METROTODAY, SURABAYA – Pemerintah Amerika Serikat pada Rabu (18/6) mengumumkan akan kembali membuka proses penerbitan visa bagi mahasiswa internasional di kedutaan besar AS di seluruh dunia.
Kabar ini tentu menjadi angin segar bagi ribuan calon mahasiswa yang menantikan kesempatan belajar di Negeri Paman Sam yang sempat terhenti karena kebijakan Presiden Donald Trump.
Namun, ada satu perubahan signifikan yang perlu diperhatikan bagi calon pelamar. Yakni semua pemohon kini wajib membuka akses akun media sosial mereka sebagai bagian dari proses pengecekan dan penyaringan konten medsos yang lebih ketat.
Kebijakan baru ini diterapkan setelah sebelumnya pemerintahan Presiden Donald Trump menghentikan sementara wawancara visa pada Mei lalu untuk pemohon visa kategori “F” (mahasiswa akademik), “M” (mahasiswa kejuruan), dan “J” (pertukaran budaya). Penghentian ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan calon mahasiswa dan institusi pendidikan AS.
Departemen Luar Negeri AS dalam siaran persnya menyatakan, “Berdasarkan panduan baru, kami akan melakukan pemeriksaan menyeluruh, termasuk memantau jejak digital dan keberadaan daring para pemohon visa mahasiswa dan pertukaran pelajar.”
Ini berarti riwayat dan aktivitas di media sosial akan menjadi salah satu faktor penentu dalam proses aplikasi visa.
Surat kabar The Washington Post melaporkan bahwa calon mahasiswa akan diseleksi untuk mengidentifikasi “sikap bermusuhan terhadap warga negara, budaya, pemerintahan, institusi, atau prinsip-prinsip dasar Amerika Serikat.”
Hal ini mengacu pada isi kawat diplomatik yang dikirimkan ke berbagai kedutaan dan layanan konsuler AS.
Meskipun kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan keamanan nasional, The Washington Post juga menyebutkan bahwa kawat diplomatik tersebut mengakui bahwa kebijakan baru ini akan menambah beban kerja bagi staf kedutaan dan konsuler.
Oleh karena itu, ada kemungkinan akan diperlukan pengurangan jumlah wawancara visa.
Langkah pengetatan ini bukan hal baru. Pemerintahan Trump memang telah memperketat standar penerimaan mahasiswa internasional. Alasan di balik kebijakan ini adalah adanya dugaan tindakan antisemitisme dalam demonstrasi mahasiswa yang memprotes tindakan militer Israel di Jalur Gaza.
Pemerintah AS secara khusus menyoroti Universitas Harvard, yang dianggap gagal menghentikan aksi demonstrasi mahasiswa. Sebagai respons, pemerintah menekan kampus tersebut dengan cara membekukan subsidi dan menangguhkan kelayakan institusi itu untuk menerima mahasiswa internasional.
Dengan dibukanya kembali proses visa pelajar dan diberlakukannya pemeriksaan media sosial, calon mahasiswa internasional kini dihadapkan pada persyaratan yang lebih ketat.
Mereka harus memastikan jejak digitalnya mencerminkan tujuan akademik yang positif dan tidak ada konten yang dapat diinterpretasikan sebagai permusuhan terhadap AS atau prinsip-prinsipnya. (red)