METROTODAY, SURABAYA – Menteri Agama (Menag) Republik Indonesia, Nasaruddin Umar menekankan pentingnya penguatan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) saat menghadiri Bimbingan Teknis (Bimtek) Peningkatan Kompetensi Pengawas Madrasah, Kepala Madrasah Aliyah (MA), dan Wakil Kepala Kurikulum MA yang diselenggarakan oleh Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Timur di Surabaya.
Sebagai penggagas KBC, Nasaruddin menjelaskan secara mendalam konsep, arah kebijakan, dan landasan filosofis kurikulum yang kini mulai diterapkan di berbagai madrasah.
Ia menegaskan pentingnya membangun pendidikan madrasah yang berorientasi pada pembentukan generasi masa depan yang komprehensif, dengan menanamkan ajaran agama melalui pendekatan cinta sebagai fondasi pembelajaran dan pembentukan akhlak.
“Madrasah, memiliki paket pembelajaran yang lebih lengkap. Secara epistemologi, sekolah mempelajari alam fisik, sementara madrasah mempelajari fisika sekaligus metafisika, yaitu alam syahadat dan alam ghaib,” tutur Nasaruddin, Kamis (27/11).
Nasaruddin juga menjelaskan perbedaan antara madrasah dan sekolah umum dalam nomenklatur pendidikan.
“Berbeda dengan madrasah. Pembelajaran di madrasah tidak hanya mempelajari logika tetapi juga intuisi. Ada pengetahuan yang dapat dijangkau oleh akal, namun ada pula pengetahuan yang hanya dipahami melalui kedalaman spiritual,” terangnya.
Ia menggambarkan madrasah sebagai bengkel spiritual yang mengajarkan ilmu langit, dimulai dari pembersihan batin sebelum proses ta’lim.
Menurutnya, guru madrasah idealnya memulai aktivitas dengan doa, mengajar dengan penuh doa, dan menutup pembelajaran dengan doa pula.
“Madrasah menjadi tempat untuk mencari keberkahan Allah, sehingga ukuran keberhasilannya tidak hanya pada capaian akademik sebagaimana di sekolah umum. Di sekolah umum, ukuran keberhasilan adalah nilai dan orientasinya dunia, di madrasah, ukurannya adalah sikap (attitude) dengan orientasi dunia sekaligus akhirat,” tegasnya.
Dari sisi ontologi, ia menjelaskan bahwa madrasah memiliki ukuran formal dan usuli yang berpuncak pada ilmul yaqin, sementara pesantren memiliki ukuran nonformal hingga mencapai ‘ainul yaqin.
Ia mengajak seluruh pendidik untuk aktif berpikir, kritis, dan peka membaca tanda-tanda zaman di era post-truth.
“Cinta sebagai pusat Kurikulum Berbasis Cinta adalah buah dari proses panjang yang terkait dengan konsep ekoteologi, kesadaran akan hubungan manusia sebagai mikrokosmos dengan alam semesta,” jelasnya.
Mantan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta ini juga menekankan bahwa guru madrasah bukan hanya berperan sebagai personal teacher, tetapi juga pembimbing spiritual yang harus menghadirkan jiwa dan karakter seorang guru madrasah dalam setiap proses pembelajaran.
“Harapannya semua memahami dan menerapkan nilai-nilai KBC di madrasah masing-masing,” harapnya.
Sementara itu, Kakanwil Kemenag Provinsi Jawa Timur, Akhmad Sruji Bahtiar, berharap peserta mampu mengimplementasikan prinsip-prinsip KBC di madrasah masing-masing.
Sehingga, pembelajaran tidak hanya berfokus pada aspek akademik, tetapi juga pada pembentukan karakter, spiritualitas, dan nilai-nilai kemanusiaan.
“Komitmennya dalam menghadirkan madrasah unggul yang berbasis cinta dan akhlak mulia sebagai kontribusi nyata bagi pembangunan pendidikan nasional,” pungkasnya. (ahm)

