Tempat pengungsian bagi perempuan perlu yang representatif untuk perlindungan selama di pengungsian. (Foto: istimewa)
METROTODAY, SURABAYA – Saat ini Indonesia dilanda serangkaian musibah bencana yang memaksa masyarakat tinggal di pengungsian sementara. Seharusnya menjadi tempat perlindungan, pengungsian nyatanya menyimpan berbagai risiko bagi perempuan, yang menjadi kelompok paling rentan menghadapi berbagai permasalahan.
Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) Universitas Airlangga (Unair) Prof. Myrtati Dyah Artaria, menegaskan bahwa bencana kerap menciptakan ruang yang tidak aman bagi perempuan akibat kombinasi norma sosial, ketimpangan kekuasaan, dan faktor biologis.
“Salah satu masalah utama adalah lemahnya struktur perlindungan sosial. Dalam banyak masyarakat, perempuan dianggap pihak yang harus dilindungi, tapi ketika bencana terjadi, setiap orang fokus pada penyelamatan diri masing-masing. Dalam kondisi perlindungan yang longgar, terdapat peluang untuk beberapa oknum yang memanfaatkannya,” jelasnya Kamis (11/12).
Prof. Myrta, yang juga Guru Besar Antropologi Unair, menambahkan bahwa perubahan lingkungan sosial tiba-tiba seperti ketika perempuan yang biasanya berada di ruang privat dipaksa bercampur dengan banyak orang di satu tempat dapat memicu situasi rawan.
“Hal seperti ini sangat bergantung pada budaya masyarakat mengenai bagaimana perempuan diperlakukan,” katanya.
Fenomena yang paling kerap menjadi sorotan adalah kekerasan berbasis gender (KBG), yaitu tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap seseorang berdasarkan jenis kelamin atau identitas gender, yang dapat menyebabkan kerugian fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman dan pembatasan kebebasan.
Meskipun dapat menimpa siapa saja, KBG sebagian besar memengaruhi perempuan dan anak perempuan, dengan akar pada ketidaksetaraan gender, penyalahgunaan kekuasaan, dan norma sosial yang merugikan.
“Risiko KBG juga dapat terjadi karena fisiologi laki-laki dan perempuan berbeda dorongan agresif lebih besar pada laki-laki karena faktor hormonal. Tapi penyebab terbesar tetap pada faktor sosial, seperti budaya patriarki, ketidaksetaraan gender, rendahnya pendidikan, dan penyalahgunaan kekuasaan,” tegasnya.
Selain KBG, tekanan psikologis akibat kehilangan rumah, harta, atau anggota keluarga juga memengaruhi perempuan pengungsi. Prof. Myrta menilai bahwa pendekatan empatik adalah kunci dalam memberikan pendampingan.
“Mereka yang membantu harus bisa menempatkan diri pada posisi para pengungsi. Prioritasnya adalah memenuhi kebutuhan paling mendesak, lalu kebutuhan spesifik lainnya,” ujarnya.
Untuk membuat pengungsian aman dan ramah perempuan, Prof. Myrta menegaskan pentingnya pemenuhan kebutuhan spesifik mereka, termasuk memastikan keamanan, privasi, dan martabat sesuai norma yang mereka pegang.
“Selain itu, perlu penyediaan perlengkapan kebersihan yang memadai, akses ke layanan kesehatan termasuk kesehatan reproduksi dan psikologis, serta mekanisme pelaporan insiden kekerasan yang aman dan rahasia,” pungkasnya. (ahm)
Tiga stand warung semi permanen di Jalan Pawiyatan, Surabaya tepatnya belakang Aspol, terbakar, Sabtu (13/12)…
DALAM sebuah momen yang berlangsung sederhana namun sarat makna, di ruang yang hangat dan penuh kekeluargaan,…
Raperda tentang hunian yang layak, yang mencakup kebijakan perencanaan, pengelolaan, tata ruang, dan keberlanjutan hunian…
PWI Pusat menerbitkan tiga Surat Edaran (SE) untuk seluruh anggota se-Indonesia, yakni SE tentang Rangkap…
Masyarakat dihebohkan dengan video viral aksi pencopetan di Stasiun Surabaya Gubeng Lama, beberapa waktu lalu.…
Tim gabungan Universitas Airlangga (Unair) yang terdiri dari Fakultas Kedokteran, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Keperawatan,…
This website uses cookies.