14 December 2025, 5:28 AM WIB

Bahasa Kekuasaan dan Politik Kejujuran Publik

Oleh: Musonif Afandi, Direktur Eksekutif Actual Research Survey

DI tengah kejenuhan publik terhadap gaya pejabat yang kaku dan sarat jargon teknokratis, muncul corak baru dalam bahasa kekuasaan, dengan bahasa yang lugas, blak-blakan dan terasa lebih membumi.

Para pejabat kini tidak lagi hanya berbicara di ruang tertutup dengan istilah rumit, tetapi tampil langsung di ruang publik dengan gaya tutur yang menyerupai percakapan sehari-hari.

Kalimat yang dulu penuh istilah ekonomi seperti defisit primer atau stabilisasi moneter kini berganti menjadi bahasa sederhana tentang uang negara yang tidak boleh menganggur, subsidi yang harus tepat sasaran atau utang yang perlu dijelaskan secara jujur kepada rakyat.

Perubahan gaya ini bukan sekadar strategi komunikasi, melainkan refleksi atas kebutuhan zaman. Dalam era digital dan keterbukaan informasi, komunikasi publik menjadi faktor kunci pembangun kepercayaan masyarakat.

Publik ingin pemerintah berbicara jelas, cepat dan dapat dipahami. Rakyat tak lagi puas dengan angka tanpa makna; mereka menuntut penjelasan jujur di balik setiap kebijakan yang memengaruhi hidup mereka.

Lahirnya bahasa baru kekuasaan menandai pergeseran penting dalam cara negara membangun legitimasi politik. Pemerintah kini tak lagi bergantung pada pidato formal yang penuh jargon, tetapi memilih gaya komunikasi publik yang jujur, terbuka dan mudah dipahami rakyat.

Bahasa kekuasaan yang membumi ini menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat, menggantikan gaya elitis yang selama ini menciptakan jarak.

Melalui transparansi dan kejujuran dalam berbahasa, pemerintah berupaya menumbuhkan kepercayaan publik sekaligus memperkuat demokrasi. Inilah wajah baru kekuasaan: komunikasi yang tidak hanya memerintah, tetapi juga mendengar dan mengajak rakyat berpartisipasi.

Menata Ulang Cara Negara Bicara

Bahasa pejabat publik di Indonesia selama ini cenderung berjarak dari rakyat. Istilah teknis seperti defisit fiskal, rasio utang terhadap PDB atau likuiditas moneter sering melintas tanpa makna yang benar-benar dipahami masyarakat. Padahal, istilah-istilah dalam bahasa kekuasaan itu memiliki dampak nyata terhadap kehidupan sehari-hari, mulai dari harga beras, subsidi energi hingga peluang kerja.

Ketika komunikasi publik terlalu elitis, kebijakan kehilangan kedekatan sosialnya. Karena itu, diperlukan bahasa pemerintahan yang lebih membumi agar rakyat merasa dilibatkan dan memahami arah kebijakan negara.

Kini, muncul pola baru dalam komunikasi pemerintahan yang menandai perubahan besar dalam bahasa kekuasaan. Sejumlah pejabat mulai berbicara lebih terbuka mengenai hal-hal yang sebelumnya tabu, seperti dana pemerintah daerah yang mengendap di bank, inefisiensi anggaran hingga dampak subsidi yang tidak tepat sasaran.

Gaya bicara yang lugas, transparan dan mudah dipahami membuat publik bisa mengikuti arah kebijakan tanpa harus menjadi ekonom. Perubahan bahasa kekuasaan ini menunjukkan bahwa pemerintah mulai memahami pentingnya keterbukaan informasi untuk membangun kepercayaan publik dan memperkuat legitimasi politik di era keterbukaan.

Dalam teori ruang publik Jürgen Habermas, negara yang sehat adalah negara yang mau berdialog setara dengan warganya. Transparansi bukan hanya membuka data, tapi juga menjelaskan makna di balik data. Ketika pemerintah menggunakan bahasa kekuasaan yang jujur, legitimasi politik tumbuh bukan dari pencitraan, tapi dari kepercayaan.

Survei Indikator Politik Indonesia (2024) mencatat, kepercayaan terhadap pejabat yang berbicara terbuka mencapai 68 persen, lebih tinggi dibanding mereka yang berbicara formal tapi tertutup. Temuan ini menunjukkan, kejujuran kini menjadi bentuk baru dari kekuatan simbolik (Bourdieu). Kekuasaan tidak lagi diukur dari gelar, tetapi dari kemampuan menjelaskan kebenaran.

Meski demikian, keterbukaan juga memiliki risiko. Gaya bicara yang terlalu blak-blakan bisa disalahartikan sebagai populisme. Karena itu, komunikasi publik yang baik menuntut keseimbangan antara gaya dan substansi. Keterbukaan tanpa tanggung jawab dapat menurunkan kredibilitas. Perbedaan antara komunikasi populis dan komunikasi transparan terletak pada niat dan akuntabilitas

Kata Menjadi Cermin Kekuasaa

Bahasa selalu mencerminkan cara kekuasaan bekerja. Bahasa yang kaku dan formal menggambarkan jarak antara pemerintah dan rakyat, sementara bahasa yang terbuka menunjukkan kemauan pemerintah untuk diawasi. Kini, muncul pergeseran besar dalam bahasa kekuasaan, yakni gaya komunikasi pejabat publik menjadi lebih cair, inklusif dan partisipatif.

Pergeseran ini menandai perubahan budaya birokrasi dari pola hierarkis menuju pola kolaboratif. Melalui komunikasi publik yang jujur dan transparan, pemerintah berupaya membangun kembali kepercayaan publik serta memperkuat nilai-nilai demokrasi di era keterbukaan informasi.

Ketika pemerintah menjelaskan kebijakan fiskal secara terbuka, seperti dana daerah yang mengendap, impor pangan atau pengelolaan subsidi, diskusi publik pun hidup. Masyarakat ikut menilai, media memeriksa dan kebijakan menjadi lebih transparan. Keterbukaan menciptakan partisipasi dan partisipasi memperkuat demokrasi.

Dalam teori komunikasi dua arah simetris dari James Grunig, dialog terbuka antara pemerintah dan rakyat merupakan fondasi hubungan yang sehat. Pemerintah perlu berbicara dan mendengar dengan porsi seimbang. Ketika komunikasi dijalankan dengan niat membangun kepercayaan, bahasa kekuasaan bukan lagi alat propaganda, tetapi instrumen akuntabilitas.

Di era banjir informasi dan maraknya disinformasi, pejabat publik yang mampu berbicara dengan bahasa yang jelas dan sederhana akan jauh lebih dipercaya masyarakat daripada seribu klarifikasi yang rumit. Gaya komunikasi yang terbuka dan mudah dipahami menjadi benteng penting bagi demokrasi.

Dalam konteks bahasa kekuasaan modern, transparansi bukan lagi sekadar wacana moral, tetapi strategi komunikasi publik yang menentukan kredibilitas pemerintah. Semakin jujur dan terbuka pejabat berbicara, semakin kuat pula kepercayaan publik terhadap arah kebijakan negara dan nilai-nilai demokrasi.

Bahasa yang jujur menumbuhkan legitimasi. Bahasa yang merendah memperkuat persatuan. Bahasa yang terbuka menegakkan demokrasi. Pada akhirnya, bahasa baru kekuasaan adalah keberanian untuk menanggalkan formalitas dan mendekat pada rakyat. Karena di tengah derasnya perubahan zaman, kejujuran dalam berbahasa adalah bentuk paling nyata dari cinta pemerintah kepada bangsanya. (*)

Oleh: Musonif Afandi, Direktur Eksekutif Actual Research Survey

DI tengah kejenuhan publik terhadap gaya pejabat yang kaku dan sarat jargon teknokratis, muncul corak baru dalam bahasa kekuasaan, dengan bahasa yang lugas, blak-blakan dan terasa lebih membumi.

Para pejabat kini tidak lagi hanya berbicara di ruang tertutup dengan istilah rumit, tetapi tampil langsung di ruang publik dengan gaya tutur yang menyerupai percakapan sehari-hari.

Kalimat yang dulu penuh istilah ekonomi seperti defisit primer atau stabilisasi moneter kini berganti menjadi bahasa sederhana tentang uang negara yang tidak boleh menganggur, subsidi yang harus tepat sasaran atau utang yang perlu dijelaskan secara jujur kepada rakyat.

Perubahan gaya ini bukan sekadar strategi komunikasi, melainkan refleksi atas kebutuhan zaman. Dalam era digital dan keterbukaan informasi, komunikasi publik menjadi faktor kunci pembangun kepercayaan masyarakat.

Publik ingin pemerintah berbicara jelas, cepat dan dapat dipahami. Rakyat tak lagi puas dengan angka tanpa makna; mereka menuntut penjelasan jujur di balik setiap kebijakan yang memengaruhi hidup mereka.

Lahirnya bahasa baru kekuasaan menandai pergeseran penting dalam cara negara membangun legitimasi politik. Pemerintah kini tak lagi bergantung pada pidato formal yang penuh jargon, tetapi memilih gaya komunikasi publik yang jujur, terbuka dan mudah dipahami rakyat.

Bahasa kekuasaan yang membumi ini menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat, menggantikan gaya elitis yang selama ini menciptakan jarak.

Melalui transparansi dan kejujuran dalam berbahasa, pemerintah berupaya menumbuhkan kepercayaan publik sekaligus memperkuat demokrasi. Inilah wajah baru kekuasaan: komunikasi yang tidak hanya memerintah, tetapi juga mendengar dan mengajak rakyat berpartisipasi.

Menata Ulang Cara Negara Bicara

Bahasa pejabat publik di Indonesia selama ini cenderung berjarak dari rakyat. Istilah teknis seperti defisit fiskal, rasio utang terhadap PDB atau likuiditas moneter sering melintas tanpa makna yang benar-benar dipahami masyarakat. Padahal, istilah-istilah dalam bahasa kekuasaan itu memiliki dampak nyata terhadap kehidupan sehari-hari, mulai dari harga beras, subsidi energi hingga peluang kerja.

Ketika komunikasi publik terlalu elitis, kebijakan kehilangan kedekatan sosialnya. Karena itu, diperlukan bahasa pemerintahan yang lebih membumi agar rakyat merasa dilibatkan dan memahami arah kebijakan negara.

Kini, muncul pola baru dalam komunikasi pemerintahan yang menandai perubahan besar dalam bahasa kekuasaan. Sejumlah pejabat mulai berbicara lebih terbuka mengenai hal-hal yang sebelumnya tabu, seperti dana pemerintah daerah yang mengendap di bank, inefisiensi anggaran hingga dampak subsidi yang tidak tepat sasaran.

Gaya bicara yang lugas, transparan dan mudah dipahami membuat publik bisa mengikuti arah kebijakan tanpa harus menjadi ekonom. Perubahan bahasa kekuasaan ini menunjukkan bahwa pemerintah mulai memahami pentingnya keterbukaan informasi untuk membangun kepercayaan publik dan memperkuat legitimasi politik di era keterbukaan.

Dalam teori ruang publik Jürgen Habermas, negara yang sehat adalah negara yang mau berdialog setara dengan warganya. Transparansi bukan hanya membuka data, tapi juga menjelaskan makna di balik data. Ketika pemerintah menggunakan bahasa kekuasaan yang jujur, legitimasi politik tumbuh bukan dari pencitraan, tapi dari kepercayaan.

Survei Indikator Politik Indonesia (2024) mencatat, kepercayaan terhadap pejabat yang berbicara terbuka mencapai 68 persen, lebih tinggi dibanding mereka yang berbicara formal tapi tertutup. Temuan ini menunjukkan, kejujuran kini menjadi bentuk baru dari kekuatan simbolik (Bourdieu). Kekuasaan tidak lagi diukur dari gelar, tetapi dari kemampuan menjelaskan kebenaran.

Meski demikian, keterbukaan juga memiliki risiko. Gaya bicara yang terlalu blak-blakan bisa disalahartikan sebagai populisme. Karena itu, komunikasi publik yang baik menuntut keseimbangan antara gaya dan substansi. Keterbukaan tanpa tanggung jawab dapat menurunkan kredibilitas. Perbedaan antara komunikasi populis dan komunikasi transparan terletak pada niat dan akuntabilitas

Kata Menjadi Cermin Kekuasaa

Bahasa selalu mencerminkan cara kekuasaan bekerja. Bahasa yang kaku dan formal menggambarkan jarak antara pemerintah dan rakyat, sementara bahasa yang terbuka menunjukkan kemauan pemerintah untuk diawasi. Kini, muncul pergeseran besar dalam bahasa kekuasaan, yakni gaya komunikasi pejabat publik menjadi lebih cair, inklusif dan partisipatif.

Pergeseran ini menandai perubahan budaya birokrasi dari pola hierarkis menuju pola kolaboratif. Melalui komunikasi publik yang jujur dan transparan, pemerintah berupaya membangun kembali kepercayaan publik serta memperkuat nilai-nilai demokrasi di era keterbukaan informasi.

Ketika pemerintah menjelaskan kebijakan fiskal secara terbuka, seperti dana daerah yang mengendap, impor pangan atau pengelolaan subsidi, diskusi publik pun hidup. Masyarakat ikut menilai, media memeriksa dan kebijakan menjadi lebih transparan. Keterbukaan menciptakan partisipasi dan partisipasi memperkuat demokrasi.

Dalam teori komunikasi dua arah simetris dari James Grunig, dialog terbuka antara pemerintah dan rakyat merupakan fondasi hubungan yang sehat. Pemerintah perlu berbicara dan mendengar dengan porsi seimbang. Ketika komunikasi dijalankan dengan niat membangun kepercayaan, bahasa kekuasaan bukan lagi alat propaganda, tetapi instrumen akuntabilitas.

Di era banjir informasi dan maraknya disinformasi, pejabat publik yang mampu berbicara dengan bahasa yang jelas dan sederhana akan jauh lebih dipercaya masyarakat daripada seribu klarifikasi yang rumit. Gaya komunikasi yang terbuka dan mudah dipahami menjadi benteng penting bagi demokrasi.

Dalam konteks bahasa kekuasaan modern, transparansi bukan lagi sekadar wacana moral, tetapi strategi komunikasi publik yang menentukan kredibilitas pemerintah. Semakin jujur dan terbuka pejabat berbicara, semakin kuat pula kepercayaan publik terhadap arah kebijakan negara dan nilai-nilai demokrasi.

Bahasa yang jujur menumbuhkan legitimasi. Bahasa yang merendah memperkuat persatuan. Bahasa yang terbuka menegakkan demokrasi. Pada akhirnya, bahasa baru kekuasaan adalah keberanian untuk menanggalkan formalitas dan mendekat pada rakyat. Karena di tengah derasnya perubahan zaman, kejujuran dalam berbahasa adalah bentuk paling nyata dari cinta pemerintah kepada bangsanya. (*)

Artikel Terkait

Pilihan Editor

Pilihan Editor

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait