20 August 2025, 17:54 PM WIB

Kenaikan PBB dan Krisis Keadilan Pajak

OLEH: Musonif Afandi, Direktur Eksekutif Actual Research Survey

LONJAKAN Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di berbagai daerah beberapa waktu terakhir memantik kegaduhan publik.

Di Jombang, ada warga yang pajaknya melonjak hingga 1.202 persen. Di Pati, keputusan menaikkan PBB sampai 250 persen berujung pada demonstrasi besar warga setempat yang berujung pada pembatalan kenaikan.

Di Cirebon, muncul klaim kenaikan PBB hingga 1.000 persen meski kemudian dibantah. Di Bone, isu kenaikan PBB sebesar 300 persen bahkan diklarifikasi sebagai hoaks.

Rangkaian peristiwa ini menandai satu hal penting yakni kebijakan fiskal daerah tengah berhadapan langsung dengan batas kesabaran warga.

Kenaikan PBB-P2 bukan kasus tunggal. Maraknya kenaikan pajak daerah hingga mendapat penolakan warga menjadi fenomena nasional.

Tekanan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) mendorong pemerintah daerah mengandalkan PBB dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagai dua mesin penerimaan utama pendapatan.

Kota Tangerang, misalnya, mencatat target gabungan PBB-P2 dan BPHTB sebesar Rp1,3 triliun pada 2024. Sementara realisasi 2023 sekitar Rp1,1 triliun. Angka-angka ini menunjukkan betapa strategisnya pajak properti bagi kas daerah.

Namun, strategi fiskal yang mengandalkan kenaikan pajak agresif tanpa desain transisi yang adil berisiko memantik resistensi sosial.

Konteks ekonomi pun memperbesar sensitivitas, yakni daya beli masyarakat belum pulih sepenuhnya, harga barang pokok naik, dan sosialisasi kebijakan sering minim dan terlambat.

Tidak heran jika warga merasa terkejut, bahkan dikhianati, ketika menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dengan nominal berlipat ganda tanpa penjelasan memadai.

Legalitas tanpa Legitimasi

Secara hukum, kenaikan PBB-P2 sah. Tetapi dalam teori kebijakan publik, legalitas bukanlah jaminan legitimasi.

Pajak akan dipatuhi bila warga percaya pemerintah menggunakannya dengan adil, transparan, dan akuntabel.

Inilah esensi kontrak sosial dalam fiskal, yakni warga rela membayar karena yakin manfaatnya kembali ke publik. Tapi begitu rasa keadilan retak, kepatuhan melemah dan biaya sosial meningkat.

Prinsip keadilan pajak mencakup dimensi horizontal, yakni warga dengan kemampuan sama membayar setara. Juga vertikal, yakni warga lebih mampu akan membayar lebih besar.

Lonjakan mendadak akibat pembaruan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atau zona nilai tanah (ZNT) yang tertunda bertahun-tahun memang bisa dibenarkan secara teknis mengikuti harga pasar.

Namun tanpa jeda transisi dan kompensasi, beban jatuh tak proporsional pada rumah tangga berpenghasilan tetap. Prinsip keadilan vertikal pun tercederai.

Riset kebijakan menunjukkan, warga cenderung menerima keputusan sulit bila dilibatkan dalam proses. Mekanisme musyawarah publik, forum RT/RW, hingga rapat terbuka DPRD seharusnya menjadi saluran deliberasi sebelum kebijakan fiskal diberlakukan. Sayangnya, di banyak daerah, ruang ini absen.

Kasus Pati menjadi pelajaran penting. Lonjakan PBB yang diputuskan tanpa dialog berujung pada demonstrasi besar dan bentrokan antara warga dan aparat.

Sementara itu, di Cirebon, isu kenaikan ekstrem segera direspons dengan bantahan resmi. Di Bone, pemerintah daerah cepat mengklarifikasi isu hoaks kenaikan 300 persen.

Dua kasus terakhir menunjukkan pentingnya komunikasi fiskal yang jelas, berbasis data, dan tidak defensif. Tanpa komunikasi yang kredibel, rumor akan mengalahkan fakta.

Meracik Ulang Desain PBB

Diperlukan terobosan dalam mengelola PBB-P2. Pertama, penahapan. Bila pembaruan NJOP/ZNT tertunda lama, penyesuaian harus dilakukan bertahap dalam horizon multi-tahun, misalnya tiga tahun.

Kedua, filter keadilan. Pemerintah daerah dapat memberikan pembebasan atau tarif rendah untuk objek dengan NJOP kecil, kelompok lansia, pensiunan, maupun rumah tinggal sederhana.

Bahkan, penerapan batas kenaikan maksimal tahunan dapat melindungi warga dari kejutan pajak.

Ketiga, mekanisme keberatan yang mudah. Digitalisasi seperti e-SPPT, integrasi dengan peta geospasial, dan kanal banding yang transparan akan membuat warga tidak merasa sendirian menghadapi mesin fiskal.

Keempat, dibukanya komunikasi fiskal. Setiap perubahan tarif perlu diumumkan dengan bahasa populer, alasan, data simulasi, kelompok terdampak, dan skema mitigasi.

Kelima, adanya akuntabilitas politik. DPRD harus menjalankan fungsi pengawasan secara terbuka, bukan sekadar menyetujui rancangan peraturan daerah demi mengejar target anggaran.

Kebutuhan dana pembangunan daerah memang nyata, tetapi cara mencapainya tidak boleh mengorbankan kepercayaan publik.

Ketergantungan berlebihan pada PBB-P2 dan BPHTB menjadikan fiskal daerah rapuh dan politik lokal rawan.

Diversifikasi sumber PAD, optimalisasi pajak berbasis layanan, hingga kemitraan pembiayaan kreatif perlu digarap lebih serius.

Di saat yang sama, kebocoran pajak harus ditutup. Sinkronisasi data dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN), pemutakhiran peta bidang digital, dan penggunaan teknologi geo-tagging akan memastikan objek pajak besar benar-benar membayar sesuai nilai sebenarnya.

Inilah bentuk keadilan substantif: yang memiliki aset besar menanggung lebih, bukan sebaliknya.

Pelajaran dari Jombang dan Pati

Dua kasus ini merepresentasikan wajah lain dari krisis fiskal daerah. Jombang menunjukkan bagaimana lonjakan tajam menimbulkan protes, bahkan warga sampai membayar dengan uang koin sebagai simbol kekecewaan.

Pati menegaskan resiko politik dari kebijakan yang abai pada prosedur, demonstrasi besar, bentrokan, dan akhirnya pembatalan kebijakan. Biaya kepercayaan yang hilang jauh lebih mahal daripada tambahan PAD.

Pada akhirnya, pajak adalah bahasa kepercayaan. Warga membayar bukan semata karena kewajiban, tetapi karena percaya pemerintah mengelolanya untuk kesejahteraan bersama.

Bila proses dilandasi transparansi, partisipasi, dan keadilan, maka pajak akan dipandang sebagai bentuk kontribusi pembangunan dan bukan beban.

Krisis saat ini bukan sekadar soal tarif, melainkan soal kepercayaan. Taruhannya adalah legitimasi pemerintah daerah.

Mengelola pajak berarti menjaga legitimasi. Tanpa itu, angka PAD hanya akan menjadi statistik dingin di atas kertas, sementara suhu sosial-politik terus memanas di lapangan. (*)

OLEH: Musonif Afandi, Direktur Eksekutif Actual Research Survey

LONJAKAN Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di berbagai daerah beberapa waktu terakhir memantik kegaduhan publik.

Di Jombang, ada warga yang pajaknya melonjak hingga 1.202 persen. Di Pati, keputusan menaikkan PBB sampai 250 persen berujung pada demonstrasi besar warga setempat yang berujung pada pembatalan kenaikan.

Di Cirebon, muncul klaim kenaikan PBB hingga 1.000 persen meski kemudian dibantah. Di Bone, isu kenaikan PBB sebesar 300 persen bahkan diklarifikasi sebagai hoaks.

Rangkaian peristiwa ini menandai satu hal penting yakni kebijakan fiskal daerah tengah berhadapan langsung dengan batas kesabaran warga.

Kenaikan PBB-P2 bukan kasus tunggal. Maraknya kenaikan pajak daerah hingga mendapat penolakan warga menjadi fenomena nasional.

Tekanan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) mendorong pemerintah daerah mengandalkan PBB dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagai dua mesin penerimaan utama pendapatan.

Kota Tangerang, misalnya, mencatat target gabungan PBB-P2 dan BPHTB sebesar Rp1,3 triliun pada 2024. Sementara realisasi 2023 sekitar Rp1,1 triliun. Angka-angka ini menunjukkan betapa strategisnya pajak properti bagi kas daerah.

Namun, strategi fiskal yang mengandalkan kenaikan pajak agresif tanpa desain transisi yang adil berisiko memantik resistensi sosial.

Konteks ekonomi pun memperbesar sensitivitas, yakni daya beli masyarakat belum pulih sepenuhnya, harga barang pokok naik, dan sosialisasi kebijakan sering minim dan terlambat.

Tidak heran jika warga merasa terkejut, bahkan dikhianati, ketika menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dengan nominal berlipat ganda tanpa penjelasan memadai.

Legalitas tanpa Legitimasi

Secara hukum, kenaikan PBB-P2 sah. Tetapi dalam teori kebijakan publik, legalitas bukanlah jaminan legitimasi.

Pajak akan dipatuhi bila warga percaya pemerintah menggunakannya dengan adil, transparan, dan akuntabel.

Inilah esensi kontrak sosial dalam fiskal, yakni warga rela membayar karena yakin manfaatnya kembali ke publik. Tapi begitu rasa keadilan retak, kepatuhan melemah dan biaya sosial meningkat.

Prinsip keadilan pajak mencakup dimensi horizontal, yakni warga dengan kemampuan sama membayar setara. Juga vertikal, yakni warga lebih mampu akan membayar lebih besar.

Lonjakan mendadak akibat pembaruan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atau zona nilai tanah (ZNT) yang tertunda bertahun-tahun memang bisa dibenarkan secara teknis mengikuti harga pasar.

Namun tanpa jeda transisi dan kompensasi, beban jatuh tak proporsional pada rumah tangga berpenghasilan tetap. Prinsip keadilan vertikal pun tercederai.

Riset kebijakan menunjukkan, warga cenderung menerima keputusan sulit bila dilibatkan dalam proses. Mekanisme musyawarah publik, forum RT/RW, hingga rapat terbuka DPRD seharusnya menjadi saluran deliberasi sebelum kebijakan fiskal diberlakukan. Sayangnya, di banyak daerah, ruang ini absen.

Kasus Pati menjadi pelajaran penting. Lonjakan PBB yang diputuskan tanpa dialog berujung pada demonstrasi besar dan bentrokan antara warga dan aparat.

Sementara itu, di Cirebon, isu kenaikan ekstrem segera direspons dengan bantahan resmi. Di Bone, pemerintah daerah cepat mengklarifikasi isu hoaks kenaikan 300 persen.

Dua kasus terakhir menunjukkan pentingnya komunikasi fiskal yang jelas, berbasis data, dan tidak defensif. Tanpa komunikasi yang kredibel, rumor akan mengalahkan fakta.

Meracik Ulang Desain PBB

Diperlukan terobosan dalam mengelola PBB-P2. Pertama, penahapan. Bila pembaruan NJOP/ZNT tertunda lama, penyesuaian harus dilakukan bertahap dalam horizon multi-tahun, misalnya tiga tahun.

Kedua, filter keadilan. Pemerintah daerah dapat memberikan pembebasan atau tarif rendah untuk objek dengan NJOP kecil, kelompok lansia, pensiunan, maupun rumah tinggal sederhana.

Bahkan, penerapan batas kenaikan maksimal tahunan dapat melindungi warga dari kejutan pajak.

Ketiga, mekanisme keberatan yang mudah. Digitalisasi seperti e-SPPT, integrasi dengan peta geospasial, dan kanal banding yang transparan akan membuat warga tidak merasa sendirian menghadapi mesin fiskal.

Keempat, dibukanya komunikasi fiskal. Setiap perubahan tarif perlu diumumkan dengan bahasa populer, alasan, data simulasi, kelompok terdampak, dan skema mitigasi.

Kelima, adanya akuntabilitas politik. DPRD harus menjalankan fungsi pengawasan secara terbuka, bukan sekadar menyetujui rancangan peraturan daerah demi mengejar target anggaran.

Kebutuhan dana pembangunan daerah memang nyata, tetapi cara mencapainya tidak boleh mengorbankan kepercayaan publik.

Ketergantungan berlebihan pada PBB-P2 dan BPHTB menjadikan fiskal daerah rapuh dan politik lokal rawan.

Diversifikasi sumber PAD, optimalisasi pajak berbasis layanan, hingga kemitraan pembiayaan kreatif perlu digarap lebih serius.

Di saat yang sama, kebocoran pajak harus ditutup. Sinkronisasi data dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN), pemutakhiran peta bidang digital, dan penggunaan teknologi geo-tagging akan memastikan objek pajak besar benar-benar membayar sesuai nilai sebenarnya.

Inilah bentuk keadilan substantif: yang memiliki aset besar menanggung lebih, bukan sebaliknya.

Pelajaran dari Jombang dan Pati

Dua kasus ini merepresentasikan wajah lain dari krisis fiskal daerah. Jombang menunjukkan bagaimana lonjakan tajam menimbulkan protes, bahkan warga sampai membayar dengan uang koin sebagai simbol kekecewaan.

Pati menegaskan resiko politik dari kebijakan yang abai pada prosedur, demonstrasi besar, bentrokan, dan akhirnya pembatalan kebijakan. Biaya kepercayaan yang hilang jauh lebih mahal daripada tambahan PAD.

Pada akhirnya, pajak adalah bahasa kepercayaan. Warga membayar bukan semata karena kewajiban, tetapi karena percaya pemerintah mengelolanya untuk kesejahteraan bersama.

Bila proses dilandasi transparansi, partisipasi, dan keadilan, maka pajak akan dipandang sebagai bentuk kontribusi pembangunan dan bukan beban.

Krisis saat ini bukan sekadar soal tarif, melainkan soal kepercayaan. Taruhannya adalah legitimasi pemerintah daerah.

Mengelola pajak berarti menjaga legitimasi. Tanpa itu, angka PAD hanya akan menjadi statistik dingin di atas kertas, sementara suhu sosial-politik terus memanas di lapangan. (*)

Artikel Terkait

Pilihan Editor

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/