MEROTODAY, SURABAYA – Siapa yang masih ingat dengan kisah-kisah fairytale klasik? Kisah fairytale klasik biasanya menyajikan akhir bahagia bagi putri cantik dan pangeran tampan.
Namun kini, muncul sebuah sudut pandang yang lebih pahit. Film The Ugly Stepsister adalah sebuah karya yang mindblowing, dimana kita diajak untuk menyelami sisi gelap dari obsesi terhadap kecantikan dan standar masyarakat yang tidak ada habisnya.
Film yang sudah tayang di bioskop Indonesia mulai 28 Mei 2025 itu mengisahkan Elvira (Lea Myren), gadis yang dianggap “jelek”, dibandingkan saudari tirinya, Agnes (Thea Sofie Loch Naess).
Ibu tirinya, Rebekka (Ane Dahl Torp), menikahi pria kaya yang langsung meninggal di malam pertama pernikahan namun tanpa meninggalkan warisan.
Untuk mempertahankan status sosial, Rebekka pun mendorong Elvira memikat Pangeran Julian dengan segala cara.
Elvira akhirnya menjalani serangkaian tindakan yang mengerikan. Hidungnya harus dihancurkan dan dibentuk ulang, bulu mata dijahit melekat secara brutal, ia bahkan harus menelan cacing pita untuk menurunkan berat badan.
Alih-alih menjadi murni, semua proses itu malah menjadikan tubuhnya medan pertempuran.
Saat malam pesta tiba, rambutnya justru rontok, perutnya kumat, dan akhirnya, ketika sepatu kaca siap dicoba, Elvira pun melukai jari demi bisa memakainya. Namun hasilnya tetap gagal.

Film ini mengambil inspirasi dari kisah Cinderella, namun memutarbalikkan perspektifnya. Fokus utama bukanlah pada si ‘peran utama’ alias Cinderella yang anggun dan cantik, melainkan pada salah satu saudari tirinya yang sering disebut “jelek”.
Namun, sebutan “jelek” di sini bukan berarti cacat fisik yang kasat mata, melainkan label yang dilekatkan oleh masyarakat karena ia tidak memiliki paras secantik Cinderella, atau tidak mengikuti tren kecantikan yang berlaku.
Film ini dengan cerdik menunjukkan bahwa kecantikan adalah konstruksi sosial yang dinamis dan seringkali tidak adil.
Film ini mengajak mengikuti perjalanan karakter utama yang setiap hari berjuang untuk memenuhi standar kecantikan yang mustahil.
The Ugly Stepsister merespons obsesi sosial terhadap kecantikan dengan ekstrem. Film ini adalah body horror parable tentang standar kecantikan, kebencian terhadap diri, dan sejauh mana seorang remaja akan melangkah demi memenuhi ekspektasi sosial.
Kesan horornya nyata, dengan kamera menyorot dekat saat jarum jahit, cacar, dan cacing pita muncul menghadirkan perih yang tak hanya visual, tapi psikologis bagi yang melihatnya.
Secara visual, film ini memanjakan mata sekaligus memancing rasa jijik. Set desain dan kostum yang terlihat mewah dengan berlapis kain ruffles bersandingan dengan adegan yang disturbing.
Seolah seperti paradoks antara semarak visual yang disandingkan dengan adegan mutilasi tubuh yang ekstrem. The Guardian menyindir bahwa kemewahan visual justru membuat adegan kontroversial terasa lebih intens karena kontrasnya.
Nada film ini seolah terdengar antara sinis dan satir, yang dibalut komedi gelap. Beberapa adegan seperti memasang bulu mata lewat jahitan brutal memberikan efek konyol-grotes yang membuat penonton tertawa ngeri.
Dengan cara inilah, Blichfeldt mengajak menonton untuk tidak sekadar merasa jijik, tapi juga merenung tentang absurdnya standar kecantikan.
Di balik adegan yang gore, terselip pesan suara perempuan yang lelah ditekan. Elvira bukanlah sosok jahat, melainkan ia adalah korban dari sistem.
Horor film ini justru adalah refleksi atas patriarki yang membuat perempuan kehilangan kendali atas tubuh mereka.
Salah satu poin paling krusial yang diangkat oleh The Ugly Stepsister adalah dampak psikologis dari obsesi terhadap kecantikan. Karakter utama terperangkap dalam lingkaran setan, semakin ia berusaha memenuhi standar, semakin ia merasa tidak cukup. Rasa rendah diri, kecemasan, dan bahkan depresi menjadi teman sehari-hari.
Ia terus-menerus membandingkan dirinya dengan orang lain, terutama dengan Cinderella yang selalu dipuja karena kecantikannya yang alami. Perbandingan ini memicu rasa iri yang bukan berasal dari kejahatan, melainkan dari penderitaan.
Meskipun mengangkat isu yang berat, film ini tidak lantas menjadi tontonan yang hanya dark saja.
Di balik penderitaan karakter utama, terdapat pesan yang kuat tentang pentingnya menerima diri sendiri.
Perlahan, karakter utama mulai menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari validasi eksternal atau dari memenuhi standar kecantikan yang kejam.
Dengan narasi yang jujur dan menyentuh, film ini mengajarkan bahwa untuk jadi cantik sesuai standar sosial adalah sebuah penderitaan yang harus diakhiri.
Karena kecantikan sejati justru terletak pada penerimaan diri dan keberanian untuk merayakan keunikan masing-masing. (alk)