METROTODAY, PROBOLINGGO – Lautan Pasir Bromo kembali bergema dengan lantunan musik tradisional dan tarian sakral dalam Eksotika Bromo Festival 2025.
Festival budaya tahunan yang telah memasuki tahun kedelapan ini, berlangsung selama dua hari, 21-22 Juni, menyajikan perpaduan spektakuler antara seni tradisi, keindahan alam, dan spiritualitas masyarakat Tengger.
Lebih dari sekadar festival, Eksotika Bromo 2025 menjadi bukti harmoni antara manusia, alam, dan nilai-nilai leluhur.
Digagas oleh komunitas JatiSwara, festival tahun ini menandai sebuah kemitraan yang semakin kuat dengan Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS).
“Tahun ini, TNBTS tidak hanya mendukung, tetapi juga ikut menjadi penyelenggara bersama JatiSwara,” ungkap pembina komunitas JatiSwara, Heri Lentho, Sabtu (21/6).
Kolaborasi ini semakin memperkuat komitmen pelestarian lingkungan. Sebagai bentuk kepedulian terhadap alam, setiap pengunjung diwajibkan membawa satu bibit pohon yang nantinya akan ditanam di lereng Bromo pada musim hujan.
Inisiatif ini menjadi bagian penting dari upaya penghijauan yang melibatkan TNBTS, JatiSwara, dan masyarakat sekitar.
“Yang membuat acara ini berbeda tahun ini adalah keterlibatan TNBTS sebagai penyelenggara. Semua yang datang diharapkan mendonasikan pohon, sebagai simbol pentingnya menjaga bumi. Hal ini yang akan gambarkan dalam sebuah tarian pohon,” jelasnya.
Eksotika Bromo 2025 menampilkan beragam kesenian dari berbagai penjuru Indonesia. Dari denting gamelan Jawa yang mengalun merdu hingga irama campursari yang menghentak, serta perkusi tradisional dari berbagai daerah, semuanya berpadu menciptakan suasana magis di tengah hamparan pasir Bromo.
Salah satu daya tarik utama tahun ini adalah Festival Perkusi Jawa Timuran, yang menampilkan berbagai alat musik pukul tradisional dari seluruh penjuru Jawa Timur.
Musik Tong Tong dari Madura dan perkusi khas Tengger turut memeriahkan acara, menyajikan musik asli Suku Tengger yang sarat makna spiritual.
“Musik perkusif khas Tengger membawa pesan mendalam tentang hubungan manusia dengan alam dan leluhur,” jelas Heri.
Mengusung tema “Ruwat Rawat Segoro Gunung,” festival ini mengajak masyarakat untuk merenungkan pentingnya menjaga keseimbangan alam dan melestarikan warisan budaya. “Ruwat” dimaknai sebagai pembersihan energi negatif, sementara “Rawat” sebagai simbol pengabdian untuk melestarikan warisan leluhur.
Heri Lentho, yang telah terlibat sejak tahun 2010 dalam mendampingi upacara adat Kasada.
“Sejak 2010 saya mendampingi upacara adat Kasada yang didalamnya ada sendratari. Dari situ saya mencoba memberikan warna baru, memadukan kebudayaan dengan keindahan alam Bromo. Bromo sebagai destinasi wisata yang indah perlu diberikan sentuhan kebudayaan dan upacara adatnya untuk memperkuat nilai-nilai yang dimiliki Suku Tengger,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan tantangan penyelenggaraan festival ini yakni membutuhkan konsistensi dan kolaborasi. Apalagi ia menyebut Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan menjadikan Eksotika Bromo sebagai event rutin selama tiga tahun.
“Kendala penyelenggaraan selama ini membutuhkan konsistensi dan kolaborasi,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Heri menyebutkan bahwa sekitar 40 kelompok sanggar dengan 600 peserta terlibat dalam festival ini, menampilkan sekitar 25 tarian. Acara yang berlangsung hingga sore hari ini menarik minat wisatawan domestik maupun mancanegara.
“Antusiasme masyarakat luar biasa, bahkan ada wisatawan mancanegara,” ujarnya.
Acara yang berlangsung dua hari ini juga diikuti peserta dari berbagai daerah, seperti Jambi, Padang, dan Bali. “Eksotika Bromo 2025 menjadi bukti nyata bagaimana budaya dan alam dapat bersatu, menciptakan sebuah perayaan yang memukau dan bermakna,” pungkasnya. (ahm)