25.6 C
Surabaya
23 May 2025, 18:18 PM WIB

Kajian Fenomena Film Ipar adalah Maut: Refleksi Kebiasaan Konsumsi Konten Medsos di Tengah Masyarakat

METROTODAY, SURABAYA – Film Ipar adalah Maut menjadi satu dari banyak film Indonesia yang diangkat melalui kisah viral di media sosial. Hal ini adalah bukti bahwa audiens Indonesia menjadikan hal yang viral di media sosial sebagai faktor pemilihan tontonan mereka di bioskop.

Menurut pakar komunikasi dari Universitas Airlangga (Unair), Angga Prawadika, dengan viralnya suatu cerita di media sosial, hal ini akhirnya dimanfaatkan pula oleh industri film untuk mengantongi animo penonton.

“Para pembuat film mencari jalan yang termudah. Karena itu memastikan adanya animo masyarakat yang lebih bisa diprediksi daripada kemudian membuat film-film yang lebih risky dari sudut pandang materi,” ungkap Angga, Selasa (20/5).

Ia juga menyebut mengangkat film dari cerita viral pada dasarnya bukan sesuatu yang baru. Melainkan telah sering terjadi terutama pada film horor Indonesia.

“Mereka berupaya mendapat validitas dari kisah-kisah horor yang ada di keseharian itu. Kemudian mereka lihat juga wujudnya di dalam film,” imbuhnya.

Dalam hal ini, pengalaman personal audiens menjadi sangat penting untuk terlibat dalam jalan cerita sebuah film. Terutama cerita-cerita yang berlatar belakang tragedi.

Ini tercermin dari munculnya film-film dari kisah nyata yang mengandung musibah seperti kisah Vina, korban tabrak lari yang difilmkan.

Angga juga menyinggung satu sifat yang cenderung melekat pada masyarakat Indonesia, yaitu gemar membicarakan tragedi orang lain.

“Itu akhirnya menjadi gosip yang dikonsumsi bersama. Akhirnya ketika itu muncul di film itu ada semacam kesenangan,” paparnya.

Pola pembuatan film seperti ini suatu saat akan menemui titik jenuh oleh audiens Indonesia. Namun, sejatinya tidak akan pernah benar-benar hilang dari sinema Indonesia.

Menurut Angga, kini animo masyarakat terhadap sinema sangat berkembang. Animo ini yang sedikit banyak juga menentukan arah pasar pada industri film Indonesia.

Maka dari itu, Angga berharap agar literasi sinema masyarakat Indonesia turut meningkat. Hal ini bertujuan agar sinema Indonesia juga lebih berani menampilkan sesuatu yang berbeda.

“Saya berharap audiens Indonesia menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih daripada ini. Nonton horor itu nggak cuma ini tok, nonton film soal cinta nggak cuma ini tok. Sehingga dapat menjadi pendorong film-film berkualitas yang punya sesuatu berbeda itu bisa lebih diterima di masyarakat,” pungkasnya. (*)

METROTODAY, SURABAYA – Film Ipar adalah Maut menjadi satu dari banyak film Indonesia yang diangkat melalui kisah viral di media sosial. Hal ini adalah bukti bahwa audiens Indonesia menjadikan hal yang viral di media sosial sebagai faktor pemilihan tontonan mereka di bioskop.

Menurut pakar komunikasi dari Universitas Airlangga (Unair), Angga Prawadika, dengan viralnya suatu cerita di media sosial, hal ini akhirnya dimanfaatkan pula oleh industri film untuk mengantongi animo penonton.

“Para pembuat film mencari jalan yang termudah. Karena itu memastikan adanya animo masyarakat yang lebih bisa diprediksi daripada kemudian membuat film-film yang lebih risky dari sudut pandang materi,” ungkap Angga, Selasa (20/5).

Ia juga menyebut mengangkat film dari cerita viral pada dasarnya bukan sesuatu yang baru. Melainkan telah sering terjadi terutama pada film horor Indonesia.

“Mereka berupaya mendapat validitas dari kisah-kisah horor yang ada di keseharian itu. Kemudian mereka lihat juga wujudnya di dalam film,” imbuhnya.

Dalam hal ini, pengalaman personal audiens menjadi sangat penting untuk terlibat dalam jalan cerita sebuah film. Terutama cerita-cerita yang berlatar belakang tragedi.

Ini tercermin dari munculnya film-film dari kisah nyata yang mengandung musibah seperti kisah Vina, korban tabrak lari yang difilmkan.

Angga juga menyinggung satu sifat yang cenderung melekat pada masyarakat Indonesia, yaitu gemar membicarakan tragedi orang lain.

“Itu akhirnya menjadi gosip yang dikonsumsi bersama. Akhirnya ketika itu muncul di film itu ada semacam kesenangan,” paparnya.

Pola pembuatan film seperti ini suatu saat akan menemui titik jenuh oleh audiens Indonesia. Namun, sejatinya tidak akan pernah benar-benar hilang dari sinema Indonesia.

Menurut Angga, kini animo masyarakat terhadap sinema sangat berkembang. Animo ini yang sedikit banyak juga menentukan arah pasar pada industri film Indonesia.

Maka dari itu, Angga berharap agar literasi sinema masyarakat Indonesia turut meningkat. Hal ini bertujuan agar sinema Indonesia juga lebih berani menampilkan sesuatu yang berbeda.

“Saya berharap audiens Indonesia menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih daripada ini. Nonton horor itu nggak cuma ini tok, nonton film soal cinta nggak cuma ini tok. Sehingga dapat menjadi pendorong film-film berkualitas yang punya sesuatu berbeda itu bisa lebih diterima di masyarakat,” pungkasnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/