METROTODAY, SURABAYA – Bagaimana tantangan pengawasan hakim yang dilakukan Komisi Yudisial (KY) dalam menjaga integritas hakim dan lembaga peradilan di Indonesia kembali diulas. Yang menarik, acara yang berlangsung di Brilliant Coklat Kopi Surabaya tersebut diarahkan untuk anak muda alias Gen Z.
Kegiatan tersebut tidak hanya melihat tugas KY dari perspektif ketatanegaraan. Tetapi, juga melihat peran KY dari perspektif media pers dan tugas advokat.
Berbeda dari biasanya yang bertempat di hotel, Kantor Penghubung KY Jatim mendesain acara itu secara berbeda. Mereka mengadakannya di kafe yang estetik. Audiensnya juga anak muda dari berbagai kampus. Harapannya, isu pengawasan peradilan bisa menjadi isu yang diperbincangkan di kalangan mereka.
Seminar yang diadakan secara lesehan dengan hidangan ala kafe tersebut menghadirkan tiga pemateri, yakni Anggit Satriyo Nugroho, SH., MKn., yang merupakan founder dari MetroToday sekaligus praktisi hukum media; Dr Hananto Widodo SH MH yang juga akademisi Unesa; dan Direktur LBH Surabaya Habibus Shalihin.
Anggit menerangkan bahwa pengawasan peradilan harus tetap diobrolkan. Sebab, setiap hari begitu banyak pencari keadilan yang beradu nasib. Karena itu, peradilan harus senantiasa akuntabel dan transparan.
Menurut Anggit, pers memiliki peranan penting. Namun, hari-hari ini pers menghadapi tantangan dalam era digitalisasi. “Hanya proses persidangan yang memiliki nilai sensasionalitas saja yang diliput. Yang lain bisa bisa luput dari pengamatan,” ujar Anggit yang pernah menjadi jurnalis di sebuah media massa nasional itu.
Proses tersebut berlangsung bila proses peradilan itu melibatkan tokoh atau artis. Hal ini dikarenakan media digital mengejar algoritma agar berita yang diliput bisa viral. Padahal, di sisi lain, pers sebagai pengawas eksternal punya tanggung jawab lebih besar untuk mengawasi peradilan secara umum “Jadi, persidangan yang sekiranya tidak memungkinkan viral menjadi tidak diamati pers. Padahal, bisa jadi di balik persidangan yang biasa biasa tadi tersimpan persoalan integritas yang lebih rumit,” katanya.
Misalnya saja proses persidangan di pengadilan niaga dengan kasus yang njelimet dan proses yang panjang. “Tentu pers tidak bisa maksimal untuk memelototi,” jelasnya.
Anggit menjelaskan, persidangan yang berlangsung hingga malam hari juga membuat wartawan tidak optimal bekerja. Sebab, wartawan juga memiliki jam kerja dan deadline di kantornya yang harus dipatuhi.
Mayapada Hospital Surabaya Catat Sejarah Operasi Lutut Robotik Pertama di Indonesia Timur
Anggit yang juga akademisi di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo itu menerangkan bahwa agar proses pengawasan integritas hakim dan peradilan akuntabel, maka pers dan KY harus bergandengan erat dan menjadi mitra strategis. “Misalnya, KY dan pers bertukar informasi terkait dugaan pelanggaran hakim. Sehingga pers bisa melakukan investigative reporting,” katanya.
Bentuk kemitraan strategis itu juga bisa berwujud KY menyediakan ruang pers yang memadai. Sehingga, para wartawan bisa sering-sering mencari informasi di KY.
Seminar juga menghadirkan Dr. Hananto Widodo, SH., MH., akademisi dari Universitas Negeri Surabaya. Dia membahas fungsi penghubung KY di daerah. Hananto menjelaskan bahwa hakim diberikan kemerdekaan dalam menjalankan tugasnya, sedangkan Komisi Yudisial berfungsi untuk memantau agar mereka tetap bekerja secara profesional. Selain itu, KY juga memiliki tugas untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Salah satunya melalui seminar edukasi seperti yang digelar kali ini.
Habibus Shalihin, direktur LBH Surabaya, turut berbagi pengalamannya mengenai peran KY dalam menjaga integritas hakim. Habibus menyoroti bahwa salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah tugas berat hakim.
“Saya menceritakan sedikit tentang yang saya temukan dari LBH yang menunjukkan bagaimana seorang hakim bisa memeriksa hingga 56 perkara dalam satu hari,” ujar Habibus.
Ia juga mengungkapkan bahwa beberapa hakim terpaksa bekerja hingga larut malam atau subuh, seperti yang ia alami saat pemantauan di bulan Ramadan.
Pada sesi tanya jawab, Dizar Al Farizi, SH., MH., koordinator Penghubung Komisi Yudisial Wilayah Jawa Timur, menanggapi pertanyaan dari Salawati Taher, seorang advokat dan dosen di Fakultas Hukum Universitas Surabaya (UBAYA). Salawati menanyakan mengenai kurang tertatanya program MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka). Salawati berharap bahwa MBKM bisa diarahkan untuk mengawasi jalannya peradilan.
Dizar mengatakan, Kantor Penghubung Komisi Yudisial turut meninjau dan berusaha untuk memastikan keberhasilan program-program yang sedang berjalan agar dapat lebih tertata dan lebih efektif di masa depan. “Semuanya kami arahkan demi terciptanya peradilan yang bersih,” jelasnya. (mg/red)