Oleh: Dr. Machsus Fawzi ST. MT, Wakil Rektor 2 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya

DELAPAN puluh tahun perjalanan pendidikan tinggi Indonesia sudah melahirkan banyak perubahan. Kampus menjadi tempat lahirnya riset, pengetahuan baru, dan mobilitas sosial.
Namun menjelang seratus tahun kemerdekaan pada 2045, kita perlu bertanya ulang, apakah perguruan tinggi sudah benar-benar menjawab harapan masyarakat?
Apakah kampus hanya tampak unggul di atas kertas, ataukah sungguh-sungguh hadir menyelesaikan persoalan nyata di sekitar kita?
Selama ini kita terlanjur akrab dengan metrik atau pengukuran berbasis angka, di antaranya: jumlah publikasi, sitasi, akreditasi, pemeringkatan, dan berbagai indikator kinerja.
Dalam dunia akademik, angka memberi sinyal pencapaian. Namun dalam kehidupan nyata, angka tidak selalu mampu menyentuh kenyataan.
Banyak desa binaan tetap stagnan meski laporan pengabdian menumpuk setiap tahun. Pelaku usaha lokal yang didampingi pun tidak otomatis naik kelas meski ratusan pelatihan diselenggarakan.
Riset berhenti sebagai prototipe tanpa pernah menjadi napas industri. Bahkan akreditasi unggul pun tidak selalu sejalan dengan bertambahnya kepercayaan publik.
Dalam dunia transportasi, kita bisa memiliki dashboard selengkap apa pun, tetapi bila indikatornya tak terhubung dengan jalan yang kita lalui, kita hanya akan sibuk membaca angka tanpa memahami arah.
Begitu pula pendidikan tinggi. Kita kerap terpaku pada jalur administratif yang sibuk mengurus laporan dan mengejar angka, sementara jalur sosial, tempat rakyat menunggu solusi tetap berjalan sendirian.
Menjelang Indonesia Emas 2045, kita tak boleh membiarkan kedua jalur itu terus berjauhan. Keduanya harus dipertautkan, dipertemukan, dan diarahkan kembali pada tujuan besarnya yakni menghadirkan perubahan.
Karena kampus, pada hakikatnya, bukan pabrik angka. Kampus adalah rumah pengetahuan, tempat gagasan tumbuh, harapan dirawat, dan masa depan bangsa dirancang.
Ketika Angka Tumpul
Tantangan pendidikan hari ini tidak lagi sama dengan era sebelumnya. Digitalisasi, perubahan iklim, kesenjangan ekonomi, dan dinamika sosial membuat banyak ukuran lama terasa tumpul.
Generasi muda juga berubah. Mereka tidak hanya mengejar ijazah, tetapi mencari ilmu yang relevan dengan hidup mereka dan masa depan negeri ini.
Masyarakat pun menilai kampus bukan dari retorika, tetapi dari dampaknya.
Apakah kampus hadir ketika terjadi banjir dan masyarakat membutuhkan solusi yang nyata?
Apakah kampus bergerak ketika harga kebutuhan dasar naik dan rumah tangga kecil kelimpungan?
Apakah kampus turun tangan ketika pelaku usaha lokal membutuhkan teknologi sederhana yang terjangkau?
Jika ukuran keberhasilan kampus masih sebatas laporan administratif, maka pendidikan tinggi kita akan seperti angkutan kota yang hanya mengejar setoran. Bergerak setiap hari, tetapi tidak pernah sampai pada tujuan jangka panjang yang berarti.
Kampus harus kembali pada rohnya, yakni hadir di tengah masyarakat, menyentuh masalah nyata, dan memberi arah perubahan.
Keniscayaan Metrik Baru
Gerakan Kampus Berdampak lahir untuk menjawab tantangan zaman yang kian kompleks. Pendekatan baru ini menawarkan cara pandang yang lebih jernih, di mana yang diukur bukan lagi banyaknya aktivitas yang dicatat, melainkan seberapa besar persoalan yang benar-benar diselesaikan.
Pertanyaannya pun berubah. Dari “berapa kegiatan dilakukan?” menjadi “apa yang berubah di masyarakat?” Dari “berapa paten diajukan?” menjadi “paten yang mana yang benar-benar dipakai industri atau warga?”
Dari “berapa program hijau diumumkan?” menjadi “perilaku ramah lingkungan apa yang betul-betul dijalankan dalam keseharian sivitas akademika?”
Pendekatan ini bukan tambahan beban administratif, tetapi lebih menyerupai sistem navigasi baru yang membaca kondisi riil, memberi arah, dan memastikan kampus tetap bergerak sesuai kebutuhan masyarakat.
Untuk mewujudkannya diperlukan data lintas sektor, kolaborasi antara kampus, pemerintah, dan dunia usaha, serta keberanian meninggalkan pola dan ukuran lama yang sudah tidak memadai.
Setiap lompatan besar memang selalu diawali langkah pertama yang tidak nyaman, dan di situlah komitmen perubahan diuji.
Kerangka inilah yang nantinya diwujudkan dalam Commitment to Impactful Transformation in Society (COMMITS).
Desain Metrik Kampus Berdampak tersebut dirumuskan sebagai acuan baru bagi perguruan tinggi dalam membaca dampak yang sesungguhnya.
Rencananya, konsep ini akan diperkenalkan secara resmi pada Konferensi Puncak Pendidikan Tinggi Indonesia (KPPTI) 2025, yang akan diselenggarakan pada 19–21 November 2025 di Graha Unesa, Surabaya.
Peluncuran tersebut sekaligus sebagai momentum penting untuk menegaskan arah baru pendidikan tinggi Indonesia.
Indonesia Emas 2045
Ki Hadjar Dewantara sejak awal telah mengingatkan bahwa pendidikan harus memadukan ilmu dan amal. Karena itu, ukuran pendidikan tinggi tidak cukup hanya bersandar pada capaian akademik, melainkan juga harus menjadi penentu arah moral dan sosial.
Pertanyaannya sederhana tetapi menentukan, apakah kampus melahirkan manusia yang peduli? Apakah riset kampus membantu menyelesaikan persoalan nyata? Apakah para lulusan benar-benar mampu membawa perubahan bagi masyarakat?
Perguruan tinggi adalah kendaraan peradaban. Mesinnya bisa kuat, indikatornya bisa lengkap, tetapi kendaraan itu tetap bisa tersesat jika arah perjalanannya tidak jelas.
Arah perjalanan itu hanya bisa dibaca bila kita berani mengukur hal-hal yang sungguh penting bagi masyarakat.
Menjelang seratus tahun Indonesia Merdeka, kita harus menegaskan kembali makna kehadiran kampus. Bukan sekadar berlomba dalam ranking, tetapi berlomba dalam kebermanfaatan.
Masyarakat tidak akan mengingat berapa banyak ijazah yang dicetak kampus. Masyarakat akan mengingat berapa banyak masalah yang diselesaikan insan kampus.
Kini saatnya layar besar pendidikan dibentangkan kembali. Arah kita pertegas, langkah kita rapatkan, dan masa depan kita perjuangkan bersama, menuju pendidikan tinggi yang lebih relevan, lebih berdampak, dan lebih dekat dengan kebutuhan masyarakat. InsyaAllah! (*)

