Oleh: Albard Khan, Pengamat Sosial, Menamatkan Pendidikan Master di Flinders University, South Australia
KEPUTUSAN Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor M/6/HK.04/V/2025 tentang Larangan Diskriminasi dalam Proses Rekrutmen Tenaga Kerja adalah angin segar bagi mereka yang selama ini terhalang usia ketika mencari pekerjaan.
Di dalam konferensi pers, Yassierli menegaskan bahwa dunia kerja harus menjadi ruang yang adil dan inklusif, tanpa diskriminasi.
Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah mendengar suara para pencari kerja yang di setiap pengumuman lowongan selalu menemukan batas usia maksimal 25 atau 30 tahun.
Dengan SE tersebut, persyaratan seperti batas usia, penampilan fisik, tinggi badan, status pernikahan, suku atau warna kulit dinyatakan tidak boleh dicantumkan.
Tentu saja, dukungan atas kebijakan ini bukan tanpa alasan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa penduduk lanjut usia (60 tahun ke atas) meningkat dari 8,43% tahun 2015 menjadi 12% pada 2024, dan diproyeksikan mencapai 20,31% atau sekitar 65,82 juta jiwa pada 2045.
Ketika kelompok usia produktif mengecil, pasar tenaga kerja membutuhkan setiap individu yang mampu bekerja.
Rasio ketergantungan lansia —jumlah lansia yang ditanggung setiap 100 penduduk usia produktif— sudah mencapai 17,76 pada 2024. Jika batas usia terus diberlakukan, beban ini hanya akan meningkat.
Parahnya lagi, sebagian besar lansia bergantung pada anggota keluarga yang bekerja. 83,74% lansia memenuhi kebutuhan hidup dari penghasilan anggota rumah tangga, hanya 5,01% yang hidup dari uang pensiun.
Sementara itu, BPS juga mencatat 7,28 juta orang menganggur dari total angkatan kerja 153 juta per Februari 2025. Mengabaikan pencari kerja yang lebih tua jelas sebuah pemborosan sumber daya manusia.
Surat edaran tersebut patut diapresiasi karena mengakui ageisme sebagai masalah. SE ini dikeluarkan kepada seluruh kepala daerah dan para pelaku usaha, dengan instruksi agar penyelenggaraan seleksi tenaga kerja menjunjung prinsip kesetaraan.
Yassierli juga mengajak dunia usaha menjadikan momen ini untuk memperbaiki praktik rekrutmen agar lebih transparan dan berbasis kompetensi.
Sebagai dokumen kebijakan, surat edaran ini memuat serangkaian larangan eksplisit yang jarang ditemukan sebelumnya.
Antara lain perusahaan dilarang menetapkan persyaratan diskriminatif seperti usia, good looking, tinggi badan, status pernikahan, suku, warna kulit dan sebagainya.
Ini menempatkan hak atas pekerjaan sebagai hak universal yang tidak boleh dipangkas oleh stereotip usia dan kondisi sosial.
Namun, SE ini hanya langkah awal. Ada beberapa hal yang perlu dikritisi agar kebijakan ini benar-benar efektif.
Pertama, status surat edaran. Berbeda dengan undang-undang atau peraturan pemerintah, surat edaran bersifat imbauan administratif. Ia memberikan pedoman, tetapi tidak disertai mekanisme sanksi bagi pelanggar.
Perusahaan yang mengabaikan edaran ini kemungkinan tak menghadapi konsekuensi hukum. Dalam teksnya, Yassierli mengakui bahwa batas usia masih diperbolehkan jika dapat dibenarkan secara hukum, misalnya karena sifat pekerjaan berhubungan langsung dengan usia.
Frasa ini membuka celah interpretasi lebar bahwa perekrut bisa menyatakan pekerjaan tertentu membutuhkan usia muda tanpa memberikan bukti objektif.
Tanpa kriteria yang jelas, perusahaan bisa terus menggunakan alasan “kesehatan” atau “efisiensi” untuk menolak pelamar berusia 35 tahun ke atas.
Kedua, SE ini tidak membahas pengawasan dan pelaporan. Bagaimana masyarakat dapat melaporkan iklan lowongan yang masih mencantumkan batas usia?
Apakah Kementerian Ketenagakerjaan telah menyiapkan sistem pengaduan dan investigasi?
Di masa lalu, aturan semacam ini sering berakhir menjadi sekadar formalitas karena pengawasan yang lemah.
Apresiasi terhadap SE ini seharusnya diikuti dengan regulasi teknis, seperti kewajiban bagi perusahaan untuk menyertakan pernyataan non-diskriminasi dalam setiap iklan lowongan dan peninjauan berkala oleh pemerintah daerah.
Ketiga, tidak ada strategi pemberdayaan. Ageisme bukan hanya soal rekrutmen, tetapi juga mencakup pengembangan karier, promosi, pelatihan, dan jaminan sosial.
SE ini tidak membahas bagaimana pekerja lansia dapat mendapat akses pelatihan untuk menyegarkan kompetensi mereka. Padahal, banyak pekerja usia menengah yang terjebak gap keterampilan akibat perubahan teknologi.
Tanpa dukungan pelatihan ulang (reskilling) atau peningkatan keterampilan (upskilling), melarang batas usia saja tidak cukup. Lansia juga masih tertekan oleh sistem pensiun yang tidak memadai. SE ini tidak menyinggung aspek tersebut.
Keempat, tidak ada orientasi publik. Ageisme berakar dari stereotip bahwa pekerja tua tidak produktif atau sulit beradaptasi. Perubahan budaya ini memerlukan kampanye edukasi.
SE ini belum disertai strategi komunikasi untuk mengubah pandangan publik dan pemberi kerja.
Masyarakat membutuhkan narasi yang menyoroti kontribusi nyata pekerja lansia. Seperti kisah café Uma Oma yang mempekerjakan nenek berusia 70–80 tahun dan menegaskan bahwa produktivitas tidak ditentukan oleh usia.
Meski demikian, surat edaran ini layak didukung. Ia menunjukkan adanya keinginan politis untuk menempatkan prinsip nondiskriminasi dalam ketenagakerjaan.
Kebijakan ini juga sejalan dengan perintah Undang-Undang No. 13 Tahun 1997 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, yang mengakui lansia sebagai warga yang harus dihormati dan diberdayakan.
Penghapusan kriteria good looking, tinggi badan, dan status pernikahan memperluas cakupan nondiskriminasi, sehingga tidak hanya lansia yang terbantu tetapi juga kaum perempuan, disabilitas, dan kelompok minoritas.
Ke depan, pemerintah dapat memperkuat kebijakan ini dengan beberapa langkah.
Pertama, mengubah edaran menjadi peraturan pemerintah atau revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, sehingga larangan diskriminasi usia menjadi aturan hukum yang mengikat dengan sanksi tegas.
Kedua, membangun sistem pengawasan dengan membuka kanal aduan bagi masyarakat dan bekerja sama dengan serikat pekerja untuk memantau iklan lowongan.
Ketiga, menyelenggarakan program reskilling. Lansia yang ingin kembali bekerja harus memiliki akses pelatihan digital, bahasa Inggris, atau manajerial.
Keempat, memperbaiki sistem jaminan sosial. Dengan hanya 5,01 persen lansia yang hidup dari pensiun, reformasi pensiun dan perlindungan bagi pekerja informal menjadi urgen agar lansia tidak sekadar bergantung pada keluarga.
Kelima, menciptakan kampanye nasional yang menentang ageisme. Misalnya melalui kurikulum sekolah, program televisi, dan pelatihan human resources tentang keberagaman usia.
Jangan lupa peran dunia usaha. Penerbitan SE ini seharusnya menjadi momentum bagi perusahaan untuk mengevaluasi budaya kerja mereka.
Penilaian karyawan berdasarkan usia harus digantikan dengan penilaian berbasis kinerja dan kompetensi.
Penempatan tenaga kerja dapat diadaptasi, misalnya memberi opsi jam kerja fleksibel atau part time bagi pekerja senior. Tim multigenerasi juga terbukti memperkaya inovasi dan mengurangi risiko bias.
Ringkasnya, SE Nomor M/6/HK.04/V/2025 layak disambut sebagai tonggak baru dalam upaya menghapus ageisme di Indonesia.
Namun, untuk mencapai dunia kerja yang benar-benar bebas diskriminasi, edaran ini perlu ditindaklanjuti dengan undang-undang, pengawasan, program pelatihan, serta perubahan mindset.
Ketika proporsi lansia terus meningkat dan jumlah penganggur masih tinggi, Indonesia tidak boleh menyia-nyiakan potensi sumber daya manusia hanya semata karena angka di KTP.
Menerima dan memberdayakan pekerja dari segala usia bukan hanya soal keadilan, tetapi strategi ekonomi yang cerdas untuk menghadapi masa depan. (*)