28 C
Surabaya
3 July 2025, 22:03 PM WIB

Pengamat Unair Soal Krisis Gizi di Gaza: Kegagalan Dunia Lindungi Hak Dasar Anak

METROTODAY, SURABAYA – Konflik berkepanjangan di Gaza telah memicu krisis gizi akut pada anak-anak. Sebuah fakta yang menyoroti kegagalan dunia dalam melindungi hak-hak dasar mereka.

Hal ini ditegaskan oleh Septa Indra Puspikawati, dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat, Departemen Gizi FIKKIA Universitas Airlangga (Unair).

“Ketika satu anak di Gaza kelaparan, dunia tidak hanya gagal memberi makan, tetapi juga gagal menjadi manusia,” tegas Septa, Kamis (3/7).

Ia menjelaskan bahwa kekurangan gizi akut tidak hanya mengancam nyawa anak-anak secara langsung, tetapi juga berdampak permanen pada pertumbuhan dan perkembangan mereka.

“Risiko infeksi, kelelahan kronis, keterlambatan pertumbuhan, kerusakan otak, gangguan perkembangan mental, hingga stunting menjadi ancaman nyata,” tuturnya.

Septa menambahkan bahwa konflik telah melumpuhkan sistem penunjang kehidupan anak-anak di Gaza.

“Banyak ibu tidak bisa memberikan ASI eksklusif karena tekanan mental dan kurangnya asupan makanan. Bahkan jika makanan tersedia, kandungan gizinya seringkali tidak mencukupi,” jelasnya.

Situasi ini, menurut Septa, merupakan kegagalan kolektif dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 2 (Zero Hunger), SDG 3 (Good Health and Well-being), dan SDG 16 (Peace, Justice, and Strong Institutions).

Gaza menjadi bukti nyata bahwa dunia belum berhasil menghapus kelaparan dan menciptakan lingkungan yang aman bagi tumbuh kembang anak.

Septa mengajak Indonesia, sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan mendukung SDGs, untuk tidak tinggal diam.

“Netralitas dalam konteks kemanusiaan adalah bentuk keheningan yang membiarkan kekejaman terus terjadi. Gizi bukan hanya tentang makanan, tetapi tentang keadilan, hak hidup, dan martabat manusia,” tegasnya.

Ia menyerukan aksi nyata dari seluruh elemen masyarakat, mulai dari menyebarkan informasi, berdonasi, hingga mendorong aksi solidaritas dan advokasi kemanusiaan.

“Sejarah akan mencatat, apakah kita memilih diam atau berdiri bersama mereka,” pungkasnya. (ahm)

METROTODAY, SURABAYA – Konflik berkepanjangan di Gaza telah memicu krisis gizi akut pada anak-anak. Sebuah fakta yang menyoroti kegagalan dunia dalam melindungi hak-hak dasar mereka.

Hal ini ditegaskan oleh Septa Indra Puspikawati, dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat, Departemen Gizi FIKKIA Universitas Airlangga (Unair).

“Ketika satu anak di Gaza kelaparan, dunia tidak hanya gagal memberi makan, tetapi juga gagal menjadi manusia,” tegas Septa, Kamis (3/7).

Ia menjelaskan bahwa kekurangan gizi akut tidak hanya mengancam nyawa anak-anak secara langsung, tetapi juga berdampak permanen pada pertumbuhan dan perkembangan mereka.

“Risiko infeksi, kelelahan kronis, keterlambatan pertumbuhan, kerusakan otak, gangguan perkembangan mental, hingga stunting menjadi ancaman nyata,” tuturnya.

Septa menambahkan bahwa konflik telah melumpuhkan sistem penunjang kehidupan anak-anak di Gaza.

“Banyak ibu tidak bisa memberikan ASI eksklusif karena tekanan mental dan kurangnya asupan makanan. Bahkan jika makanan tersedia, kandungan gizinya seringkali tidak mencukupi,” jelasnya.

Situasi ini, menurut Septa, merupakan kegagalan kolektif dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 2 (Zero Hunger), SDG 3 (Good Health and Well-being), dan SDG 16 (Peace, Justice, and Strong Institutions).

Gaza menjadi bukti nyata bahwa dunia belum berhasil menghapus kelaparan dan menciptakan lingkungan yang aman bagi tumbuh kembang anak.

Septa mengajak Indonesia, sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan mendukung SDGs, untuk tidak tinggal diam.

“Netralitas dalam konteks kemanusiaan adalah bentuk keheningan yang membiarkan kekejaman terus terjadi. Gizi bukan hanya tentang makanan, tetapi tentang keadilan, hak hidup, dan martabat manusia,” tegasnya.

Ia menyerukan aksi nyata dari seluruh elemen masyarakat, mulai dari menyebarkan informasi, berdonasi, hingga mendorong aksi solidaritas dan advokasi kemanusiaan.

“Sejarah akan mencatat, apakah kita memilih diam atau berdiri bersama mereka,” pungkasnya. (ahm)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/