26.1 C
Surabaya
27 June 2025, 6:30 AM WIB

Dampak Konflik Kepala Daerah dan Wakilnya bagi Pemerintahan dan Masyarakat

METROTODAY, SURABAYA – Harmonisasi antara kepala daerah dan wakilnya menjadi kunci keberhasilan pemerintahan. Namun, kenyataannya, tidak sedikit pasangan kepala daerah dan wakilnya yang justru terlibat konflik selama masa jabatan. Lalu, apa dampaknya jika mereka tidak akur?

1. Pemerintahan Tidak Efektif

Ketidakharmonisan menghambat komunikasi, koordinasi, hingga pengambilan keputusan. Program strategis terancam mandek karena kepala daerah dan wakilnya bersikukuh pada prioritas masing-masing. Birokrasi pun kebingungan, pelayanan publik jadi tidak maksimal.

2. Dualisme Kepemimpinan

Wakil kepala daerah yang merasa diabaikan kerap membangun kekuatan politik sendiri. Ini memicu dualisme kepemimpinan dan membuat ASN bingung soal loyalitas. Contohnya di Bojonegoro, konflik Bupati Anna Mu’awanah dan Wakil Budi Irwanto terjadi terbuka di grup WhatsApp. Di Aceh Tengah, konflik Bupati Shabela Abubakar dan Wakil Firdaus bahkan nyaris berujung adu fisik.

3. Kerugian Bagi Masyarakat

Konflik membuat pembangunan lambat, anggaran tidak optimal, dan kepercayaan publik menurun. Studi JPAMS (2022) menyebut konflik pemimpin daerah menurunkan kepercayaan masyarakat dan memicu apatisme politik. Konflik bahkan bisa merembet ke pendukung di akar rumput.

4. Persaingan Pilkada

Konflik sering dipicu ambisi menghadapi Pilkada berikutnya. Wakil kepala daerah mulai membangun citra sendiri, kadang dengan mengkritisi kepala daerah demi menaikkan popularitas. Rivalitas ini memperkeruh hubungan kerja.

5. Minim Mekanisme Penyelesaian

Tidak ada mekanisme formal yang kuat untuk menyelesaikan konflik kepala daerah dan wakilnya. Dalam sistem pemerintahan daerah, wakil hanya memiliki kewenangan jika mendapat pendelegasian langsung. Tanpa keharmonisan, wakil rentan sekadar menjadi “ban serep”.

6. Pentingnya Etika Politik

Banyak pasangan kepala daerah diusung hanya karena hitungan elektabilitas, tanpa kesamaan visi atau chemistry. Setelah terpilih, ego, perbedaan karakter, dan kepentingan pribadi mulai muncul. Idealnya, sejak awal ada pembagian peran, komunikasi yang jelas, dan komitmen bersama membangun daerah.(alk)

METROTODAY, SURABAYA – Harmonisasi antara kepala daerah dan wakilnya menjadi kunci keberhasilan pemerintahan. Namun, kenyataannya, tidak sedikit pasangan kepala daerah dan wakilnya yang justru terlibat konflik selama masa jabatan. Lalu, apa dampaknya jika mereka tidak akur?

1. Pemerintahan Tidak Efektif

Ketidakharmonisan menghambat komunikasi, koordinasi, hingga pengambilan keputusan. Program strategis terancam mandek karena kepala daerah dan wakilnya bersikukuh pada prioritas masing-masing. Birokrasi pun kebingungan, pelayanan publik jadi tidak maksimal.

2. Dualisme Kepemimpinan

Wakil kepala daerah yang merasa diabaikan kerap membangun kekuatan politik sendiri. Ini memicu dualisme kepemimpinan dan membuat ASN bingung soal loyalitas. Contohnya di Bojonegoro, konflik Bupati Anna Mu’awanah dan Wakil Budi Irwanto terjadi terbuka di grup WhatsApp. Di Aceh Tengah, konflik Bupati Shabela Abubakar dan Wakil Firdaus bahkan nyaris berujung adu fisik.

3. Kerugian Bagi Masyarakat

Konflik membuat pembangunan lambat, anggaran tidak optimal, dan kepercayaan publik menurun. Studi JPAMS (2022) menyebut konflik pemimpin daerah menurunkan kepercayaan masyarakat dan memicu apatisme politik. Konflik bahkan bisa merembet ke pendukung di akar rumput.

4. Persaingan Pilkada

Konflik sering dipicu ambisi menghadapi Pilkada berikutnya. Wakil kepala daerah mulai membangun citra sendiri, kadang dengan mengkritisi kepala daerah demi menaikkan popularitas. Rivalitas ini memperkeruh hubungan kerja.

5. Minim Mekanisme Penyelesaian

Tidak ada mekanisme formal yang kuat untuk menyelesaikan konflik kepala daerah dan wakilnya. Dalam sistem pemerintahan daerah, wakil hanya memiliki kewenangan jika mendapat pendelegasian langsung. Tanpa keharmonisan, wakil rentan sekadar menjadi “ban serep”.

6. Pentingnya Etika Politik

Banyak pasangan kepala daerah diusung hanya karena hitungan elektabilitas, tanpa kesamaan visi atau chemistry. Setelah terpilih, ego, perbedaan karakter, dan kepentingan pribadi mulai muncul. Idealnya, sejak awal ada pembagian peran, komunikasi yang jelas, dan komitmen bersama membangun daerah.(alk)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/