METROTODAY, SURABAYA – Diplomasi tidak lagi terbatas pada perundingan formal atau pertemuan antarnegara di ranah politik saja. Kini, pendekatan yang disebut sebagai diplomasi kuliner atau food diplomacy semakin banyak digencarkan.
Melalui santapan khas negara, suatu bangsa tidak hanya menyajikan kekayaan rasa, tetapi juga identitas, warisan budaya, hingga pesan kerjasama atau damai kepada dunia.
Diplomasi kuliner adalah strategi memperkenalkan kebudayaan suatu negara melalui makanan. Makanan di sini berperan sebagai medium komunikasi, promosi, dan pembangunan hubungan antarnegara.
Konsep ini tergolong dalam kekuatan lunak (soft power), yaitu kemampuan suatu negara untuk memengaruhi pihak lain tanpa paksaan, melainkan melalui daya tarik budaya, nilai-nilai, dan tradisi yang dimilikinya.
Menurut Paul Rockower, seorang ahli dalam bidang gastrodiplomasi, makanan dapat menjadi “gerbang pembuka” untuk memahami budaya dan memperkuat ikatan antarmasyarakat (people-to-people diplomacy).
Ketika sebuah negara menyuguhkan kuliner khasnya kepada dunia, hal itu bukan sekadar memperkenalkan produk, tetapi juga mempromosikan budaya dan jati diri bangsa tersebut.
Beberapa negara telah berhasil memanfaatkan makanan sebagai instrumen diplomasi yang efektif:
• Thailand: Melalui inisiatif “Global Thai”, pemerintah Thailand mendukung pendirian lebih dari 15.000 restoran Thailand di berbagai belahan dunia. Dukungan ini mencakup pelatihan, perizinan, hingga bantuan modal bagi para pengusaha kuliner Thailand di luar negeri.
• Korea Selatan: Seiring dengan popularitas global K-pop dan K-drama, makanan Korea seperti kimchi, tteokbokki, dan bulgogi turut dikenal luas. Pemerintah Korea Selatan aktif menyelenggarakan festival makanan di negara-negara sahabat untuk semakin memperkenalkan kuliner mereka.
• Prancis dan Italia: Kedua negara ini, yang terkenal dengan masakan haute cuisine dan pasta-nya, memanfaatkan warisan kuliner mereka sebagai sarana utama untuk mempromosikan pariwisata dan kekayaan budaya.
Tak boleh kalah dengan negara lain, Indonesia juga harus unggul dalam food diplomacy.
Sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau dan 1.300 kelompok etnis, Indonesia tentunya menyimpan kekayaan kuliner yang luar biasa.
Mulai dari rendang yang pernah dinobatkan sebagai makanan terenak di dunia, hingga soto, sate, dan nasi goreng yang sudah akrab di lidah internasional, potensi diplomasi kuliner Indonesia sangat besar.
Meskipun demikian, dibandingkan dengan negara-negara seperti Thailand atau Korea Selatan, diplomasi kuliner Indonesia masih memiliki ruang untuk pengembangan lebih lanjut.
Namun, berbagai inisiatif telah mulai dijalankan seperti:
1. Diplomasi Rendang: Rendang tidak hanya milik Minangkabau, tetapi telah menjadi ikon kuliner nasional. Para Duta Besar Indonesia di berbagai negara kerap menyajikan rendang dalam jamuan diplomatik. Bahkan, rendang menjadi salah satu hidangan istimewa saat KTT G20 di Bali tahun 2022, menunjukkan posisinya sebagai representasi kuliner Indonesia.
2. Festival Kuliner Nusantara: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) serta Kementerian Luar Negeri (Kemlu) sering kali mengadakan festival kuliner Indonesia di luar negeri, seperti “Indonesian Food Festival” di Berlin, Tokyo, atau Amsterdam.
Acara-acara ini, yang umumnya digelar di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) atau pusat budaya, menjadi wadah efektif untuk memperkenalkan makanan dan budaya Indonesia.
3. Promosi Melalui UMKM Diaspora: Banyak warga negara Indonesia (WNI) yang secara mandiri membuka restoran Indonesia di luar negeri. Kehadiran restoran-restoran seperti “Waroeng Windsor” di Inggris, berfungsi sebagai duta kuliner informal yang memperkenalkan cita rasa Nusantara ke lidah internasional, berperan besar dalam memperluas jangkauan kuliner Indonesia.
4. Kolaborasi Koki dan Diplomasi Gastronomi: Beberapa koki profesional Indonesia, seperti William Wongso atau Petty Elliott, juga aktif berperan dalam mempromosikan kuliner Indonesia di panggung global. Kolaborasi mereka dengan koki-koki dunia menciptakan dialog budaya yang kuat melalui perpaduan cita rasa, mengangkat posisi kuliner Indonesia di mata internasional.
Mengapa diplomasi kuliner menjadi begitu penting?
Tentunya diplomasi kuliner ini tidak hanya berfungsi sebagai pengenalan makanan saja, tapi mempunya fungsi yang lebih dari itu, seperti:
1. Membentuk Citra Positif Negara: Makanan memiliki kekuatan untuk membentuk persepsi yang positif tentang suatu bangsa. Citra “ramah” dan “bersahabat” dapat dibangun melalui kelezatan hidangan dan keramahan dalam penyajian kuliner.
2. Mendukung Ekonomi dan UMKM: Diplomasi kuliner berpotensi mendorong ekspor produk pangan, bumbu, dan peralatan masak khas Indonesia. Selain itu, sektor ini juga membuka peluang investasi di bidang pariwisata dan kuliner, memberikan dampak ekonomi yang signifikan.
3. Menguatkan Identitas Budaya: Di tengah arus globalisasi, makanan menjadi salah satu cara vital untuk menjaga dan mempromosikan identitas budaya. Makanan tradisional bukan hanya warisan, tetapi juga alat untuk menumbuhkan kebanggaan nasional.
4. Jembatan Perdamaian: Dalam situasi konflik antarbudaya, makanan seringkali menjadi ruang netral yang menyatukan. Makan bersama dapat menjadi simbol persaudaraan dan penghormatan lintas perbedaan, membangun jembatan komunikasi dan pemahaman.
Meskipun potensi Indonesia sangat besar, ada beberapa tantangan dalam mengembangkan diplomasi kuliner di Indonesia. Seperti belum adanya rencana strategis diplomasi kuliner yang terpadu dan menyeluruh. Kemudian, kurangnya branding global, makanan Indonesia belum memiliki branding yang kuat dan dikenal luas di tingkat global.
Selain itu, alasan keterbatasan logistik juga salah satu tantangan food diplomacy di Inonesia. Tantangan ini juga terkait standar kualitas dan akses logistik untuk ekspor bahan makanan khas masih perlu diatasi.
Ke depan, Indonesia masih perlu menyusun peta jalan diplomasi kuliner yang melibatkan koordinasi erat antara Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Perdagangan, serta komunitas diaspora.
Langkah-langkah konkret bisa berupa pelatihan koki, sertifikasi halal, penguatan branding produk kuliner, hingga promosi masif melalui media sosial internasional.
Semoga diplomasi kuliner membuka peluang yang luas untuk memperkenalkan Indonesia kepada dunia dengan cara yang hangat, ramah, dan menyenangkan.
Lewat sepiring rendang yang kaya rempah atau semangkuk soto yang segar, kita dapat menyampaikan cerita tentang keberagaman, kekayaan alam, dan semangat persaudaraan bangsa Indonesia. (alk)