Oleh: Salimah S.S., M. Ed., Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga

PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG) digadang-gadang pemerintah sebagai terobosan besar untuk memperbaiki kualitas gizi anak-anak sekolah.
Dari panggung politik hingga ruang kelas, MBG dipromosikan sebagai investasi masa depan bangsa, sebuah langkah untuk mengurangi ketimpangan nutrisi dan meningkatkan konsentrasi belajar siswa.
Namun, di balik janji itu, muncul kenyataan pahit adanya kasus keracunan massal di sejumlah daerah yang justru menodai tujuan awal program.
Puluhan, bahkan ratusan siswa jatuh sakit setelah menyantap makanan dari program yang seharusnya menyehatkan tersebut.
Gelombang kritik pun tak terhindarkan. Orang tua resah, aktivis pendidikan bersuara, media menyorot tajam. Dalam suasana krisis ini, muncul wacana yang tak kalah kontroversial dimana guru diminta mencicipi makanan terlebih dahulu sebelum dibagikan kepada murid murid. Seakan mereka bisa menjadi “perisai rasa” yang mampu mendeteksi bahaya.
Sekilas, gagasan itu terdengar sederhana dan masuk akal. Guru ada di sekolah, dekat dengan siswa, dan bisa langsung memberi sinyal bila makanan terasa mencurigakan.
Namun jika kita telisik lebih dalam, ide ini hanyalah ilusi. Ia tidak sah secara hukum, tidak efektif secara ilmiah, dan berbahaya secara sosial.
Alih-alih memperbaiki sistem, solusi instan ini justru melempar tanggung jawab dari penyelenggara, vendor, dan lembaga pengawas resmi kepada guru, pihak yang tugas utamanya adalah mendidik dan bukan menguji makanan.
Artikel ini menguraikan masalah tersebut dari dua sisi besar. Pertama, perspektif hukum dan regulasi yang menjelaskan siapa sesungguhnya pemegang tanggung jawab.
Kedua, perspektif sosial-humaniora yang mengupas bagaimana wacana “guru mencicipi” lahir, mengapa ia berbahaya, dan apa implikasinya bagi tata kelola publik.
Perspektif Hukum dan Regulasi: Sejatinya Tanggung Jawab Siapa?
Dalam setiap program publik, hukum menjadi rambu utama untuk menentukan arah pertanggungjawaban. Pertanyaannya ketika program negara menimbulkan dampak negatif berupa keracunan massal, kepada siapa beban hukum harus diarahkan?
Jawaban ini sesungguhnya sudah tersedia jelas. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menegaskan bahwa siapa pun yang memproduksi atau memperdagangkan pangan yang tidak aman dapat dikenai sanksi pidana.
Subjek hukumnya jelas yakni produsen, pengolah, dan distributor. Guru sama sekali tidak termasuk dalam kategori itu. Mereka bukan pelaku usaha pangan, melainkan pihak penerima terakhir.
Dengan demikian, menaruh tanggung jawab keamanan pangan di pundak guru sama sekali tidak memiliki landasan hukum.
Hal ini dipertegas lagi oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Regulasi ini memberi hak konsumen untuk memperoleh produk yang aman, dan mewajibkan pelaku usaha menjamin barang atau jasa yang mereka hasilkan.
Dalam konteks MBG, siswa adalah konsumen, sementara vendor dan penyelenggara adalah pelaku usaha. Guru jelas bukan bagian dari rantai produksi maupun distribusi.
Lebih jauh, Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 menempatkan guru dalam posisi yang sangat berbeda.
Pasal 7 dan 20 menyatakan tugas utama guru adalah merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran, serta membimbing peserta didik. Tidak ada satu pasal pun yang menugaskan guru menguji atau menjamin keamanan pangan.
Jika ada surat edaran yang menyebut guru sebagai PIC MBG, itu sekadar penugasan administratif seperti mendata, menerima, atau menyalurkan, bukan beban hukum untuk menguji kelayakan pangan.
Dengan kerangka ini, posisi menjadi terang bahwa tanggung jawab keamanan pangan harus dipikul oleh vendor yang mendapat kontrak, dapur penyelenggara, serta lembaga pengawas resmi seperti BPOM dan Dinas Kesehatan.
Menarik guru masuk ke lingkaran itu tidak hanya keliru secara hukum, tetapi juga berbahaya karena berpotensi menimbulkan kriminalisasi.
Bayangkan bila guru sudah mencicipi, lalu makanan tetap menyebabkan keracunan. Apakah guru akan dituduh lalai? Padahal banyak racun dan bakteri tidak bisa terdeteksi dengan rasa atau bau.
Risiko ini menempatkan guru dalam posisi serba salah, sekaligus mengaburkan siapa sebenarnya yang lalai dalam rantai pengawasan.
Standar internasional pun sejalan. Sistem Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) mewajibkan pengendalian di titik kritis. Antara lain suhu penyimpanan, kebersihan dapur, hingga uji laboratorium.
Tidak ada satu pun pedoman yang menempatkan “uji lidah oleh guru” sebagai metode validasi. Artinya, wacana ini tidak hanya bertentangan dengan hukum nasional, tetapi juga dengan praktik terbaik global.
Perspektif Sosial dan Humaniora: Mengapa Guru Dijadikan Tameng?
Jika secara hukum guru jelas tidak bisa dimintai pertanggungjawaban, mengapa wacana “guru mencicipi” bisa mengemuka dan mendapat legitimasi di ruang publik? Jawabannya bisa kita temukan melalui lensa teori sosial dan politik.
Dalam situasi krisis, sering kali pejabat publik mencari jalan pintas untuk meredam kemarahan masyarakat. Alih-alih menuntaskan masalah di hulu, mereka memilih pihak yang mudah disalahkan di hilir.
Fenomena pengalihan kesalahan ini dibahas oleh R. Kent Weaver melalui konsep Blame Avoidance, yakni kecenderungan aktor politik menghindari tanggung jawab dengan cara menimpakan beban pada pihak lain yang lebih lemah.
Guru menjadi target empuk karena kehadiran mereka langsung di lapangan, citra moralnya tinggi, dan sulit menolak perintah atasan.
Pengalihan beban ini juga terkait dengan relasi kuasa dalam birokrasi. Ketika pemerintah sebagai prinsipal menyerahkan penyediaan makanan kepada vendor sebagai agen, muncul risiko klasik yang dikenal sebagai Principal–Agent Problem.
Agen punya insentif mengurangi biaya meski dengan menurunkan standar. Tanpa pengawasan yang memadai, mereka bisa menyembunyikan kualitas pangan sebenarnya.
Menambahkan guru sebagai lapisan kontrol tidak menyelesaikan masalah asimetri informasi itu, melainkan hanya menciptakan ilusi keamanan.
Di sisi lain, masyarakat modern hidup dalam ketidakpastian risiko. Ketika sebuah program besar seperti MBG mengalami krisis, tekanan publik dan media mendorong pejabat untuk segera merespons.
Kondisi ini sejalan dengan pemikiran Ulrich Beck (1944–2015) tentang Risk Society, di mana risiko justru menjadi ciri khas kehidupan modern.
Kebijakan “guru mencicipi” adalah contoh fast policy. Solusi instan yang tampak menenangkan, tetapi sama sekali tidak menyentuh akar persoalan.
Lebih jauh lagi, praktik ini mencerminkan cara negara mengatur warga melalui mekanisme halus. Michel Foucault (1926–1984) menyebutnya governmentality, strategi di mana negara mendorong individu memikul beban risiko yang seharusnya ditanggung oleh institusi.
Guru dijadikan instrumen untuk menginternalisasi tanggung jawab, seolah-olah keamanan pangan bisa dijaga lewat kesadaran personal, bukan lewat regulasi ketat dan reformasi struktural.
Masalahnya, sistem pangan adalah jaringan kompleks dengan banyak titik rawan. Dalam kerangka Normal Accident Theory yang dikemukakan Charles Perrow (1925–2019), kecelakaan di sistem besar sering kali tak terhindarkan karena begitu banyak celah yang bisa saling berbaris.
Hal serupa juga diingatkan oleh James Reason (1938–2022) dengan Swiss Cheese Model, yang menunjukkan bahwa kegagalan bisa terjadi ketika lapisan-lapisan pengaman berlubang dan lubang itu akhirnya sejajar. Guru yang berada di ujung rantai jelas tidak mampu menutup celah besar yang ada di hulu.
Langkah simbolis seperti “guru mencicipi” pun semakin terlihat rapuh. Nils Brunsson menggambarkan fenomena ini sebagai Organizational Hypocrisy: tindakan yang terlihat seperti solusi, padahal hanya simbol untuk meredam kritik.
Bahkan lebih berbahaya, ritual semu ini dapat memperkuat kecenderungan yang dijelaskan Diane Vaughan lewat konsep Normalization of Deviance. Ketika pelanggaran standar, misalnya mengabaikan kebersihan atau tidak menyimpan makanan sesuai prosedur, dianggap biasa, maka deviasi itu akan terus berulang. Alih-alih memperbaiki, praktik ini justru menormalkan kelalaian.
Lindungi Guru, Perbaiki Sistem
Dari dua perspektif besar tadi, hukum dan sosial-humaniora, jawaban yang kita temukan konsisten: guru tidak boleh dijadikan tameng dalam masalah keracunan MBG. Hukum nasional menegaskan beban ada pada produsen, vendor, dan regulator. Teori sosial membongkar bahwa wacana ini hanyalah strategi pengalihan, kebijakan simbolis, dan tanda lemahnya tata kelola.
Solusi sejati justru harus kembali ke akar: memperketat standar higiene, mewajibkan vendor bersertifikat HACCP, melakukan uji laboratorium rutin, serta membangun sistem audit transparan. Hanya dengan cara itu MBG bisa kembali pada tujuannya: menyehatkan siswa, bukan mencelakai.
Guru adalah pendidik, bukan pencicip makanan. Mereka harus dilindungi, bukan dikorbankan. Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin melindungi masa depan anak-anak bangsa, maka tanggung jawab keamanan pangan harus dipikul oleh pihak yang berwenang, bukan diserahkan ke ruang kelas. (*)

