METROTODAY, SIDOARJO – Tidak sedikit kasus malpraktik medis yang muncul akibat miskomunikasi, bukan semata kelalaian dokter.
Hal ini disampaikan Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (FK Umsida), Dr. dr. Dzulqarnain Andira, MH., dalam wawancara di Gedung FK Umsida, Selasa (2/9/2025) lalu.
Ia menekankan bahwa transparansi informasi adalah benteng utama bagi dokter untuk menjaga kepercayaan pasien sekaligus melindungi profesinya.
Menurutnya, persoalan malpraktik yang sering disebut masyarakat dalam bahasa hukum lebih tepat disebut sebagai kelalaian medis.
Penyebabnya kerap terjadi karena komunikasi yang kurang terbangun dengan baik sejak awal.
Dokter dituntut untuk menyampaikan kondisi kesehatan pasien secara lengkap, mulai dari hasil pemeriksaan, rencana terapi, hingga kemungkinan efek samping yang bisa terjadi.
“Kalau sudah dijelaskan semua di awal dengan baik, jelas, transparan, pasien memahami dan menyetujui, maka nantinya tidak ada tuntutan yang timbul dari pihak pasien,” jelasnya.
Dengan komunikasi yang jujur sejak awal, dokter dan pasien dapat membangun kesepahaman, sehingga risiko sengketa bisa ditekan seminimal mungkin.
Tahapan Hukum dalam Penanganan Sengketa Medis
Meskipun pencegahan menjadi langkah utama, Dr. Dzulqarnain tidak menutup kemungkinan bahwa tuntutan medis tetap dapat terjadi.
Jika hal itu terjadi, ia menegaskan bahwa proses penyelesaian tidak serta-merta langsung ditangani kepolisian. Ada prosedur berjenjang yang harus dilalui terlebih dahulu.
Salah satunya melalui komite etik atau Majelis Disiplin Profesi (MDP). Lembaga ini bertugas menyelidiki apakah benar terdapat kelalaian medis dalam tindakan seorang dokter.
“Kalau terbukti ada kelalaian, maka harus dipertanggungjawabkan. Namun bila tidak terbukti, dokter tidak boleh dilanjutkan proses hukumnya,” tegasnya.
Penegasan ini menunjukkan bahwa profesi kedokteran memiliki mekanisme perlindungan dan klarifikasi yang jelas.
Dengan adanya tahap investigasi dari lembaga profesi, proses hukum dapat berjalan lebih adil, baik bagi pasien maupun dokter.
Hal ini juga memberikan kepastian bahwa tuduhan malpraktik tidak serta-merta berujung pada pidana tanpa bukti kuat.
Menjaga Integritas Profesi Kedokteran
Selain komunikasi dan mekanisme hukum, Dr. Dzulqarnain menekankan pentingnya kepatuhan dokter terhadap standar operasional prosedur (SOP) dalam praktik kedokteran.
Tindakan medis yang dilakukan harus selalu sesuai dengan disiplin ilmu, etika profesi, serta aturan yang berlaku di fasilitas kesehatan.
“Strateginya tentu dari pihak dokter adalah pembuktian. Dokter harus meyakinkan bahwa dirinya tidak melakukan kelalaian,” ungkapnya.
Jika seorang dokter sudah menjalankan praktik sesuai aturan, maka ia tidak perlu khawatir menghadapi tuntutan. Namun, jika benar terjadi kelalaian, maka hal tersebut harus dipertanggungjawabkan secara hukum.
Ia juga mengingatkan bahwa sanksi pidana bagi kelalaian medis telah diatur dalam undang-undang kesehatan maupun hukum pidana terbaru.
Oleh karena itu, setiap dokter perlu memahami konsekuensi hukum sekaligus menjaga integritas profesinya.
Melalui wawancara ini, Dr. Dzulqarnain menegaskan bahwa keseimbangan antara komunikasi efektif, kepatuhan terhadap standar profesi, dan integritas pribadi adalah kunci utama dalam mencegah sengketa medis.
Dengan menjaga tiga hal tersebut, dokter dapat melindungi dirinya sekaligus memberikan pelayanan terbaik bagi pasien. (*)

