METROTODAY, SURABAYA – Ratusan dokter, dosen, dan mahasiswa kedokteran dari berbagai institusi pendidikan di Surabaya menggelar aksi demo di Kampus A Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair) pada Selasa (20/5).
Mereka menyuarakan satu tuntutan: hentikan intervensi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terhadap pendidikan dan profesi kedokteran.
Aksi yang digagas oleh koalisi Arek Kedokteran Suroboyo yang merupakan gabungan dari FK se-Surabaya ini digelar tepat di Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) pada 20 Mei.
Hal ini sebagai simbolik dari semangat perjuangan untuk mempertahankan independensi profesi dokter di tengah dinamika regulasi baru yang dinilai kontroversial. Dimana Kemenkes dinilai telah bertindak berlebihan dalam tata kelola pendidikan dan profesi kedokteran.
“Kami Bukan Bawahan, Kami Mitra” bunyi slogan yang mereka suarakan dalam aksi tersebut.
Sekretaris Jenderal Ikatan Alumni FK Unair, dr. Bambang Wicaksono, menyebut aksi ini sebagai bentuk kegelisahan kolektif terhadap Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Menurutnya, sejumlah kebijakan turunan UU tersebut cenderung meminggirkan prinsip-prinsip otonomi akademik dan profesionalisme dokter.
“Sebagai akademisi dan praktisi, kami merasa terpanggil untuk bersuara demi martabat profesi, mutu pendidikan kedokteran, dan keberlanjutan sistem kesehatan nasional yang sehat,” tegas dr. Bambang di sela aksi.
Ia pun menyoroti enam persoalan krusial yang menurutnya menggambarkan pola intervensi berlebihan dari Kemenkes di bawah Menteri Budi Gunadi Sadikin. Antara lain:
- Intervensi berlebihan Kemenkes yang melampaui kewenangan regulatif.
- Mutasi sepihak tenaga kesehatan, termasuk dokter pendidik.
- Pembekuan sepihak proses pendidikan spesialis di RS Pendidikan tanpa transparansi evaluasi.
- Pengambilalihan wewenang kolegium dokter oleh pemerintah.
- Pernyataan publik dari pejabat Kemenkes yang merendahkan profesi dokter.
- Lemahnya ruang dialog dalam penyusunan kebijakan.
“Selama setahun terakhir, kami menyaksikan kebijakan dan tindakan Kemenkes yang otoriter dan tidak dialogis,” ungkap dr. Bambang.
“Pertanyaan mendasarnya bukan hanya tentang posisi administratif kolegium, tetapi tentang intervensi sistematis terhadap otonomi profesi kedokteran yang telah dibangun selama puluhan tahun,” paparnya.
Guru Besar FK Unair, dr. Pujo Hartono, turut menyuarakan keprihatinan. Menurutnya, otonomi profesi bukanlah keistimewaan, melainkan fondasi penting yang menjamin standar pendidikan dan keselamatan pasien.
Kolegium kedokteran harus tetap independen untuk menjamin objektivitas standar pendidikan.
“Pendekatan otoriter terhadap sistem pendidikan dan profesi akan menghancurkan kepercayaan publik, melemahkan kompetensi, dan pada akhirnya membahayakan pasien,” kata dr. Pujo.
Ia juga menekankan bahwa UU No. 17/2023 telah menimbulkan ketidakharmonisan regulasi yang berimbas langsung pada kepastian hukum dan tata kelola pendidikan kedokteran.
Dalam pernyataan sikapnya, Arek Kedokteran Suroboyo menegaskan penolakan terhadap rencana pengambilalihan kolegium oleh Kemenkes.
Mereka mendesak pemerintah membuka ruang dialog yang setara dan membangun kolaborasi antar pemangku kepentingan, bukan dominasi satu pihak.
“Indonesia butuh sistem kesehatan yang kuat, dan itu tidak akan tercapai jika fondasinya dibangun di atas intervensi sepihak. Kami akan terus bersuara, demi generasi dokter yang merdeka, bermartabat, dan profesional,” tutup dr. Bambang.
Aksi ini menjadi alarm serius bagi pemerintah dimana suara dokter tidak bisa diabaikan begitu saja. (*)