32.8 C
Surabaya
31 May 2025, 11:48 AM WIB

Sudah Ketinggalan Zaman, Celios Sarankan BPS Update Metode Pengukuran Tingkat Kemiskinan di Indonesia

METROTODAY, JAKARTA – Center of Economics and Law Studies (Celios) menyarankan Badan Pusat Statistik (BPS) memperbarui metode pengukuran tingkat kemiskinan.

Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar berpendapat metode pengukuran tingkat kemiskinan BPS sudah berusia hampir 50 tahun.

Dimana BPS mulai mengukur tingkat kemiskinan sejak 1984 dengan data tahun 1976, sehingga sudah tidak relevan untuk menjadi alat pengukuran kemiskinan saat ini.

“Metodologi kemiskinan yang dipakai oleh BPS itu menggunakan data 1976. Jadi, praktis selama 50 tahun ini tidak ada perubahan yang signifikan (pada metode pengukuran tingkat kemiskinan),” kata Media dalam diskusi publik bertajuk “Sebenarnya Ada Berapa Juta Orang Miskin dan Menganggur di Indonesia?” yang dipantau secara daring di Jakarta, Rabu (28/5).

BPS menggunakan jumlah pengeluaran dengan pendekatan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM) dalam mengukur tingkat kemiskinan.

Saat tahun 70-an, kata Media, metode itu mampu menangkap realitas ekonomi masyarakat lantaran konsumsi masyarakat memang didominasi oleh kebutuhan makanan.

Akan tetapi, seiring dengan perkembangan ekonomi-sosial kontemporer yang makin kompleks dan multidimensional, pendekatan tersebut dinilai tidak lagi mampu memahami realitas saat ini.

“Hari ini sudah berubah. Ada banyak sekali konsumsi non-makanan yang dulu tidak ada, yang sebetulnya sangat esensial, seperti paket internet. Ini sejalan dengan Hukum Engel, ketika waktu terus berjalan, maka masyarakat juga cenderung bergeser pada pengeluaran non-makanan,” jelas Media.

Terlebih, BPS berfokus pada jumlah pengeluaran masyarakat dalam menghitung tingkat kemiskinan, bukan jumlah pendapatan. Pendekatan ini dianggap sudah tidak lagi relevan, seiring dengan makin banyaknya opsi pembiayaan yang bisa digunakan sebagai modal pengeluaran.

“Hari ini banyak rumah tangga mengandalkan utang untuk konsumsi. Bisa jadi pengeluaran sampai Rp15 juta sebulan, meski pendapatan hanya Rp3 juta. Bisa lewat pinjaman daring dan lainnya. Jadi, pengeluaran yang tinggi itu belum tentu mencerminkan kemampuan finansial kita,” tambah dia.

Media pun menilai kerapuhan finansial masyarakat tidak terlihat dalam data statistik BPS. Sebagai contoh, suatu rumah tangga bisa jadi memiliki cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang memakan lebih dari 11 persen dari total pengeluaran, sehingga mereka hampir tidak memiliki biaya cadangan usai membayar cicilan dan kebutuhan pokok.

Namun, lantaran tingkat pengeluaran mereka sudah di atas garis kemiskinan, maka mereka tidak termasuk dalam kelompok miskin.

Masalah lain juga terlihat pada pengeluaran pendidikan. BPS mengklasifikasikan masyarakat ke dalam kelompok sejahtera bila memiliki pengeluaran pendidikan yang tinggi.

Padahal, menurut Media, banyak keluarga yang sampai menjual aset demi bisa memenuhi kebutuhan pendidikan.

“Masalah aset ini tidak tertangkap dengan baik di dalam statistik kemiskinan pemerintah,” ujarnya.

Maka dari itu, Celios mengusulkan BPS untuk mengadopsi pendekatan berbasis disposable income atau pendapatan yang dapat dibelanjakan setelah kebutuhan pokok dan kewajiban dasar dipenuhi.

Pendekatan ini dianggap mampu mencerminkan kondisi kesejahteraan rumah tangga secara lebih realistis dan adil, mengakomodasi faktor geografis, beban generasi berlapis (sandwich), hingga kebutuhan dasar non-makanan.

Celios juga mendorong pemerintah menghitung tingkat kemiskinan sebelum dan setelah pajak serta bantuan sosial.

“Kalau kita bisa menghitung berapa banyak orang miskin sebelum dan setelah kebijakan pemerintah, kita akan tahu apakah program pemerintah itu berdampak atau tidak, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) maupun Koperasi Desa Merah Putih,” kata Media.

Pemerintah juga disarankan membangun indikator multidimensional, seperti menggabungkan indikator pendapatan dengan indikator hidup layak, agar data yang terkumpul lebih representatif terhadap realitas lapangan. (*)

METROTODAY, JAKARTA – Center of Economics and Law Studies (Celios) menyarankan Badan Pusat Statistik (BPS) memperbarui metode pengukuran tingkat kemiskinan.

Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar berpendapat metode pengukuran tingkat kemiskinan BPS sudah berusia hampir 50 tahun.

Dimana BPS mulai mengukur tingkat kemiskinan sejak 1984 dengan data tahun 1976, sehingga sudah tidak relevan untuk menjadi alat pengukuran kemiskinan saat ini.

“Metodologi kemiskinan yang dipakai oleh BPS itu menggunakan data 1976. Jadi, praktis selama 50 tahun ini tidak ada perubahan yang signifikan (pada metode pengukuran tingkat kemiskinan),” kata Media dalam diskusi publik bertajuk “Sebenarnya Ada Berapa Juta Orang Miskin dan Menganggur di Indonesia?” yang dipantau secara daring di Jakarta, Rabu (28/5).

BPS menggunakan jumlah pengeluaran dengan pendekatan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM) dalam mengukur tingkat kemiskinan.

Saat tahun 70-an, kata Media, metode itu mampu menangkap realitas ekonomi masyarakat lantaran konsumsi masyarakat memang didominasi oleh kebutuhan makanan.

Akan tetapi, seiring dengan perkembangan ekonomi-sosial kontemporer yang makin kompleks dan multidimensional, pendekatan tersebut dinilai tidak lagi mampu memahami realitas saat ini.

“Hari ini sudah berubah. Ada banyak sekali konsumsi non-makanan yang dulu tidak ada, yang sebetulnya sangat esensial, seperti paket internet. Ini sejalan dengan Hukum Engel, ketika waktu terus berjalan, maka masyarakat juga cenderung bergeser pada pengeluaran non-makanan,” jelas Media.

Terlebih, BPS berfokus pada jumlah pengeluaran masyarakat dalam menghitung tingkat kemiskinan, bukan jumlah pendapatan. Pendekatan ini dianggap sudah tidak lagi relevan, seiring dengan makin banyaknya opsi pembiayaan yang bisa digunakan sebagai modal pengeluaran.

“Hari ini banyak rumah tangga mengandalkan utang untuk konsumsi. Bisa jadi pengeluaran sampai Rp15 juta sebulan, meski pendapatan hanya Rp3 juta. Bisa lewat pinjaman daring dan lainnya. Jadi, pengeluaran yang tinggi itu belum tentu mencerminkan kemampuan finansial kita,” tambah dia.

Media pun menilai kerapuhan finansial masyarakat tidak terlihat dalam data statistik BPS. Sebagai contoh, suatu rumah tangga bisa jadi memiliki cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang memakan lebih dari 11 persen dari total pengeluaran, sehingga mereka hampir tidak memiliki biaya cadangan usai membayar cicilan dan kebutuhan pokok.

Namun, lantaran tingkat pengeluaran mereka sudah di atas garis kemiskinan, maka mereka tidak termasuk dalam kelompok miskin.

Masalah lain juga terlihat pada pengeluaran pendidikan. BPS mengklasifikasikan masyarakat ke dalam kelompok sejahtera bila memiliki pengeluaran pendidikan yang tinggi.

Padahal, menurut Media, banyak keluarga yang sampai menjual aset demi bisa memenuhi kebutuhan pendidikan.

“Masalah aset ini tidak tertangkap dengan baik di dalam statistik kemiskinan pemerintah,” ujarnya.

Maka dari itu, Celios mengusulkan BPS untuk mengadopsi pendekatan berbasis disposable income atau pendapatan yang dapat dibelanjakan setelah kebutuhan pokok dan kewajiban dasar dipenuhi.

Pendekatan ini dianggap mampu mencerminkan kondisi kesejahteraan rumah tangga secara lebih realistis dan adil, mengakomodasi faktor geografis, beban generasi berlapis (sandwich), hingga kebutuhan dasar non-makanan.

Celios juga mendorong pemerintah menghitung tingkat kemiskinan sebelum dan setelah pajak serta bantuan sosial.

“Kalau kita bisa menghitung berapa banyak orang miskin sebelum dan setelah kebijakan pemerintah, kita akan tahu apakah program pemerintah itu berdampak atau tidak, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) maupun Koperasi Desa Merah Putih,” kata Media.

Pemerintah juga disarankan membangun indikator multidimensional, seperti menggabungkan indikator pendapatan dengan indikator hidup layak, agar data yang terkumpul lebih representatif terhadap realitas lapangan. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/