20 December 2025, 7:41 AM WIB

Refleksi Akhir Tahun LBH AP PDM Sidoarjo: Lingkungan Tidak Dijaga, Dalam 10-20 Tahun Banjir Jadi Permanen

METROTODAY, SIDOARJO – Ajakan pertaubatan ekologi kepada warga terus dilakukan menyusul maraknya bencana yang terjadi akhir-akhir ini. Tak terkecuali seruan yang digaungkan oleh Lembaga Bantuan Hukum Advokasi Publik (LBH AP) Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Sidoarjo.

Dalam refleksi akhir tahun yang berlangsung di lantai tiga gedung PDM Sidoarjo tersebut, dibahas tema khusus ekologi, yakni Sidoarjo di Ambang Krisis Lingkungan.

Acara yang diikuti para pengurus Muhammadiyah dari berbagai cabang di Sidoarjo tersebut menghadirkan tiga pembicara.

Mereka adalah Dr Tahegga Primananda Al Fath dan Dr Rifqi Ridho Phahlevy. Keduanya adalah akademisi dan praktisi hukum lingkungan di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Hadir pula Aziz, Direktur Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN).

Tahegga mengungkapkan bahwa sejatinya aturan hukum di Sidoarjo sudah lengkap untuk melindungi lingkungan. “Keberpihakan kepada lingkungan secara aturan cukup jelas. Tinggal mewujudkan keberpihakan lingkungan secara praktik,” katanya.

Visi dan misi kepala daerah juga menunjukkan bahwa mereka akan menjaga lingkungan dengan baik. “Sekarang tinggal pelaksanannya seperti apa. Tidak boleh hanya baik dalam kata-kata. Tapi juga tindakan,” kata Tahegga yang juga menjadi pegiat di LBH AP PDM Sidoarjo.

Sebagai gambaran, lanjut dia, jumlah genangan air di Sidoarjo setelah hujan makin bertambah banyak. Bahkan, hujan tidak lebih dari tiga jam, banyak genangan yang muncul di permukiman. Di sisi lain, surutnya air membutuhkan waktu yang lama.

“Tapi genangan di Sidoarjo tidak lekas hilang. Maka, wajar kalau disebut sebagai genangan kronis atau sebut saja banjir,” terangnya.

Hal tersebut, menurut dia, wujud kondisi pembangunan yang tidak diimbangi pembangunan lingkungan.

“Belum lagi kita bicara degradasi mangrove dan perubahan tambak menjadi permukiman, banyak hal yang harus menjadi perenungan bersama” katanya.

Data terakhir menunjukkan dalam waktu cepat, sekitar 2.000 hektare lahan tambak sudah menjadi permukiman. Artinya lahan terbuka hijau menjadi lahan tutupan. Kondisi itu banyak terjadi di wilayah timur Sidoarjo.

“Jika itu tidak diimbangi dengan perhatian dan pembangunan lingkungan, maka risiko-risiko sementara yang terjadi akan menjadi risiko permanen dalam 10-20 tahun ke depan,” ucap alumnus Universitas Airlangga itu.

Aziz dari BRUIN menambahkan bahwa selain kondisi yang disebutkan Tahegga, ada ancaman lain yang menghadang warga Sidoarjo.

Di antaranya adalah terkontaminasinya air tanah dan air permukaan Sidoarjo dengan kandungan mikro plastik. Hal ini terjadi karena pencemaran plastik ke lingkungan Sidoarjo sudah melebihi ambang batas. “Padahal, air tersebut menjadi konsumsi banyak warga,” ungkapnya.

Belum lagi udara yang tercemari mikro plastik. Hal ini terjadi karena banyak industri yang membakar plastik untuk pemrosesan tahu. “Pemerintah memang turun tangan dengan cepat, tapi seminggu kemudian sudah tidak ada lagi pemantauan,” terangnya.

Rifqi mengatakan banyak lahan pertanian di Sidoarjo yang kini menjadi perumahan. Sehingga komposisi ruang terbuka hijau dengan permukiman tidak berimbang. Padahal, UU mengamanatkan bahwa minimal 30 persen area perkotaan harus berupa ruang terbuka hijau.

“Nah, banyak warga yang memaknai bahwa ruang terbuka hijau bentuknya taman-taman kota. Padahal, daya serap air hujan di taman-taman tersebut sangat minim,” terangnya.

Dampaknya, air hujan tidak bisa meresap ke dalam tanah. “Sedangkan, saluran-saluran air kita penuh dengan sampah,” terangnya.

Karenanya, ia mengajak semua warga Sidoarjo untuk merenung dan kembali berintrospeksi untuk menjaga lingkungan. Tidak untuk sekarang saja, tapi untuk kehidupan selanjutnya yang harus terus bergulir. “Kalau mau rusak rusakan, nggak susah kok. Tapi, banyak orang yang akhirnya sengsara,” jelasnya. (git/mt)

METROTODAY, SIDOARJO – Ajakan pertaubatan ekologi kepada warga terus dilakukan menyusul maraknya bencana yang terjadi akhir-akhir ini. Tak terkecuali seruan yang digaungkan oleh Lembaga Bantuan Hukum Advokasi Publik (LBH AP) Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Sidoarjo.

Dalam refleksi akhir tahun yang berlangsung di lantai tiga gedung PDM Sidoarjo tersebut, dibahas tema khusus ekologi, yakni Sidoarjo di Ambang Krisis Lingkungan.

Acara yang diikuti para pengurus Muhammadiyah dari berbagai cabang di Sidoarjo tersebut menghadirkan tiga pembicara.

Mereka adalah Dr Tahegga Primananda Al Fath dan Dr Rifqi Ridho Phahlevy. Keduanya adalah akademisi dan praktisi hukum lingkungan di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Hadir pula Aziz, Direktur Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN).

Tahegga mengungkapkan bahwa sejatinya aturan hukum di Sidoarjo sudah lengkap untuk melindungi lingkungan. “Keberpihakan kepada lingkungan secara aturan cukup jelas. Tinggal mewujudkan keberpihakan lingkungan secara praktik,” katanya.

Visi dan misi kepala daerah juga menunjukkan bahwa mereka akan menjaga lingkungan dengan baik. “Sekarang tinggal pelaksanannya seperti apa. Tidak boleh hanya baik dalam kata-kata. Tapi juga tindakan,” kata Tahegga yang juga menjadi pegiat di LBH AP PDM Sidoarjo.

Sebagai gambaran, lanjut dia, jumlah genangan air di Sidoarjo setelah hujan makin bertambah banyak. Bahkan, hujan tidak lebih dari tiga jam, banyak genangan yang muncul di permukiman. Di sisi lain, surutnya air membutuhkan waktu yang lama.

“Tapi genangan di Sidoarjo tidak lekas hilang. Maka, wajar kalau disebut sebagai genangan kronis atau sebut saja banjir,” terangnya.

Hal tersebut, menurut dia, wujud kondisi pembangunan yang tidak diimbangi pembangunan lingkungan.

“Belum lagi kita bicara degradasi mangrove dan perubahan tambak menjadi permukiman, banyak hal yang harus menjadi perenungan bersama” katanya.

Data terakhir menunjukkan dalam waktu cepat, sekitar 2.000 hektare lahan tambak sudah menjadi permukiman. Artinya lahan terbuka hijau menjadi lahan tutupan. Kondisi itu banyak terjadi di wilayah timur Sidoarjo.

“Jika itu tidak diimbangi dengan perhatian dan pembangunan lingkungan, maka risiko-risiko sementara yang terjadi akan menjadi risiko permanen dalam 10-20 tahun ke depan,” ucap alumnus Universitas Airlangga itu.

Aziz dari BRUIN menambahkan bahwa selain kondisi yang disebutkan Tahegga, ada ancaman lain yang menghadang warga Sidoarjo.

Di antaranya adalah terkontaminasinya air tanah dan air permukaan Sidoarjo dengan kandungan mikro plastik. Hal ini terjadi karena pencemaran plastik ke lingkungan Sidoarjo sudah melebihi ambang batas. “Padahal, air tersebut menjadi konsumsi banyak warga,” ungkapnya.

Belum lagi udara yang tercemari mikro plastik. Hal ini terjadi karena banyak industri yang membakar plastik untuk pemrosesan tahu. “Pemerintah memang turun tangan dengan cepat, tapi seminggu kemudian sudah tidak ada lagi pemantauan,” terangnya.

Rifqi mengatakan banyak lahan pertanian di Sidoarjo yang kini menjadi perumahan. Sehingga komposisi ruang terbuka hijau dengan permukiman tidak berimbang. Padahal, UU mengamanatkan bahwa minimal 30 persen area perkotaan harus berupa ruang terbuka hijau.

“Nah, banyak warga yang memaknai bahwa ruang terbuka hijau bentuknya taman-taman kota. Padahal, daya serap air hujan di taman-taman tersebut sangat minim,” terangnya.

Dampaknya, air hujan tidak bisa meresap ke dalam tanah. “Sedangkan, saluran-saluran air kita penuh dengan sampah,” terangnya.

Karenanya, ia mengajak semua warga Sidoarjo untuk merenung dan kembali berintrospeksi untuk menjaga lingkungan. Tidak untuk sekarang saja, tapi untuk kehidupan selanjutnya yang harus terus bergulir. “Kalau mau rusak rusakan, nggak susah kok. Tapi, banyak orang yang akhirnya sengsara,” jelasnya. (git/mt)

Artikel Terkait

Pilihan Editor

Pilihan Editor

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait