakutan, dan menceritakan kejadian tersebut.

“Peristiwa aneh dan seram sering terjadi di sini,” katanya pada Mak Darsem suatu hari. “Awalnya takut, tapi lama-kelamaan sudah terbiasa. Kalau ada kejadian aneh, aku selalu berdoa dan mengalihkan perhatian dengan mendengarkan radio,” ujarnya.

Akhirnya, di penghujung tahun 1990-an, rumah Lodji Undaan dijual oleh ahli warisnya. Bertahun-tahun kosong, hingga akhirnya dibeli oleh seorang pengembang. Rumah tua itu dibongkar, digantikan gedung pertokoan.

Kini, Jalan Undaan tak lagi sesunyi dulu. Namun, bayangan-bayangan malam itu masih tertinggal dalam ingatannya. Fuad masih sering teringat akan kejadian-kejadian aneh yang dialami di rumah tua itu. (ahm)

METROTODAY, SURABAYA – Namanya Fuad, sudah lebih dari dua puluh tahun ia menjadi penjaga rumah tua Lodji Undaan di sudut Jalan Undaan Surabaya.

Rumah besar bergaya kolonial Belanda itu, kini telah berganti pemilik beberapa kali. Dulunya milik orang Belanda, kemudian jatuh ke tangan saudagar Tionghoa.

Sehari-hari, Fuad meneruskan tugas sebagai penjaga malam, warisan turun-temurun dari ayahnya. Bukan pekerjaan mudah, menjaga rumah besar yang kosong dan sunyi ini.

Fuad tak sendiri. Ia bersama dengan Mak Darsem, wanita tua renta dari Kediri yang membantunya membersihkan rumah. Usianya hampir tujuh puluh tahun, namun tenaganya masih kuat.

Tugas utamanya membersihkan rumah, tapi fuad juga sering meminta bantuannya memperbaiki kerusakan kecil di rumah tua ini.

Rumah ini besar dan luas, seringkali ia menemukan kerusakan kecil yang harus segera diperbaiki. Tetangga sering melihatnya berlalu lalang memperbaiki sesuatu, karena rumah ini memang tak berpenghuni sejak pemiliknya meninggal sudah lama.

Anak-anaknya yang tinggal di luar Surabaya, bahkan ada yang di luar negeri, hanya mengirimkan uang untuk perawatan rumah.

Malam itu, gerimis mengguyur Surabaya. Fuad tiba di Lodji Undaan lebih lambat dari biasanya karena ada urusan di kampung. Udara dingin menusuk tulang, suara jangkrik dan katak bersahutan, diselingi kilatan petir yang menyambar langit.

“Saya duduk di teras, menyesap kopi hangat buatan Mak Darsem ditemani sebatang rokok kretek. Suasana mencekam mulai terasa,” ujarnya.

Sekitar tengah malam, kantuk tiba-tiba menyerang. Kelopak mata Fuad terasa berat, seakan ada yang menekan. Namun, ia masih bisa merasakan situasi sekitar.

Tak lama kemudian, suara riuh rendah mengagetkannya. Dari balik jendela, Fuad melihat banyak orang berkumpul di ruang tamu, ternyata ada pesta yang meriah.

Mereka berdansa, bernyanyi, tertawa. Semua orang Belanda. Mereka tampak nyata, berlalu lalang di hadapannya. Namun, ia tak bisa bergerak karena tubuhnya terasa kaku.

“Ya Allah,” bisikku, sambil berdoa dalam hati. Aroma wangi bunga melati tiba-tiba menyeruak di udara. Bulu kudukku merinding. Gerimis semakin deras, menambah suasana mencekam. Aku yakin, ini bukan mimpi biasa. Semua terasa begitu nyata.

Keesokan harinya, Fuad menceritakan hal aneh yang kualami pada Mak Darsem. Ia hanya tersenyum, lalu berkata, “Ooh, itu Meneer Hoff. Jangan lupa berdoa kalau berjaga malam.” Kata-katanya membuat semakin merinding.

Mak Darsem, dengan pengalamannya yang panjang menjaga rumah ini, tahu banyak hal yang terjadi di Lodji Undaan. Mak Darsem pernah bercerita tentang kejadian aneh di masa lalu, saat rumah ini masih dihuni oleh pengusaha Tionghoa.

Seorang penjual kacang hijau mengaku pernah didatangi makhluk tinggi besar, bermata merah, yang memesan kacang hijau. Penjual itu lari ketakutan, dan menceritakan kejadian tersebut.

“Peristiwa aneh dan seram sering terjadi di sini,” katanya pada Mak Darsem suatu hari. “Awalnya takut, tapi lama-kelamaan sudah terbiasa. Kalau ada kejadian aneh, aku selalu berdoa dan mengalihkan perhatian dengan mendengarkan radio,” ujarnya.

Akhirnya, di penghujung tahun 1990-an, rumah Lodji Undaan dijual oleh ahli warisnya. Bertahun-tahun kosong, hingga akhirnya dibeli oleh seorang pengembang. Rumah tua itu dibongkar, digantikan gedung pertokoan.

Kini, Jalan Undaan tak lagi sesunyi dulu. Namun, bayangan-bayangan malam itu masih tertinggal dalam ingatannya. Fuad masih sering teringat akan kejadian-kejadian aneh yang dialami di rumah tua itu. (ahm)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/