Oleh: Yoga Sugama, Praktisi dan Pengajar Hukum di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
AKSI demonstrasi tanggal 28-30 Agustus 2025 akan dikenang sebagai salah satu momen paling genting dalam sejarah demokrasi Indonesia pasca-reformasi. Ribuan massa turun ke jalan bukan sekadar untuk berteriak, tetapi untuk menggugat.
Mereka menggugat ketidakadilan, menggugat ketidakpedulian, dan menggugat sistem yang dinilai semakin menjauh dari tujuan menyejahterakan rakyat.
Aksi ini bukan muncul tiba-tiba. Ia lahir dari kemarahan kolektif atas kematian tragis Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tewas tertabrak kendaraan taktis Brimob saat aksi damai di Jakarta.
Tragedi itu menjadi pemantik. Tetapi akar masalahnya jauh lebih dalam, yakni ketimpangan sosial, represivitas aparat, dan sempitnya ruang dialog antara negara dan warganya.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana demonstrasi mulai dibarengi dengan aksi anarkis. Penjarahan, pembakaran fasilitas publik, dan bentrokan brutal menjadi pemandangan yang mengaburkan esensi perjuangan.
Muncul kejadian yang bisa dikategorikan sebagai extra judicial killing atau dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh aparat negara yang menimbulkan hilangnya nyawa seseorang tanpa melalui proses hukum yang semestinya.
Padahal kita tahu dari fakta yang ada, kejadian tersebut tidak didasari atas kondisi pembelaan diri atas ancaman serius pada diri apparat negara tersebut, ataupun melaksanakan perintah yang sah dan diberikan kewenangannya oleh hukum.
Ketika suara rakyat berubah menjadi kekacauan, siapa yang sebenarnya diuntungkan?
Landasan pemicu aksi demonstrasi
Warga mendapatkan kesulitan dalam hal hal-hal mendasar, seperti kebutuhan pokok sehari-hari, pajak yang dinaikkan, sementara wakilnya di DPR justru mendapatkan kenaikan tunjangan termasuk perumahan, ini bukan keputusan yang patut.
Demonstrasi di gedung DPR/MPR RI pada tanggal 30 Agustus 2025 memiliki latar belakang yang kompleks, termasuk isu-isu politik, ekonomi, dan sosial yang sedang hangat dibahas di masyarakat. Masyarakat menyampaikan tuntutan mereka terkait dengan kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat.
Pihak berwenang harus segera bertindak. Bukan dengan gas air mata atau peluru karet, tetapi dengan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Negara tidak boleh hanya hadir sebagai alat penertiban, tetapi sebagai fasilitator demokrasi. Penanganan demonstrasi harus mengedepankan pendekatan humanis, bukan militeristik.
Bersamaan dengan polemik tersebut dan dilandaskan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat negara, maka hal ini semakin memperburuk situasi. Melebarkan jarak antara negara dengan masyarakat, yang mana negara memiliki landasan Hak Asasi Manusia (HAM) yang termaktub dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar.
Kita tidak boleh lupa bahwa demonstrasi adalah hak konstitusional. Ia adalah napas demokrasi. Tapi demokrasi juga menuntut tanggung jawab dari rakyat untuk menyampaikan aspirasi secara damai, dan dari negara untuk mendengarkan tanpa mengancam.
Jika kita gagal belajar dari masa lalu dari tragedi 1998 dan kerusuhan 2019, dari berbagai luka sejarah itu maka kita sedang mengulangnya dengan wajah baru. Sejarah tidak akan memaafkan mereka yang memilih diam saat demokrasi disakiti.
Suara rakyat jadi kompas kebijakan
Di negara demokratis, suara rakyat seharusnya menjadi kompas arah kebijakan. Demonstrasi, unjuk rasa, dan kritik publik adalah bagian sah dari mekanisme kontrol terhadap kekuasaan.
Namun, ketika suara itu berubah menjadi kekacauan dibarengi dengan aksi anarkis, perusakan, dan bentrokan, maka makna perjuangan mulai kabur. Pertanyaan yang harus kita ajukan adalah “siapa yang sebenarnya diuntungkan?”
Jawabannya tidak sesederhana “tidak ada yang diuntungkan.” Justru dalam kekacauan, ada pihak-pihak yang diam-diam mendapat ruang.
- Pertama, kekacauan memberi legitimasi bagi pendekatan represif. Aparat bisa berdalih bahwa tindakan keras diperlukan demi menjaga ketertiban. Narasi keamanan menggantikan narasi keadilan. Ruang dialog ditutup, digantikan oleh barikade dan gas air mata. Sehingga muncul korban nyawa dan luka dalam aksi demonstrasi dan penyampaian aspirasi rakyat kepada negara.
- Kedua, elite politik memanfaatkan kekacauan sebagai pengalih perhatian. Isu substansial seperti korupsi, ketimpangan, atau kebijakan bermasalah tenggelam di tengah sorotan terhadap kerusuhan. Rakyat sibuk mengutuk aksi massa, sementara akar masalah tetap tak tersentuh. Gelombang demonstrasi atau kekacauan biasanya dimunculkan ketika negara dalam kebingungan dalam menutup borok dari bobroknya pelaksanaan roda pemerintahan.
- Ketiga, kekacauan merusak solidaritas sipil. Ketika demonstrasi berubah menjadi kerusuhan, simpati publik menurun. Gerakan rakyat kehilangan dukungan, dan mereka yang awalnya bersuara bersama mulai menjauh. Ini adalah kerugian besar bagi demokrasi.
Namun, yang paling dirugikan adalah rakyat itu sendiri. Ketika suara mereka tak lagi terdengar karena bisingnya kekacauan, maka perjuangan kehilangan arah. Ketika negara hanya mendengar suara keras, bukan suara jernih, maka demokrasi sedang dalam bahaya.
Kita harus menjaga agar suara rakyat tetap lantang, tapi tidak liar. Kritis, tapi tidak destruktif. Karena jika kita gagal membedakan antara perlawanan dan perusakan, maka yang diuntungkan bukanlah rakyat melainkan mereka yang ingin demokrasi tetap lemah. (*)