METROTODAY, SIDOARJO – Di tengah pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI) yang mampu menerjemahkan ratusan bahasa secara instan, muncul pertanyaan penting di dunia pendidikan dan kerja: apakah belajar bahasa asing masih relevan di tahun 2025?
Teknologi penerjemah otomatis kini bukan lagi hal futuristik. Dalam genggaman ponsel, laptop, hingga perangkat konferensi internasional, AI mampu menerjemahkan percakapan real-time dari bahasa Inggris ke Mandarin, Jepang, bahkan Indonesia dengan tingkat akurasi yang terus meningkat.
Namun para ahli menegaskan, kemampuan bahasa manusia tetap tak tergantikan, terutama dalam konteks budaya dan komunikasi emosional.
Teknologi Penerjemah AI Semakin Realistis
Aplikasi seperti Google Translate, DeepL, hingga perusahaan teknologi Tiongkok iFLYTEK kini memimpin tren penerjemahan otomatis global. iFLYTEK bahkan telah merilis perangkat penerjemah portabel yang mampu menerjemahkan lebih dari 60 bahasa secara simultan dalam konferensi internasional.
Akurasi penerjemahan AI kini mencapai lebih dari 90 persen, terutama dalam teks teknis dan akademik. Namun, dalam konteks komunikasi sosial, idiom, dan ekspresi budaya, AI masih sering melakukan kesalahan interpretasi.
“AI tidak sepenuhnya memahami makna di balik kata,” kata Eka Herdiana Susanto, dosen dan pembicara pelatihan penerjemahan di Institut Teknologi Bandung (ITB).
“AI hanyalah alat, bukan pengganti penerjemah. Manusia tetap dibutuhkan untuk menjadi penghubung makna sesuai budaya, karena manusia mampu memahami konteks dan memberikan nuansa yang tepat,” kata Eka Herdiana.
Kemajuan AI penerjemah membawa dilema di dunia pendidikan dan profesional bahasa. Di satu sisi, teknologi ini menawarkan efisiensi luar biasa. Di sisi lain, ia menantang paradigma lama tentang pentingnya menguasai bahasa asing secara manual.
Isu ini kini menjadi perhatian lembaga pendidikan dan penelitian, termasuk Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan beberapa universitas besar seperti ITB, UI, dan UGM.
Mereka tengah mengembangkan pendekatan baru yang disebut AI-Assisted Language Learning (AALL) sistem pembelajaran bahasa yang memadukan kemampuan AI dengan interaksi manusia.
AALL memungkinkan pelajar berlatih berbicara dengan AI, menerima koreksi tata bahasa otomatis, dan memperoleh umpan balik real-time.
Namun, peran pengajar tetap sentral untuk menjembatani makna budaya dan konteks sosial yang tidak bisa diterjemahkan secara mekanis.
“Dengan dukungan AI, data bukan hanya sekadar angka, tetapi bisa ditransformasikan menjadi pengetahuan yang bermanfaat untuk pengambilan keputusan yang berdampak langsung pada masyarakat dan industri,” kata Esa Perkasa, Kepala Pusat Riset Data dan Informasi BRIN.
AI dan Tantangan Komunikasi Antarbudaya
Tantangan utama bukan lagi sekadar bagaimana menerjemahkan bahasa, melainkan bagaimana mempertahankan makna dan empati di balik kata-kata. AI mampu mengubah kalimat, tetapi belum mampu membaca ekspresi, nada, atau nilai budaya yang tersirat.
Menurut pengamat teknologi bahasa dari Universitas Indonesia, banyak kesalahan penerjemahan AI muncul karena model bahasa tidak memahami konteks sosial dan emosional dari penutur.
“AI bisa menerjemahkan kata ‘I’m sorry’ menjadi ‘saya minta maaf’, tapi tidak memahami kapan maaf itu bermakna tulus, formal, atau sekadar basa-basi,” jelasnya dalam seminar AI and Language Future yang digelar bulan lalu.
Itulah mengapa kemampuan bahasa manusia tetap penting dalam diplomasi, bisnis lintas negara, maupun riset kolaboratif internasional. Komunikasi antarbudaya tidak bisa hanya diserahkan pada mesin.
Kebijakan Baru dan Tren Akademik
Pemerintah dan lembaga pendidikan kini mulai menyesuaikan arah kurikulum. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendorong agar pembelajaran bahasa tidak hanya berfokus pada grammar dan vocabulary, tetapi juga pada literasi AI dan komunikasi lintas budaya.
Beberapa universitas di Indonesia bahkan telah memasukkan modul AI literacy for translators dalam mata kuliah linguistik terapan.
ITB misalnya, melakukan riset tentang efektivitas kolaborasi manusia-AI dalam proyek penerjemahan jurnal ilmiah.
Hasil awal menunjukkan efisiensi waktu meningkat hingga 40%, tetapi hasil terbaik tetap diperoleh ketika manusia melakukan post-editing atas hasil terjemahan mesin.
Fenomena ini menegaskan bahwa belajar bahasa di era AI bukan lagi sekadar menghafal kosakata. Ia telah berevolusi menjadi proses memahami cara berpikir dan berbudaya bangsa lain. AI bisa membantu menerjemahkan kata, tetapi hanya manusia yang mampu menafsirkan makna.
Kecanggihan AI penerjemah memang telah mengubah cara manusia berkomunikasi. Namun, belajar bahasa asing tetap relevan bahkan semakin penting karena dunia kini menuntut kemampuan berpikir lintas budaya, empati komunikasi, dan kecerdasan kontekstual.
Bahasa bukan hanya tentang berbicara, tetapi tentang memahami. Dan di era AI, manusia harus belajar bersama mesin, bukan melawannya. (amelia/red)

